Infrastruktur Jaringan Gas untuk Industri Belum Memadai
Infrastruktur jaringan gas umumnya belum merata. Hanya beberapa titik yang sudah dilalui saluran pipa gas memadai. Hal itu menghambat utilisasi gas bumi oleh industri kendati sudah diberi insentif penurunan harga gas.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah memperluas penerapan harga gas bumi tertentu bagi industri perlu diiringi dengan pembangunan infrastruktur jaringan gas yang merata. Akibat ketersediaan jaringan pipa gas yang belum memadai, masih ada sektor tertentu yang belum bisa menikmati insentif harga gas murah untuk industri.
Wakil Ketua Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Achmad Widjaja menilai, penerapan pemberian harga gas bumi tertentu (HGBT) bagi sejumlah industri senilai 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah infrastruktur jaringan gas yang belum memadai.
Salah satu contohnya, tahun ini, sebuah perusahaan pupuk di Jawa Timur yang sebenarnya mendapat insentif harga gas menghentikan operasi salah satu pabriknya karena pasokan gas yang tidak andal di kawasan tersebut.
”Kondisi sekarang ini, banyak industri yang belum maksimal memakai gas karena cabang-cabang pipa (gas) itu belum maksimal sampai ke ’mulut’ atau pintu masuk pabrik,” katanya saat dihubungi, Jumat (10/9/2021).
Ia mengatakan, pembangunan jaringan gas umumnya belum merata di suatu kawasan. Hanya beberapa titik tertentu yang sudah dilalui saluran pipa gas yang memadai.
Sementara itu, industri yang terletak di luar lokasi ”strategis” suatu kawasan sulit memasok gas bagi keperluan produksinya. Terkadang, meski sudah tersedia, jaringan pipa yang ada kurang menjangkau hingga ke lokasi dekat tempat industri beroperasi.
Menurut Achmad, jika ingin mendorong utilisasi atau penyerapan kebijakan HGBT, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT Perusahaan Gas Negara (PGN) harus terlebih dahulu menjamin pembangunan infrastruktur jaringan gas yang merata di berbagai kawasan. Apalagi, dengan rencana penurunan tarif gas bumi bagi industri yang akan diberlakukan ke seluruh sektor industri di sejumlah daerah.
”Bahkan, pemerintah harus mulai berpikir bagaimana mendorong layanan pipanisasi tambahan kepada seluruh industri, termasuk yang saat ini belum memakai gas untuk industrinya,” kata Achmad.
Sebagai gambaran, saat ini, 70 persen industri masih menggunakan solar untuk sumber energi yang menggerakkan mesin produksinya. Hanya 30 persen yang menggunakan gas bumi.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian telah mengusulkan 13 sektor industri tambahan untuk mendapat harga gas sebesar 6 dollar AS per juta MMBTU. Ke-13 sektor itu adalah industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah (crumb rubber), refraktori, elektronik, plastik fleksibel (lembaran), farmasi, semen, dan industri asam amino.
Saat ini, industri yang sudah menikmati harga gas bersubsidi tersebut baru tujuh sektor, yakni pupuk, oleokimia, keramik, petrokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet, yang total terdiri atas 176 industri.
Data Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian menunjukkan, sepanjang 2020, realisasi penyerapan gas bumi oleh tujuh sektor industri yang sudah mendapat insentif harga gas tersebut adalah 77,36 persen dari total alokasi volume gas sebanyak 1.199,81 british thermal unit per hari (BBTUD). Sementara, hingga April 2021, realisasinya 79,63 persen dari total alokasi volume.
Masih dikaji
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kemenperin Eko SA Cahyanto mengatakan, usulan dari Kemenperin untuk memperluas cakupan sektor yang menerima diskon harga gas industri itu masih dikaji di Kementerian ESDM.
”Industri kebutuhannya berbeda-beda. Kenapa sektor yang mendapat insentif di awal hanya tujuh industri, itu karena mereka yang paling banyak melahap gas (dalam proses produksinya). Kami tambahkan 13 sektor lain yang juga melahap gas meski tidak sebanyak tujuh sektor pertama,” kata Eko.
Kemenperin, ujarnya, sebenarnya ingin mendorong harga gas agar bisa serendah mungkin untuk seluruh sektor, untuk mendorong daya saing industri. Dampaknya akan sangat luas, dari peningkatan utilisasi industri, penambahan investasi, yang juga akhirnya bisa mendongkrak pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, faktor keekonomisan masih menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab, penurunan harga gas hingga mencapai 6 dollar AS per MMBTU dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor hulu migas. Saat ini, kebutuhan konsumsi gas di tiap industri sedang dicek ulang.
”Jangan sampai nyatanya kebutuhan hanya sedikit, tetapi kita memberi insentif dan (membangun) jaringan gas. Pertimbangan nilai keekonomisan terhadap usulan ini menjadi salah satu hal utama yang masih dibahas di ESDM. Kita harus mempertimbangkan dari sektor hulu sampai hilirnya,” katanya.
Nilai keekonomisan itu juga berkaitan erat dengan penyediaan infrastruktur jaringan gas. Kebijakan harga gas murah tetap tidak akan efektif jika infrastrukturnya tidak memadai.
”Inilah mengapa sebenarnya kami mendorong industri baru untuk berinvestasi di kawasan industri, yang jaringan gasnya sudah lebih terjamin. Untuk industri existing, pemerintah akan terus membangun jaringan. Ini menjadi domain dari Kementerian ESDM,” ujarnya.
Konsumen terbesar
Secara terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, pemerintah akan terus mendorong pemanfaatan gas bumi oleh industri nasional. Penyesuaian harga gas untuk industri ditetapkan untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan mendorong penyerapan gas bumi oleh industri.
Menurut data Kementerian ESDM, tahun ini sektor industri menjadi pengguna terbesar gas bumi, menyerap 1.597,44 BBTUF atau 28,22 persen dari total pemanfaatan gas produksi nasional.
Konsumen terbesar selanjutnya adalah pabrik pupuk dengan serapan 705,03 BBTUD atau 12,45 persen, sektor kelistrikan 681,50 BBTUD atau 12,04 persen, dan domestik LNG (liquified naturalgas) 504,51 BBTUD atau sebanyak 8,91 persen.
Upaya untuk mendorong penyerapan gas, seperti pembangunan infrastruktur jaringan gas, juga akan didorong, terutama di wilayah timur Indonesia.
Pemerintah juga membangun pipa transmisi Cirebon-Semarang sepanjang 260 kilometer dan pipa Dumai-Sei Mangkei sepanjang 360 kilometer. Pengembangan infrastuktur itu diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri di Sumatera dan Jawa.