Kekhawatiran Soal Tergerusnya Pendapatan Masih Besar
Perbincangan di media sosial didominasi keluhan penurunan pendapatan dan kekhawatiran di-PHK. Masyarakat masih pesimistis dengan kondisi ekonomi, terutama terkait ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan geliat usaha.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pencari kerja berkeliling kawasan industri JIEP Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (8/9/2020). Pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian dan kesejahteraan. Selain pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan anjlok, jumlah pengangguran dan kemiskinan juga diperkirakan meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran masyarakat terhadap semakin tergerusnya pendapatan dan akses pekerjaan masih besar. Hal itu dibarengi dengan beban masyarakat yang semakin tinggi, mulai dari pemenuhan kebutuhan harian hingga pengeluaran untuk biaya pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah diharapkan benar-benar menggerakkan ekonomi secara aman di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlanjut. Selain itu, jaring pengaman sosial tetap perlu digulirkan dan upaya menyediakan lapangan kerja perlu ditingkatkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Analisis Big Data: Apa Kabar Konsumen Indonesia Selama PPKM?” yang digelar secara virtual oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Jumat (10/9/2021). Hadir sebagai pembicara adalah analis data Continuum Muhammad Azzam dan Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto.
Diskusi tersebut membahas mengenai kondisi konsumen Indonesia selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 1 Juli-15 Agustus 2021 berdasarkan pendekatan mahadata media sosial dari berbagai kalangan masyarakat. Data yang dikumpulkan dan dianalisis itu sebanyak 4,042 juta pembicaraan dari 3,458 juta akun media sosial di 34 provinsi.
Azzam mengatakan, sebagian besar perbincangan di media sosial atau sekitar 75 persen berisi keluhan turunnya pendapatan dan gaji yang kecil. Misalnya tentang berkurangnya penghasilan pribadi dan orangtua lantaran gaji dipotong, mengalami pemutusan hubungan kerja, serta sepinya dan kebrangkutan usaha.
”Bahkan untuk masyarakat kelas bawah banyak yang berpendapat bahwa PPKM dan WFH (bekerja dari rumah) relevan bagi kalangan kelas menengah atas. Sementara mereka yang mengandalkan pekerjaan harian kesulitan mendapatkan pemasukan,” ujarnya.
Sebagian besar perbincangan di media sosial atau sekitar 75 persen berisi keluhan turunnya pendapatan dan gaji yang kecil.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Tangkapan layar analis data Continuum Muhammad Azzam yang tengah memaparkan hasial analisis data media sosial tentang kondisi masyarakat dalam diskusi publik ”Analisis Big Data: Apa Kabar Konsumen Indonesia Selama PPKM?” yang digelar secara virtual oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Jumat (10/9/2021).
Selain itu, lanjut Azzam, sentimen negatif masyarakat terkait pengangguran, pemutusan hubungan kerja, dan lowongan pekerjaan juga mendominasi. Sebanyak 90 persen perbincangan di media sosial menunjukkan hal itu.
Pada umumnya mereka menyatakan, PPKM dan pandemi yang belum berakhir akan menambah jumlah pekerja yang dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya. Beberapa lulusan perguruan tinggi juga menganggap lowongan pekerjaan semakin sedikit dan mengaku kusulitan mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, upah atau gaji buruh, karyawan, dan pegawai, serta pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian pada Februari 2021 dibandingkan Februari 2020 turun. Rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Menurut Azzam, di tengah tergerusnya pendapatan tersebut, keluhan masyarakat di media sosial terkait biaya pendidikan pengeluaran untuk kesehatan meningkat cukup tinggi. Perbincangan tentang pendidikan meningkat 30 persen, terutama terkait kesulitan membayar uang kuliah tunggal (UKT), sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), dan buku pelajaran.
Adapun perbincangan tentang kesehatan meningkat tiga kali lipat, terutama di pekan kedua PPKM darurat. Sebanyak 80 persen dari perbincangan di media sosial berisi tentang keluhan harga obat, vitamin, dan oksigen yang melambung tinggi, serta biaya isolasi mandiri yang mahal.
”Mereka menilai kebutuhan rakyat selama PPKM kurang dijamin oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya hadir secara optimal untuk mengatasi persoalan-persoalan di berbagai sektor kehidupan tersebut,” kata Azzam.
Sementara itu, Eko berpendapat, kegelisahan masyarakat tersebut juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2021. Bank Indonesia menyebutkan, IKK pada bulan tersebut sebesar 77,3 atau lebih rendah dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 80,2.
”Angka IKK pada Agustus 2021 itu merupakan yang terendah dalam 12 tahun terakhir ini. IKK yang masih berada di bawah 100 ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini,” ujarnya.
Angka IKK pada Agustus 2021 itu merupakan yang terendah dalam 12 tahun terakhir ini. IKK yang masih berada di bawah 100 ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini.
Pesimisme masyarakat juga ditunjukkan oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang dihitung dari tiga komponen indeks, yaitu penghasilan saat ini, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama. BI mencatat, IKE pada Agustus 2021 sebesar 59,4 atau lebih rendah dari IKE Juli 2021 yang sebesar 67,1.
Indeks komponen penghasilan saat ini juga turun dari 74,1 pada Juli 2021 menjadi 63,4 pada Agustus 2021. Demikian juga indeks komponen ketersediaan lapangan kerja yang anjlok dari 50,1 pada Juli 2021 menjadi 40,3 pada Agustus 2021.
”Hal itu menunjukkan keyakinan konsumen atau masyarakat terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja melemah, terutama pada saat kebijakan PPKM diterapkan guna mengendalikan pandemi Covid-19,” ujarnya.
Seorang ibu yang mencari nafkah dengan menjadi badut menyuapi putrinya di sela-sela waktu istirahat di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (6/2/2021).
Kendati begitu, lanjut Eko, masyarakat memiliki ekspektasi besar ekonomi Indonesia bisa pulih secara bertahap. Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan menguat dari bulan sebelumnya kendati masih di zona pesimistis.
Hal ini tecermin dari Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) Agustus 2021 yang sebesar 95,3, lebih tinggi dari 93,2 pada Juli 2021. Masyarakat optimistis penghasilan akan membaik hingga enam bulan mendatang. Namun, mereka masih pesimistis terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan perkembangan usaha.
BI menunjukkan, Indeks Ekspetasi Ketersediaan Lapangan Pekerjaan pada Agustus 2021 masih sama dengan Juli 2021, yaitu 91. Adapun Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha mulai meningkat dari 84,4 pada Juli 2021 menjadi 87,4 pada Agustus 2021 kendati masih di zona pesimistis.
”Kami berharap, sembari meningkatkan penanganan pandemi dan mempercepat vaksinasi, terutama di luar Jawa, pemerintah juga tetap perlu melanjutkan program jaring pengaman sosial, mengerakkan usaha, dan menciptakan lapangan kerja,” kata Eko.