Penetapan Status Kawasan Ekonomi Khusus Perlu Lebih Selektif
Kajian kelayakan mendalam perlu dilakukan pemerintah sebelum menetapkan status kawasan ekonomi khusus. Tidak semua pengusul memiliki kapasitas pendanaan serta jaringan yang memadai untuk mengembangkan KEK.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan kawasan ekonomi khusus atau KEK selama sepuluh tahun terakhir masih dihadapkan pada berbagai kendala yang menghambat pengembangannya sesuai target. Berkaca dari evaluasi satu dekade, pemerintah akan lebih selektif dalam menetapkan status KEK. Sejumlah hambatan utama dalam pengembangan KEK pun mendesak untuk segera dibenahi.
Evaluasi Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terhadap 15 KEK yang sudah beroperasi menunjukkan, masih banyak kawasan yang pengembangannya jauh dari rencana. KEK yang dinilai sudah optimal sesuai rencana dan perlu pengembangan lebih lanjut adalah KEK Galang Batang, KEK Mandalika, KEK Kendal, dan KEK Sei Mangkei.
Adapun 11 KEK lainnya masih belum berjalan optimal. Ada empat KEK yang masuk dalam kategori sudah berjalan, tetapi belum optimal, yaitu KEK Tanjung Lesung, KEK Palu, KEK Arun Lhokseumawe, dan KEK Tanjung Kelayang.
Enam KEK yang butuh perhatian khusus adalah KEK Bitung, KEK Sorong, KEK Maloy Batuta Trans-Kalimantan, KEK Morotai, KEK Singhasari, dan KEK Likupang. Sementara, KEK Tanjung Api-Api ”jalan di tempat” meski sudah diberi perpanjangan masa pembangunan sejak 2014. Karena tak ada perkembangan, KEK Tanjung Api-Api diusulkan dicabut.
Pelaksana Tugas Sekretaris Dewan Nasional KEK Elen Setiadi, Kamis (16/9/2021), mengatakan, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengembangan KEK gencar dilakukan karena pemerintah ingin menyebarkan pusat pertumbuhan di luar Jawa.
Namun, dalam pengembangannya, sejumlah KEK terhambat. Beberapa masalah yang umum ditemukan, pengelola tidak mampu menghadirkan investor atau tenant untuk beroperasi di kawasannya. Ada pula yang tidak mampu menyediakan pembiayaan jangka panjang untuk pengembangan KEK.
”KEK itu harus dibangun beberapa tahap. Biasanya, di tahap pertama, pengembang masih mampu. Namun, begitu pengembangan tahap berikutnya, tidak ada lagi sumber pendanaan,” kata Elen dalam webinar Kompas Talks Peran dan Tantangan KEK Mendorong Ekspor yang diadakan Kompas, Kamis.
Elen mengatakan, ke depan pemerintah akan lebih selektif dalam menyikapi usulan dan penetapan KEK. ”Hal-hal seperti kemampuan pendanaan dan kemampuan menarik investor itu yang harus kami perhitungkan lebih awal. Kami melihat, ke depan, penetapan KEK akan lebih selektif,” katanya.
Kendati demikian, selama pandemi Covid-19, pemerintah telah menetapkan empat KEK baru, yaitu KEK Batam Aero Technic dan KEK Nongsa di Batam, Kepulauan Riau, serta KEK Lido di Bogor, Jawa Barat, dan KEK JIIPE di Gresik, Jawa Timur. Dengan demikian, Indonesia kini memiliki total 19 KEK.
Menurut Elen, KEK harus mampu adaptif terhadap perkembangan dan kebutuhan industri. Oleh karena itu, perlu ada perluasan lingkup untuk beberapa sektor tertentu yang perlu ditetapkan sebagai KEK di luar industri manufaktur, seperti sektor jasa.
Dewan Nasional KEK mencatat, sampai Juli 2021, 15 KEK yang sudah beroperasi telah menjaring komitmen investasi pelaku usaha senilai Rp 63,82 triliun. Dari total komitmen investasi tersebut, sebanyak Rp 43,11 triliun sudah direalisasikan oleh pelaku usaha dan badan pengelola kawasan.
Sampai Juli 2021, ada total 149 pelaku usaha yang beroperasi di KEK seluruh Indonesia, serta menyerap 22.380 tenaga kerja. Adapun nilai ekspor dari pelaku usaha di KEK yang dibukukan sampai Juli 2021 adalah Rp 3,66 triliun.
Kajian mendalam
Untuk mendorong pengembangan KEK, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta agar pemerintah daerah dapat mempermudah pengurusan izin bagi investor di wilayah KEK sesuai Undang-Undang Cipta Kerja.
”Kami harap pemerintah provinsi sampai kabupaten/kota punya komitmen kuat untuk mendukung pengembangan KEK lewat peraturan daerah (perda) terkait fasilitas dan kemudahan di daerah,” ujar Airlangga.
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Agraria, Tata Ruang, dan Kawasan Sanny Iskandar, kapasitas badan usaha pembangun dan pengelola (BUPP) KEK perlu dikaji dengan mendalam sebelum pemerintah menetapkan status KEK.
Contoh KEK yang mampu berkembang adalah yang sebelumnya sudah berjalan baik dengan status kawasan industri. ”Terlalu berspekulasi kalau ada yang mengajukan KEK, tetapi untuk membangun status sebagai kawasan industri saja belum memungkinkan, sudah meminta status KEK,” ujarnya.
Menurut dia, aspek terpenting yang harus dipastikan sebelum menetapkan KEK adalah kepemilikan minimal 50 persen dari total lahan seperti yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Selama ini, pembebasan lahan kerap menjadi penghambat, seperti pada kasus Tanjung Api-Api.
Problem lainnya yang sering ditemukan adalah pemerintah daerah mengajukan usulan KEK, tetapi tidak memiliki mitra strategis untuk mengembangkan KEK atau jaringan yang kuat untuk menarik investor. ”Pemrakarsa KEK, pemerintah, juga asosiasi usaha perlu terus berkolaborasi untuk mengawal implementasi pelaksanaan KEK,” katanya.
Beberapa hal yang menurut dia perlu dibenahi agar KEK mampu berdaya saing adalah mendorong ketersediaan dan peningkatan infrastruktur yang terintegrasi dari dan menuju KEK, meningkatkan upaya publikasi atau promosi untuk menarik lebih banyak investor, serta mengurangi berbagai faktor yang menjadi penghambat investasi.
Menurut Presiden Direktur PT AKR Corporindo Haryanto Adikoesoemo, ada tiga isu utama yang menjadi kebutuhan investor, yaitu biaya logistik, biaya produksi, dan kemudahan berusaha. Seperti diketahui, biaya logistik di Indonesia termasuk tinggi di kawasan ASEAN, yakni 24 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Untuk mengatasi biaya logistik ini, ketersediaan infrastruktur menjadi kunci. Demikian pula ketersediaan fasilitas lain untuk menekan biaya produksi, seperti pembangkit listrik, penyediaan pasokan air bersih, instalasi pengelolaan air limbah, jaringan fiber optik, dan jaringan gas alam.
”Dengan biaya logistik yang bisa diturunkan, biaya produksi yang kompetitif, serta insentif dan kemudahan berusaha dari pemerintah, kami percaya dapat menyerap investor asing lebih banyak,” katanya.