Upaya Menangkal Derasnya Banjir Peraturan dari Pemerintah...
Perpres No 68/2021 bisa membatasi menteri membuat peraturan. Namun, proses konsultasi dengan Presiden dipastikan memakan waktu. Akan lebih baik ada ketegasan Presiden Jokowi meniadakan peraturan menteri/kepala lembaga.
Berkali-kali Presiden Joko Widodo mengatakan pusing dengan aturan yang terlalu banyak. Di Indonesia, setidaknya ada 42.000 aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah.
Keinginan memangkas aturan selalu disampaikan baik dalam pidato kenegaraan di tahun 2019, dalam sidang kabinet paripurna, rapat terbatas, pertemuan dengan kepala-kepala daerah, maupun dengan pihak swasta. Sudah banyak sebenarnya aturan yang dihapuskan, tetapi masih saja ada kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah yang menerbitkan aturan baru.
Di Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor tahun 2015, misalnya, Presiden Jokowi meminta setidaknya separuh aturan yang ada dihapus. Harapannya, hambatan investasi bisa diatasi. Proses perizinan tak lagi memakan waktu, tenaga, dan biaya.
Tak tahan dengan berlarutnya masalah tumpang tindih aturan yang bejibun ini, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani peraturan presiden yang mewajibkan menteri dan kepala lembaga berkonsultasi sebelum menerbitkan peraturan menteri (permen) atau peraturan kepala (perka) lembaga.
Dalam sidang kabinet paripurna 24 Oktober 2019, Presiden Jokowi kembali meminta para menteri mengidentifikasi aturan-aturan yang tumpang tindih dalam sebulan. Menteri Dalam Negeri juga diminta membenahi peraturan-peraturan daerah.
Tak tahan dengan berlarutnya masalah tumpang tindih aturan ini, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani peraturan presiden yang mewajibkan menteri dan kepala lembaga berkonsultasi sebelum menerbitkan peraturan menteri (permen) atau peraturan kepala (perka) lembaga. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 ini ditandatangani 2 Agustus 2021 dan dipublikasikan 25 Agustus.
Hal ini sebenarnya bukan upaya pertama. Dalam Sidang Kabinet Paripurna 4 April 2017, Presiden sudah meminta supaya permen diterbitkan setelah mendapat persetujuan dalam rapat terbatas.
Baca juga: Teknologi Terintegrasi Topang Kemudahan Berbisnis
Arahan termasuk perintah agar permen disetujui dalam rapat terbatas seakan tak berdaya. Penambahan aturan tetap saja terjadi seperti banjir kala hujan.
Mengalir deras
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi, dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dua pekan lalu, menyebutkan, sepanjang 2014 terdapat 2.111 peraturan menteri (permen) dan peraturan kepala lembaga (perka) yang diundangkan dalam berita negara. Tahun berikutnya, terdapat penambahan 2.104 aturan, tahun 2016 sebanyak 2.170 aturan, lalu 1.977 aturan pada 2017, dan 1.817 aturan pada 2018.
Di periode kedua Presiden Jokowi, penambahan permen dan perka masih mengalir deras. Tahun 2019 tercatat 1.696 permen dan perka yang didaftarkan dalam berita negara, sedangkan tahun 2020 bertambah 1.800 aturan lagi. Adapun sekitar delapan bulan pertama pada 2021, sudah ada 866 permen dan perka baru.
”Boleh dikata, tahun 2021 ini, setiap bulan ada sekitar 100 permen/perka baru,” kata Wicipto.
Derasnya penambahan permen dan perka menimbulkan ketidakyakinan Presiden Jokowi mampu menangani konsultasi rancangan permen dan perka tersebut. Kendati tidak semua aturan memerlukan persetujuan Presiden, diyakini masih sangat banyak yang memerlukan persetujuan Presiden.
Perpres No 68/2021 sebelumnya menetapkan bahwa setiap peraturan yang akan dikeluarkan kementerian dan kepala lembaga harus mendapat persetujuan dari Presiden terlebih dahulu. Artinya, Presiden bisa menolak rancangan peraturan yang akan diterbitkan oleh menteri atau kepala lembaga.
Untuk itu, perpres tersebut mengatur tiga kriteria rancangan permen/perka yang memerlukan persetujuan atau konsultasi dengan Presiden. Pertama, aturan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Kedua, bersifat strategis. Ketiga, lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga.
Baca juga: Indonesia Termasuk Negara dengan Hambatan Regulasi Investasi Tertinggi
Kendati diyakini bertujuan memangkas aturan yang tumpang tindih, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi, menilai, Perpres No 68/2021 tak akan menyelesaikan masalah. Justru birokrasi dalam membuat aturan akan semakin panjang.
Semestinya, menurut Fajri, peraturan menteri hanya digunakan sebagai aturan yang mengikat internal kementerian, bukan mengikat ke luar dan berdampak ke masyarakat luas. Adapun aturan yang berdampak pada masyarakat umum cukup peraturan pemerintah (PP) dan perpres.
”Permen itu seharusnya berbasis kewenangan sektor kerja yang diberikan kepada menteri itu dan seharusnya tidak lepas dari perpres. Tapi, menteri selalu merasa punya kuasa untuk mengatur banyak hal sehingga muncul permen baru. Malah, kalau memang menteri sebagai pembantu Presiden, seharusnya tidak perlu membentuk aturan (lagi dalam bentuk permen) yang bersifat umum dan mengatur masyarakat luas,” tutur Fajri, Jumat (3/9/2021).
Aturan yang berdampak pada masyarakat umum cukup peraturan pemerintah (PP) dan perpres.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, sepakat, dalam sistem presidensiil, tidak diperlukan peraturan menteri. ”Cukup peraturan pemerintah dan peraturan presiden untuk kemudian dijalankan oleh para menteri,” katanya kepada Kompas, awal September.
Oleh karena itu, Feri menilai Perpres No 68/2021 bisa saja membatasi ruang menteri dalam membuat peraturan. Namun, proses konsultasi dipastikan memakan waktu, anggaran, dan memperpanjang proses birokrasi.
Akan lebih baik, kata dia, jika ada ketegasan dari Presiden Jokowi untuk meniadakan permen/perka. Peraturan pemerintah dan peraturan presiden bisa saja disiapkan supaya mampu menjabarkan hal-hal teknis sebagai aturan turunan UU. Dengan demikian, tidak ada penafsiran lain dari kementerian/lembaga dalam menjalankannya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan PSHK, 18 Agustus 2021, Wakil Sekretaris Kabinet Fadlansyah Lubis mengatakan, Sekretariat Kabinet mendapat amanat untuk menjaga implementasi Perpres No 68/2021 tanpa memunculkan birokrasi baru. ”Karena itu, kami intens komunikasi dengan Kemenkumham yang selama ini memproses lahirnya permen dan perka,” tuturnya.
Kendati demikian, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio tetap menilai kewajiban konsultasi ini hanya akan jadi pekerjaan tambahan bagi Presiden.
”Buat apa ada Kementerian Hukum dan HAM? Buat apa ada Kementerian Sekretariat Negara? Kan, cukup. Kalau sampai tidak jalan berarti harmonisasi dan sinkronisasi yang dilakukan Kemenkum HAM enggak jalan dong, sampai Presiden harus turun tangan. Jadi, menurut saya, sih, enggak perlu (sampai Presiden harus turun tangan),” kata Agus, awal September.
Baca juga: Lagi, Kementerian ESDM Cabut 22 Aturan yang Hambat Investasi
Apalagi, lanjutnya, semua menteri memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas. Adalah tugas menteri untuk menyinkronkan dan mengharmoniskan rencana peraturan perundang-undangan.
Positif dari sisi koordinasi
Terbitnya Perpres No 68/2021 disikapi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani sebagai hal positif dari sisi koordinasi. Melalui mekanisme tersebut, semua kebijakan yang telah diputuskan oleh Presiden bisa diterjemahkan dengan baik seluruhnya sampai tingkat menteri. Koordinasi yang baik diharapkan menghasilkan keputusan menteri atau kepala lembaga yang selaras dengan yang diputuskan presiden.
”Di situ, tujuannya sangat bagus. Tapi, hal yang kami khawatirkan sebetulnya adalah prosesnya. Jangan sampai gara-gara (adanya mekanisme persetujuan presiden terhadap rancangan peraturan menteri/kepala lembaga) itu terus menjadi dalih bagi kementerian untuk lama prosesnya untuk menerbitkan,” kata Hariyadi, awal September.
Hariyadi menuturkan, ada tantangan untuk memastikan proses penyusunan peraturan menteri atau kepala lembaga juga cepat dan sekaligus selaras. ”Jangan sampai tidak disinkronkan, (prosesnya) cepat tapi ngawur. Dengan disinkronkan, mudah-mudahan hasilnya bagus. Tapi, yang menjadi perhatian adalah berapa lama jangka waktu untuk menuju ke persetujuan presiden? Itu yang harus diperhatikan,” ujarnya.
Berkaitan dengan partisipasi pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha, dalam penyusunan peraturan menteri selama ini, Hariyadi menuturkan bahwa hal itu amat tergantung menteri bersangkutan. Ada menteri yang mengajak bicara, tetapi ada juga yang tidak mengajak bicara.
”Saya dengan Menteri Tenaga Kerja, misalnya. Kami intens, sangat bagus koordinasinya, pada saat sekarang mau membikin permenaker tentang manfaat layanan tambahan untuk pekerja. Tapi, ada juga menteri yang enggak ngajak ngomong, tahu-tahu keluar saja itu (peraturan menterinya). Ha-ha-ha. Jadi, tergantung menterinya juga,” kata Hariyadi.
Menurut Hariyadi sebagian besar menteri tidak mengajak bicara Apindo saat membuat peraturan menteri. ”Mayoritas tidak mengajak kita ngomong kalau permen (peraturan menteri). Kalau undang-undang, iya, kita terlibat. Tapi, kalau permen, rasanya sih, mayoritas tidak melibatkan kita,” ujarnya.
Hariyadi berpendapat keterlibatan pemangku kepentingan akan berpengaruh juga pada efektivitas kebijakan. Efektivitas kebijakan yang diambil kemungkinan menjadi kurang optimal ketika dalam penyusunannya tidak melibatkan pemangku kepentingan. ”Apalagi, kalau (kebijakan) itu menyangkut kepentingan orang banyak,” katanya.
Hak membuat kebijakan memang ada pada pemerintah. Namun, Hariyadi menuturkan, dalam pembuatan kebijakan harus ada uji publik untuk mengukur dampak kebijakan tersebut. ”Dan, rasanya sih, pemerintahan di seluruh dunia kalau membikin regulasi, ya, pasti untuk kemaslahatan rakyatnya. Enggak mungkin, kan, bikin regulasi kok mau menyusahkan rakyat,” katanya.
Tentu, apa pun peraturan dibuat untuk kebaikan. Barangkali hanya para pelaku yang menjalankan aturan itu semakin sulit. Jadi, kalau memang mudah mengapa dipersulit....