Dorong PLTS Atap, Industri Rantai Pasok Material Modul Surya Perlu Ditumbuhkan
Untuk mendukung pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, industri rantai pasok material pendukung infrastruktur PLTS dalam negeri perlu ditumbuhkan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membangun industri perangkat infrastruktur pembangkit listrik tenaga surya terintegrasi adalah keniscayaan. Hal ini bukan sekadar memenuhi tuntutan kebijakan tingkat kompenen dalam negeri.
”Dalam masa transisi energi fosil ke energi terbarukan, peluang dan potensi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) besar. Manufaktur internasional kini ramai-ramai menekankan sumber energi terbarukan sebagai bagian penting produksi. Apabila industri perangkat infratrukturnya tidak terintegrasi, Indonesia akan kesulitan mencari modul surya untuk kebutuhan pembangunan di dalam negeri sendiri,” ujar Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa di sela-sela acara Refleksi Empat Tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap, Senin (13/9/2021), di Jakarta.
Material modul surya meliputi sel surya, tempered glass, PV junction box, backsheet, frame, film eva, PV ribbon, dan solar sillicon. Dia mencontohkan, material frame sebenarnya bisa diperoleh dari industri dalam negeri. Produsen kaca di Indonesia sudah ada, tetapi mereka tidak terbiasa memproduksi untuk kebutuhan perangkat infrastruktur PLTS. Begitu pula backsheet, yang produsen dalam negeri bisa membuatnya meskipun bahannya harus impor.
Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 04/M-Ind/Per/2/2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penilaian Tingkat Komponen Dalam Negeri untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya mengatur mengenai TKDN PLTS beserta komponennya. Untuk aspek barang, bobot perhintungannya berkisar 2,65-40,5 persen. Sementara untuk aspek jasa, bobot perhitungannya 3,33-6,67 persen.
Kemudian, ada juga regulasi TKDN lainnya, yaitu Permenperin Nomor 5/M-Ind/Per/2/2017 tentang Perubahan atas Permenperin No 54/M-Ind/Per/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Isi Permenperin ini mengenai TKDN minimal untuk modul surya (fotovoltaik) yang ditingkatkan secara bertahap. Pada tahap pertama sejak Permenperin diundangkan, porsi TKDN minimal 40 persen, kemudian naik minimal 50 persen per 1 Januari 2018. Porsi TKDN minimal naik jadi 60 persen yang berlaku 1 Januari 2019.
Ada pula Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin.
”Rantai pasok material modul surya harus didorong tumbuh dengan produksi sesuai spesifikasi PLTS. Harus disiapkan dari sekarang integrasinya. Mengapa rantai pasok material modul surya tidak tumbuh pesat, mungkin karena permintaan (dari dalam negeri) masih rendah,” kata dia.
Kondisi industri modul surya saat ini terdapat 17 pabrikan dalam negeri dengan kemampuan produksi tahunan yang mencapai sekitar 524 MWp dan maksimum kapasitas per modul surya yang dapat diproduksi dalam negeri sekitar 440 Wp. Namun, menurut Fabby, serapan dari produksi itu baru sekitar 50 MWp. Hal ini menyebabkan industri rantai pasok material modul surya dalam negeri kurang bisa hidup.
Agar rantai pasok material modul surya tumbuh terintegrasi, menurut dia, pasar PLTS atap perlu dibangun. Melalui rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL), misalnya.
”Permintaan PLTS atap dari proyek pemerintah dan badan usaha milik negara juga bisa. Keduanya mengharuskan pemenuhan TKDN,” kata Fabby.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Chrisnawan Anditya mengatakan, kemampuan industri modul surya dalam negeri baru pada tahap perakitan. Material sel surya, misalnya, diimpor dari luar negeri. Salah satu komponen perangkat infrastruktur PLTS yang penting, yaitu inverter, juga masih belum dapat diproduksi di dalam negeri.
Tantangan berikutnya, pengembangan industri modul surya dalam negeri ada pada skala ekonomi yang kecil sehingga tidak kompetitif. Harga panel surya dalam negeri masih 30-45 persen lebih mahal dibandingkan modul surya impor.
Kemampuan produksi modul surya dalam negeri masih terbatas untuk mendukung proyek PLTS skala utilitas/besar. Lalu, teknologi penyimpanan energi masih mahal sehingga PLTS saat ini belum dapat dijadikan pembangkit baseload, seperti pembangkit fosil yang dapat beroperasi 24 jam. PLTS dengan baterai dapat menjadi solusi untuk permasalahan berselang (intermittent).
Dia menyebutkan beberapa langkah untuk mengatasi segala tantangan industri perangkat infrastruktur PLTS tersebut. Sebagai contoh, penciptaan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas pengembangan PLTS dalam kebijakan dan perencanaan. Total potensi PLTS atap yang dapat dikembangkan sebesar 32,5 GW yang terdiri dari potensi kebutuhan sosial (4,6 GW), pemerintah (0,3 GW), rumah tangga (19,8 GW), bisnis (5,9 GW), dan industri (1,9 GW).
”Bersama Kemenperin, kami mencoba memfasilitasi implementasi TKDN antara pengembang dan industri PLTS atap dalam negeri,” ujar Chrisnawan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga Juli 2021, jumlah pelanggan PLTS atap mencapai 4.028 dengan kapasitas setiap tahun mencapai 35,56 MWp. Jumlah pelanggan terbesar berasal dari sektor rumah tangga, yaitu 3.300. Dilihat dari sisi wilayah, kapasitas terbesar berasal dari Jawa Barat, yaitu mencapai 8,84 MWp.
Managing Director PT Xurya Daya Indonesia Eka Himawan berpendapat, konsumen semakin kritis terhadap produk yang mereka konsumsi. Hal itu terlihat dari fenomena sejumlah konsumen yang mau belajar mengetahui proses produksi barang dan operasional pabrik sesuai tidaknya dengan konsep lingkungan berkelanjutan. Ini berpeluang meningkatkan instalasi PLTS atap.
Pada hari yang sama, sejumlah perusahaan menandatangani dukungan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap, antara lain, PT MGM Bosco Logistics, PT Suri Nusantara Jaya, PT Nusa Toyotetsu Corp, Hotel Santika Premiere Bandara Palembang, dan PT Platinum Ceramics Industry.