Pemerintah perlu mereformasi struktur ekonomi agar pertumbuhan ekonomi menjadi inklusif atau bisa dinikmati semua orang tanpa terkecuali.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Pandemi yang melanda seluruh dunia menunjukkan dua wajah berbeda dari digitalisasi. Ibarat pisau bermata dua, digitalisasi menunjukkan sisi yang bermanfaat bagi banyak orang, tapi di satu sisi juga menampilkan sisi yang menyulitkan dan merepotkan orang.
Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Bambang Susantono, kala didapuk menjadi pembicara dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXI dan Seminar Nasional 2021, beberapa waktu lalu, mengajak masyarakat mewaspadai kesenjangan yang ditimbulkan pandemi dan efek samping yang ditimbulkan digitalisasi. Pandemi Covid-19 diprediksi bisa memperlebar jurang kesenjangan antara pihak yang memiliki akses digital dan keuangan dengan yang tidak.
Kondisi ekonomi diprediksi akan membentuk pertumbuhan dengan model menyerupai huruf ’K’. Percabangan huruf ’K’ ke atas menunjukkan pertumbuhan yang terjadi pada kelompok atau negara yang memiliki akses digital dan keuangan. Sementara mereka yang tidak memiliki akses digital dan keuangan akan semakin terpuruk seperti digambarkan percabangan ke bawah huruf ’K’.
Ini karena pandemi memicu terbentuknya ekosistem yang mengharuskan penggunaan digital dalam setiap aspek kehidupan. Mereka yang tidak memiliki kemudahan untuk mengakses teknologi digital akan tertinggal.
Inilah dua wajah dari digitalisasi. Digitalisasi memang bermanfaat untuk meminimalkan dampak Covid-19 karena kini semua segala hal bisa terhubung dari jarak jauh. Namun, di satu sisi kelompok atau negara yang kesulitan mengakses digital akan makin terpuruk.
Pertumbuhan model huruf K ini menjadi semacam antitesis pendapat sebelumnya bahwa keberadaan digitalisasi seharusnya bisa mengikis kesenjangan. Namun, belum meratanya digitalisasi di masyarakat justru akan membuat jurang kesenjangan makin dalam.
Berkat digitalisasi, kalangan pekerja menengah ke atas bisa ’menikmati’ kerja dari rumah selama pandemi. Kondisi pandemi membuat biaya pengeluaran kelompok menengah atas berkurang drastis, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bersifat leisure, seperti kongko-kongko dan liburan.
Hasilnya, saldo tabungan kalangan ini pun makin gemuk selama pandemi. Simpanan tersebut kemudian digunakan untuk berinvestasi dengan membeli saham di pasar modal atau aset properti sehingga pendapatan mereka terus bertumbuh.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor lapangan usaha informasi dan komunikasi konsisten mencatat pertumbuhan positif sejak awal pandemi pada triwulan II-2020 hingga sekarang.
Sementara sektor lapangan usaha yang tidak memungkinkan untuk bekerja tanpa adanya bantuan digitalisasi tidak bisa menikmati pertumbuhan. Hal itu, misalnya, transportasi dan pergudangan yang sempat tumbuh negatif hingga 30 persen secara tahunan pada triwulan kedua tahun lalu akibat adanya pembatasan sosial untuk mengendalikan kasus Covid-19.
Pada awalnya, para pionir perusahaan teknologi sering kali mengatakan, digitalisasi akan mengikis ketimpangan melalui konsep ekonomi berbagi. Namun, lama-kelamaan digitalisasi malah berubah wujud menjadi kendaraan bagi si kaya untuk terus memupuk modalnya. Sementara mereka yang belum terjangkau digitalisasi makin ketinggalan.
Per Februari 2021, jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 8,75 juta orang atau bertambah sebanyak 1,82 juta orang dibandingkan dengan Februari 2020 yang sebanyak 6,93 juta orang. BPS mencatat, rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Ketimpangan yang melebar juga tecermin dari meningkatnya rasio gini. Pada Maret 2020 atau saat awal pandemi, rasio gini berada pada level 0,381, sedangkan pada Maret 2021 rasio gini berada pada level 0,384. Rasio gini berkisar 0-1, mendekati 1 menandai ketimpangan yang melebar.
Berkaca dari fenomena ini, pemerintah perlu mereformasi struktur ekonomi agar pertumbuhan ekonomi menjadi inklusif atau bisa dinikmati semua orang tanpa terkecuali. Karena itu, perlu diapresiasi upaya-upaya mendorong pelaku UMKM, petani, hingga nelayan untuk melek teknologi sehingga bisa meningkatkan kapasitasnya.
Ini agar tujuan digitalisasi untuk mengikis kesenjangan benar-benar bisa terwujud bukan malah sebaliknya memperlebar jurang ketimpangan.