Naiknya harga batubara hingga ke level 150 dollar AS per ton dikhawatirkan akan memicu produksi yang berdampak pada daya dukung lahan. Masalah lainnya adalah pengelolaan pascatambang yang pengawasannya masih lemah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Bisa jadi, beberapa bulan terakhir ini adalah bulan-bulan yang menggembirakan bagi pengusaha batubara Indonesia. Di tengah perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, mereka menikmati lonjakan harga batubara yang tembus ke angka 150 dollar AS per ton. Perlu ada kewaspadaan di tengah euforia lonjakan harga komoditas tambang tersebut.
Sejak Maret 2021, harga batubara acuan di Indonesia menanjak signifikan. Pada bulan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga 84,47 dollar AS per ton. Kenaikan harga terus berlanjut hingga menyentuh level 100 dollar AS per ton pada Juni lalu. Puncaknya, pada 6 September, pemerintah mengumumkan harga batubara acuan 150,03 dollar AS per ton.
Kenaikan harga dipicu tingginya permintaan China. Tak hanya dari China, permintaan juga datang dari Korea Selatan dan sebagian wilayah Eropa. Menurut penjelasan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi, sebagaimana yang ditulis harian ini, kenaikan permintaan batubara terjadi di tengah lonjakan harga gas alam. Kedua jenis komoditas tersebut merupakan bahan energi pembangkit listrik.
Apabila kembali menengok ke belakang, posisi harga batubara tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan selama pandemi pada 2020. Tahun itu, harga batubara tak pernah lebih dari 70 dollar AS per ton. Bahkan, pada September 2020, harga batubara ada di titik terendah, yakni 49,42 dollar AS per ton. Secara rata-rata pada 2020, harga batubara Indonesia adalah 58,17 dollar AS per ton. Bandingkan dengan rata-rata harga saat ini, yaitu Januari-September 2021 yang sudah ada di level 102,38 dollar AS per ton.
Kenaikan permintaan batubara terjadi di tengah lonjakan harga gas alam. Kedua jenis komoditas tersebut merupakan bahan energi pembangkit listrik.
Lalu, apa artinya kenaikan harga batubara saat ini? Biasanya harga tinggi akan memicu lonjakan produksi. Ini pernah terjadi pada 2017-2019. Pada 2017, di mana rata-rata harga batubara 85,91 dollar AS per ton, produksi batubara Indonesia 461 juta ton. Tergoda oleh tingginya harga, produksi ditingkatkan menjadi 558 juta ton pada 2018. Adapun rerata harga batubara pada 2018 adalah 98,96 dollar AS per ton.
Dengan kencenderungan harga yang meningkat, produksi batubara pada 2019 didongkrak hingga mencapai 616 juta ton. Padahal, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, produksi batubara Indonesia dibatasi 400 juta ton per tahun pada 2019. Demi laba dan penerimaan devisa, batasan produksi diterabas. Yang mengkhawatirkan adalah kemampuan daya dukung lahan akibat eksploitasi yang berlebihan.
Tata kelola
Dalam beberapa waktu terakhir, wilayah Kalimantan kerap dilanda banjir saat curah hujan tinggi. Beberapa kalangan menyatakan banjir tersebut termasuk yang terbesar dalam sejarah fenomena alam Kalimantan. Agresifnya penggalian tambang batubara disebut-sebut sebagai salah satu pemicunya. Begitu pula alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan.
Selain itu, aktivitas tambang di Kalimantan, khususnya batubara, juga menyisakan lubang bekas tambang. Tercatat lebih dari 3.000 lubang bekas tambang batubara di Indonesia sampai akhir 2018 dan 87 persen ada di Kalimantan (Kompas, 14/1/2021). Lubang bekas galian batubara tersebut diabaikan dan ditelantarkan begitu saja. Lubang-lubang itu kemudian berubah bak kolam raksasa dan menelan puluhan korban jiwa yang jatuh dan tenggelam ke dalam kolam.
Demi laba dan penerimaan devisa, batasan produksi diterabas. Yang mengkhawatirkan adalah kemampuan daya dukung lahan akibat eksploitasi yang berlebihan.
Tak hanya soal lubang bekas tambang, dalam rantai pasok batubara Indonesia juga ditemukan potensi kebocoran penerimaan negara untuk ekspor batubara dimulai sejak penghitungan volume dan kadar kalori. Penghitungan dilakukan surveyor yang dibayar perusahaan batubara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah meneliti dengan cara membandingkan data ekspor batubara dari Kementerian ESDM dengan Kementerian Perdagangan. ICW juga mengumpulkan data ekspor batubara dari Badan Pusat Statistik dengan data dari negara tujuan ekspor (pembeli) batubara Indonesia. Pada 2006-2016, potensi kehilangan pendapatan negara dari pajak atau royalti sekitar Rp 133,6 triliun (Kompas, 19/5/2018). Potensi kehilangan pendapatan negara itu datang dari ketidaksesuaian data antara jumlah batubara yang diekspor dan data riil di lapangan.
Kenaikan harga komoditas tambang boleh disyukuri. Namun, prinsip tata kelola yang baik dan benar sejak dari hulu (penambangan) sampai ke hilir (penjualan) tak boleh diabaikan. Begitu pula tanggung jawab pascatambang harus ditunaikan agar tak menyisakan lubang bekas tambang yang membahayakan nyawa manusia.