Posisi Tawar UMKM Perlu Diperjelas dalam Kemitraan
Posisi tawar usaha mikro, kecil, dan menengah yang lemah dalam kemitraan perlu diperjelas. Perjanjian kemitraan yang kerap digugat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha membuat peran pengusaha besar menjadi bias.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Posisi tawar usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang lemah dalam kemitraan perlu diperjelas. Di satu sisi, pemerintah mendorong usaha besar untuk membuka diri dalam pola kemitraan. Namun, di lain sisi, kemitraan yang sudah dibangun membuat pengusaha besar merasa berada dalam ancaman peraturan yang ditetapkan pemerintah.
Pola kemitraan yang dibangun antara pengusaha besar dan UMKM itu mengemuka dalam webinar nasional bertajuk ”UMKM Naik Kelas Melalui Pengawasan Kemitraan” yang diselenggarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Selasa (14/9/2021).
Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan, kepastian usaha yang lebih baik melalui kemitraan akan memudahkan setiap pelaku usaha dalam merencanakan pengembangan bisnisnya menjadi lebih tinggi lagi. Bagaimanapun caranya, semua pihak akan mendukung UMKM bisa naik kelas.
Menurut Kodrat, kemitraan yang sehat adalah bentuk kerja sama yang dijalankan dengan prinsip-prinsip saling memerlukan, menguntungkan, memercayai, dan memperkuat. Prinsip-prinsip itulah yang senantiasa didorong bersama untuk diterapkan oleh setiap pelaku usaha dalam melaksanakan kemitraannya.
”Menghukum bukanlah tujuan dari pengawasan KPPU. Apa pun yang kita lakukan adalah untuk menjamin pelaksanaan kemitraan yang sehat dan secara sah dilindungi oleh hukum. Pelaku UMKM diharapkan tidak ragu lagi menjalin kemitraan dengan pengusaha besar,” kata Kodrat.
Kepastian usaha yang lebih baik melalui kemitraan akan memudahkan setiap pelaku usaha dalam merencanakan pengembangan bisnisnya menjadi lebih tinggi lagi.
Kodrat menambahkan, bentuk penyalahgunaan posisi tawar dalam kemitraan biasanya timbul dari perjanjian kemitraan. Perjanjiannya terlihat transparan, tetapi dalam pelaksanaannya acap kali tidak transparan. Adanya opsi untuk menentukan perubahan perjanjian sering ditetapkan secara sepihak.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, ”Kami bersama KPPU telah bekerja sama untuk memastikan terbangunnya kemitraan yang baik antara usaha kecil dan usaha besar, baik di pusat maupun daerah, serta menghindari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Idealnya, imbuh Teten, apabila sebuah usaha besar tumbuh berkembang, UMKM seharusnya juga terangkat skala usahanya, bukan malah terjadi kompetisi antara usaha besar dan usaha kecil. Salah satu semangat dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah mendorong kemitraan yang sehat antara usaha besar dan usaha kecil.
Sementara itu, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Fransiscus Welirang atau akrab disapa Franky mengatakan, kemitraan yang diharapkan pemerintah saat itu terkesan bias. Ada kesan bahwa dalam kemitraan perusahaan besar diposisikan sebagai macan yang bakal memakan usaha kecil.
”Kalau begitu (pandangannya), buat apa kita bermitra dengan pengusaha kecil?” ujar Franky.
Salah satu semangat dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah mendorong kemitraan yang sehat antara usaha besar dan usaha kecil.
Di bisnis agro, Franky mengaku juga ikut mengatur kemitraan petani dengan perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah selalu mendorong pengusaha besar untuk bermitra dengan UMKM, tetapi di lain sisi, pemerintah juga terus mengancam pengusaha besar.
Menurut Franky, apabila perjanjian kemitraan itu dinilai perlu dikontrol, pemerintah dipersilakan membuatkan bentuk perjanjiannya. Dalam kelompok usaha Bogasari, konsep kemitraan yang diinginkan adalah usaha untuk bisa tumbuh bersama.
Franky menjelaskan, dilihat dari perusahaan besar, kemitraan memiliki sisi in bound. Artinya, UMKM berada dalam posisi sebagai pemasok yang memiliki ketergantungan pada usaha besar. Dengan posisi ini, kemandirian sangat sulit dicapai.
Kemitraan pun memiliki sisi out bound. Artinya, UMKM diposisikan sebagai penghasil dan memasarkan produknya sendiri. Ini memberikan dampak ekonomi secara langsung bagi UMKM. Tentunya, Bogasari akan berada sebagai penyedia bahan baku. Terbuka pula bagi UMKM untuk menggunakan bahan baku dari kompetitor Bogasari.
“Kemitraan memiliki perjanjian yang bersifat kontrak. Kalau perjanjian kemitraan dikhawatirkan akan membuat kami menguasai atau mengeksploitasi petani, silakan saja pemerintah membuatkan bentuk perjanjiannya,” ujar Franky.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menambahkan, problem tertinggi yang muncul pada UMKM di Jawa Tengah selama pandemi Covid-19 sesungguhnya pemasaran. Masih banyak UMKM yang belum memanfaatkan saluran penjualan secara daring dan masih menerapkan penjualan secara konvensional (luring).
”Padahal, pengguna internet kita sudah sebesar 72,56 persen sehingga (dampaknya) lumayan apabila UMKM bisa segera go digital,” ujar Ganjar.
Turunnya daya beli yang dihadapi UMKM pun dicarikan solusinya dengan mendorong belanja pemerintah daerah, sebagaimana diperintahkan pemerintah pusat. Sebesar 40 persen dari APBN/APBD dibelanjakan produk UMKM, seperti dilakukan Jawa Tengah dengan menyediakan aplikasi Blangkon atau sederhananya sebagai belanja daring.
Usaha mendorong UMKM Jawa Tengah naik kelas tidak sekadar berfokus membangun kemitraan, tetapi juga memperbaiki pengemasan. Kemitraan yang dibangun lebih berupa pembenahan produk hingga teknik pemasaran serba digital, seperti produk makanan ringan, minuman, dan kerajinan tangan.