Penerapan sistem kontrak penangkapan ikan dinilai perlu diawasi untuk mengantisipasi potensi pelanggaran dalam eksploitasi sumber daya ikan. Pengawasan juga perlu untuk mengantisipasi berulangnya kasus ”transshipment”.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan bagi industri perikanan mulai tahun 2022 dinilai perlu diimbangi dengan peningkatan pengawasan. Pengawasan di laut diperlukan agar sistem kontrak tidak berbalik memicu persoalan baru serta mengantisipasi berulangnya kasus alih muatan ikan di tengah laut atau transshipment yang merugikan negara.
Sistem kontrak penangkapan ikan bagi industri perikanan merupakan bentuk kerja sama pemanfaatan sumber daya ikan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan badan usaha di zona tertentu dalam jangka waktu dan persyaratan tertentu. Sistem kontrak adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur yang berbasis kuota tangkapan pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Dengan sistem kontrak yang berlaku hingga 20 tahun, perusahaan dinilai memiliki kepastian hukum untuk memanfaatkan kuota tangkapan ikan. Pemerintah juga dapat memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun 2021, pemasukan dari PNBP ditargetkan Rp 1 triliun dan pada 2024 menjadi Rp 12 triliun.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengemukakan, sistem kontrak penangkapan ikan perlu ditopang pendataan hasil tangkapan secara akurat guna mencegah kebocoran, di mana jumlah ikan yang ditangkap tidak sesuai dengan yang dilaporkan dan didaratkan di pelabuhan. Di sisi lain, pengawasan di laut perlu diperkuat untuk menekan pelanggaran di tengah laut.
”Kuncinya pada akurasi sistem perizinan dan pendataan. (Kualitas) sumber daya manusia aparatur harus diperkuat serta pengawasan di laut guna memastikan tidak lagi terjadi transshipment,” ujar Riza,saat dihubungi pada Rabu (15/9/2021).
Alih muatan kapal di tengah laut tanpa didaratkan di pelabuhan pangkapan dalam negeri ditengarai menjadi salah satu modus praktik penangkapan ikan ilegal. Ikan hasil tangkapan dilarikan ke luar negeri melalui alih muatan kapal di tengah laut.
Menurut Riza, pembenahan sistem perizinan dan pendataan hasil tangkapan dapat dilakukan dengan digitalisasi perizinan dan pendataan. Selain mencegah kebocoran pelaporan hasil tangkapan, upaya itu juga dapat mempercepat aktivitas di pelabuhan hingga pemasaran.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, mengemukakan, wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang ditawarkan untuk zona industri perikanan sangat banyak di tengah status mayoritas WPP RI sudah eksploitasi berlebih serta belum ada pembenahan pencatatan dan pendataan secara akurat.
Di sisi lain, aspek pengawasan masih sangat lemah dan normatif karena hanya melihat laporan aset dan laporan produksi yang selama ini kerap tidak akurat dan tersangkut penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. ”Laporan produksi (perikanan) belum berhasil ditangani dengan dugaan hasil penangkapan tidak dilaporkan yang tinggi dan menjadi sumber kebocoran,” kata Abdi.
Tiga zona
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengatakan, kebijakan penangkapan terukur di WPP RI mencakup tiga zona, yakni zona industri perikanan (fishing industry), zona nelayan lokal, dan zona perlindungan laut.
Zona industri perikanan mencakup empat zona, yakni WPP 716 (Laut Sulawesi) dan 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik); WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur); WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara); serta WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan).
Zona industri perikanan akan diisi industri yang memiliki kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT). Nelayan lokal dengan ukuran kapal di bawah 30 GT tetap dapat menangkap ikan dengan kuota pada zona industri perikanan, yakni dengan batas perairan 12 mil serta kuota untuk kegiatan hobi atau wisata memancing.
Kuota tangkapan ikan didasarkan pada hasil penghitungan stok ikan di laut dan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB). JTB akan menentukan jumlah kapal, ukuran kapal, dan alat tangkap yang diizinkan di setiap WPP RI. Dari data KKP, jumlah tangkapan yang dibolehkan tahun 2019 mencapai 9,45 juta ton dengan proyeksi nilai produksi sebesar Rp 229,3 triliun.
Pemerintah sedang menyusun peraturan menteri dan peraturan pemerintah, antara lain mencakup ketentuan, hak dan kewajiban, serta pengenaan sanksi terhadap pelanggaran kebijakan penangkapan terukur.
Dalam Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dengan Sistem Kontrak disebutkan, persyaratan badan usaha yang menjadi pihak kerja sama dengan sistem kontrak merupakan badan usaha swasta nasional, penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing dan BUMN. Selain itu, badan usaha asing ataupun badan usaha pemegang perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan dan/atau perizinan berusaha subsektor pengangkutan ikan.
Persyaratan badan usaha untuk menjadi peserta lelang kontrak, antara lain, memiliki modal usaha paling sedikit Rp 200 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Selain itu, mengajukan paling sedikit 50 kapal penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 100 GT, menggunakan kapal berbendera Indonesia, serta ABK Indonesia. Masa berlaku kontrak paling sedikit 10 tahun dan dapat ditinjau kembali.