Pengenaan pungutan karbon yang hanya sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen dinilai masih terlalu rendah untuk mendorong perubahan perilaku pelaku industri dan dunia usaha.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menerapkan tarif emisi karbon dinilai masih belum matang oleh sejumlah pemangku kepentingan. Selain mekanisme pengenaan tarif yang belum jelas, besaran tarif pajak karbon yang dicanangkan dinilai terlalu rendah untuk mencapai tujuan penguarangan emisi karbon oleh industri.
Rencana pengenaan pajak karbon tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam beleid tersebut, pemerintah mengusulkan pajak karbon atas emisi yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan dengan tarif sebesar Rp 75 per kilogram CO2e (karbon dioksida ekuivalen).
Rancangan penerapan tarif emisi karbon pada RUU KUP masih belum fokus sehingga seolah sekadar cantolan dari semua rancangan perpajakan nasional.
Saat dihubungi Kompas, Rabu (15/9/2021), Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, rancangan penerapan tarif emisi karbon pada RUU KUP masih belum fokus sehingga seolah sekadar cantolan dari semua rancangan perpajakan nasional.
”Baik mekanisme penerapan tarif maupun jenis produk industri yang bakal dikenakan tarif belum ada dalam rancangan undang-undang tersebut. Padahal, penjelasan ini penting bagi kesiapan industri nasional,” ujarnya.
Di samping itu, pengenaan tarif yang hanya sebesar Rp 75 per kilogram CO2e, dinilai oleh Fabby, masih terlalu rendah untuk mendorong perubahan perilaku pelaku industri dan dunia usaha menuju ekonomi hijau. Idealnya, besaran tarif harus setara dengan perhitungan dampak sosial yang diakibatkan terlepasnya setiap kilogram emisi karbon ke udara.
Bank Dunia merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang berkisar 35 dollar AS-100 dollar AS per ton atau sekitar Rp 507.500-Rp 1,4 juta per ton.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia menetapkan rencana tarif pajak karbon minimal Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, yang artinya hanya 5 dollar AS-6 dollar AS per ton.
”Rencana pengenaan tarif pajak karbon yang tertuang dalam RUU KUP terlalu rendah dan tidak akan efektif untuk mengubah pola kebiasaan industri manufaktur untuk mengurangi emisi karbon,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah dapat segera membenahi rancangan payung hukum terkait dengan penerapan tarif pajak emisi karbon sembari memberikan waktu dua hingga tiga tahun bagi pelaku industri dan dunia usaha untuk bersiap-siap. ”Dua hingga tiga tahun adalah waktu paling ideal bagi dunia usaha untuk mempersiapkan diri beralih ke energi terbarukan,” ujar Fabby.
Bila implementasi pajak karbon terlalu cepat, Fabby khawatir hal tersebut akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional. Adapun tidak konkretnya mekanisme penerapan tarif pajak karbon berisiko pada penurunan daya beli masyarakat akibat terkereknya sejumlah harga produk manufaktur.
”Jangan sampai karena aturan yang tidak jelas, masyarakat malah menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut,” kata Fabby.
Sebelumnya dalam dalam pembahasan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Panitia Kerja RUU KUP Komisi XI DPR RI awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, hati-hati, dan menunggu kesiapan dunia industri.
”Hal ini merupakan bagian strategis dari upaya Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca. Implementasi pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor industri serta keselarasan dengan pemulihan ekonomi pascapandemi,” ujar Sri Mulyani.
Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 41 persen pada tahun 2030 dalam penanganan perubahan iklim global. Untuk itu, implementasi pajak karbon akan menjadi sinyal bagi perubahan perilaku para pelaku usaha menuju ekonomi hijau yang kompetitif.
”Penerapan pajak karbon perlu disinkronkan dengan carbon trading sebagai bagian dari peta jalan ekonomi hijau, harmonisasi dengan pajak berbasis emisi karbon, seperti pajak bahan bakar, sembari memperhitungkan dampaknya terhadap industri dan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyampaikan, sebanyak 18 asosiasi pengusaha yang terdiri atas ratusan pengusaha sepakat menolak rencana implementasi pajak karbon.
Penerapan pajak karbon perlu disinkronkan dengan carbon trading sebagai bagian dari peta jalan ekonomi hijau, harmonisasi dengan pajak berbasis emisi karbon, seperti pajak bahan bakar, sembari memperhitungkan dampaknya terhadap industri dan ekonomi.
Arsyad mengatakan, ada beberapa hal yang jadi pertimbangan para pengusaha, antara lain penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan dan sistemik, terutama bagi kestabilan perekonomian Indonesia, neraca perdagangan, dan pendapatan negara.
”Pajak karbon akan membuat penambahan beban biaya bagi perusahaan sehingga membuat industri semakin tertekan, memperlemah daya saing industri, dan meningkatkan laju produk impor ke Indonesia,” ujarnya.