Modal Pemulihan Kuat, RI Tetap Perlu Waspadai Risiko
Kendati masih ada risiko ketidakpasitan akibat pandemi Covid-19, Indonesia memiliki modal kuat untuk pulih dan tumbuh lebih kuat. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 3,5 persen pada 2021 dan 5 persen pada 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Modal Indonesia memulihkan ekonomi dari imbas pandemi Covid-19 dinilai kuat. Di tengah penurunan kasus Covid-19, ekspor, investasi, dan digitalisasi semakin tumbuh. Permintaan domestik juga berangsur-angsur membaik ditopang oleh berbagai stimulus ekonomi.
Akan tetapi, Indonesia tetap perlu mewaspadai risiko penularan Covid-19 yang disebabkan mutasi virus korona baru. Di sisi lain, pengurangan stimulus moneter melalui tapering off atau penghentian pembelian aset obligasi Pemerintah Amerika Serikat oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), berpotensi melemahkan rupiah.
Hal itu mengemuka dalam rangkain acara UOB Economic Outlook 2022: Empowering the Indonesian Economy for Stronger Recovery yang digelar PT Bank UOB Indonesia secara hibrida di Jakarta, Rabu (15/8/2021).
Presiden Direktur PT Bank UOB Indonesia Hendra Gunawan mengatakan, Indonesia bisa pulih lebih cepat di tengah membaiknya permintaan domestik dan eksternal yang didukung dengan kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif serta belanja infrastruktur yang berkelanjutan. Hal ini seiring dengan penggendalian kasus dan percepatan vaksinasi yang mendorong pelonggaran pembatasan sosial dan ekonomi sehingga memberi optimisme percepatan pemulihan ekonomi.
Indonesia memiliki modal kuat untuk pulih dan tumbuh lebih kuat. Modal itu, antara lain, dengan mengoptimalkan pasar komoditas, menjaga keberlanjutan konektivitas regional, dan memanfaatkan ekonomi berbasis konsumsi domestik.
”Kami juga melihat perlunya meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia melalui digitalisasi, akses pembiayaan, dan integrasi dengan rantai pasok perusahaan besar,” katanya.
Indonesia memiliki modal kuat untuk pulih dan tumbuh lebih kuat. Modal itu, antara lain, dengan mengoptimalkan pasar komoditas, menjaga keberlanjutan konektivitas regional, dan memanfaatkan ekonomi berbasis konsumsi domestik.
UOB memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 3,5 persen pada 2021 dan 5 persen pada 2022. Pertumbuhan itu akan ditopang oleh ekspor yang tumbuh kuat lantaran kenaikan harga komoditas, mulai pulihnya permintaan sejumlah negara, berlanjutnya reformasi struktural, dan mulai membaiknya permintaan domestik.
Kredit perbankan juga akan turut menggerakkan ekonomi karena pertumbuhannya mulai membaik. Pada 2021, kredit diperkirakan tumbuh 2-5 persen dan 6-9 persen pada 2022. Adapun inflasi diperkirakan sebesar 2,4 persen tahun ini dan 2,7 persen tahun depan.
Ekonom UOB, Enrico Tanuwidjaja, mengatakan, tingkat inflasi ini memungkinkan pemerintah membuat kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Ditambah dengan sinergi kebijakan ekspansif fiskal dan restrukturisasi utang, kemungkinan pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih menyuruh dan berkesinambungan.
”Kami melihat tahun 2022 adalah tahunnya Indonesia. Ekonomi diharapkan bisa tumbuh 5 persen atau lebih tinggi sehingga Indonesia bisa keluar dari keterpurukan tahun 2020,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Enrico, normalisasi suku bunga acauan dan tapering off The Fed serta munculnya varian baru virus korona tetap membawa risiko bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Normalisasi suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan pada semester II-2022.
Normalisasi suku bunga acauan dan tapering off The Fed serta munculnya varian baru virus korona tetap membawa risiko bagi perekonomian global, termasuk Indonesia.
Baca juga: ”Tapering Off” The Fed Bakal Pengaruhi Harga Komoditas
Adapun tapering off The Fed akan membuat nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp 14.650-Rp 14.800 per dollar AS pada tahun ini dan Rp 14.850-Rp 15.100 per dollar AS pada tahun depan. Kendati begitu, nilai tukar rupiah ini diperkirakan tetap akan terjaga karena aliran dana asing yang masuk Indonesia juga masih akan baik.
”Berbagai upaya reformasi struktural yang telah dilakukan pemerintah dengan menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja dan membentuk lembaga pengelola dana investasi (Indonesia Investment Authority) akan semakin membuat investasi asing langsung (FDI) masuk Indonesia,” katanya.
Ekspansi usaha
Dalam pidato pembukaan kegiatan tersebut, Presiden meminta perbankan dan pelaku usaha segera berekspansi untuk menggerakkan dan mempercepat pemulihan ekonomi di tengah penurunan kasus Covid-19. Sejumlah pemangku kepentingan terkait juga harus memanfaatkan pemulihan ekonomi sejumlah negara untuk meningkatkan ekspor dan mendulang investasi.
”Bank harus segera mengucurkan kredit dan pelaku usaha perlu segera menggerakkan usahanya. Pandemi Covid-19 ini harus menjadi momentum bagi transformasi Indonesia,” ujar Jokowi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pertumbuhan kredit perbankan masih lambat. Pada Juli 2021, kredit perbankan tumbuh 0,5 persen secara tahunan menjadi Rp 5.655 triliun. Adapun penyaluran kredit baru perbankan periode Januari-Juli 2021 sebesar Rp 1.439 triliun.
Baca juga : Presiden Minta Perbankan dan Pelaku Usaha Segera Berekspansi
Menurut Presiden, perekonomian Indonesia berpeluang tumbuh lebih tinggi. Potensi pasar ekspor masih terbuka lebar. Hal itu ditandai dengan pulihnya perekonomian mitra dagang Indonesia pada triwulan II-2021, seperti China yang tumbuh 7,9 persen, AS 2,2 persen, Jepang 7,6 persen, dan India 20,1 persen. Peluang ini harus dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan ekspor sebanyak-banyaknya.
Investasi juga akan tumbuh lebih tinggi, ditopang dengan berbagai reformasi struktural yang banyak memberikan kemudahan berusaha. Reformasi perizinan juga sudah mulai berjalan melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) berbasis risiko sehingga menciptakan iklim investasi yang semakin menarik.
Presiden juga menegaskan, kesehatan adalah prioritas dan kegiatan ekonomi adalah keharusan. Pemerintah berkomitmen mencari solusi dan berupaya yang terbaik untuk menangani pandemi Covid-19 sekaligus melangsungkan kegiatan ekonomi.
”Oleh sebab itu, pemerintah terus menjaga ’gas dan rem’ secara tepat dan dinamis sesuai dengan situasi terkini. Penanganan Covid-19 terus dilakukan dan ekonomi dibuka secara berhati-hati dan terukur,” ujarnya.
Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo mengatakan, Singapura terus memulihkan dan membangun ekonominya di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya adalah membangun industri rantai pasok global di bidang manufaktur.
Temasek Holding, misalnya. Perusahaan pengelola investasi milik Pemerintah Singapura ini berencana mengembangkan industri semikonduktor. ”Hal ini tentunya dapat menjadi peluang yang baik bagi dunia usaha di Indonesia untuk berkerja sama dengan Singapura guna menarik investasi pembangunan industri semikonduktor di Indonesia khusus untuk menyuplai industri mobil listrik,” ucapnya.
Baca juga : Presiden Resmikan Pembangunan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama di Asia Tenggara
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, capaian positif ekspor Indonesia tidak terlepas dari siklus super komoditas, di mana harga sejumlah komoditas melonjak sangat tinggi. Begitu juga dengan impor nonmigas Indonesia, yang pada Januari-Juli 2021 tumbuh 30,46 persen secara tahunan menjadi 106,15 miliar dollar AS.
”Impor nonmigas tersebut merupakan impor yang berkualitas karena sekitar 90 persennya merupakan impor bahan baku/penolong dan barang modal untuk industri. Impor barang konsumsi hanya 10 persen. Ini menunjukkan industrialisasi Indonesia berjalan dengan baik,” ujarnya.
Baca juga : Impor Bahan Baku Meningkat, Aktivitas Industri Membaik
Terkait dengan ekspor komoditas, Enrico berpendapat, Indonesia merupakan negara pengekspor komoditas terbesar. Di tengah tren ekonomi hijau yang diterapkan sejumlah negara, terutama di Eropa, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan ekspor komoditas yang berkelanjutan atau berbasis ESG (ramah lingkiungan, sosial, dan pengelolaan yang baik).
Syarat ESG ini bakal menjadi tantangan bagi ekspor komoditas Indonesia karena mencakup solusi pemanfaatan sumber daya alam, emisi karbon, efisinesi energi, serta polusi dan sampah. Penerapan ESG ini memang masih didominasi negara-negara di Eropa, tetapi ke depan akan berkembang pesat di China, Jepang, dan sejumah negara lain di Asia,” ujar Enrico.
Baca juga: