Pemerintah baru mengasuransikan 4.334 aset barang milik negara dari 51 kementerian/lembaga dengan premi sebesar Rp 49,13 miliar. Adapun total nilai pertanggungan dari seluruh aset tersebut sebesar Rp 32,41 triliun.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan mendorong agar seluruh kementerian dan lembaga di Indonesia segera mendaftarkan aset bangunan ataupun sarana dan prasarana mereka dalam Konsorsium Asuransi Barang Milik Negara. Pasalnya, asuransi ini penting untuk penanggulangan dampak bencana yang terjadi pada aset negara.
Hingga 31 Agustus 2021, dari 84 kementerian/lembaga di Indonesia, baru tercatat 51 kementerian/lembaga yang mengimplementasikan Asuransi Barang Milik Negara (BMN). Konsorsium Asuransi BMN beranggotakan 50 perusahaan asuransi umum dan enam perusahaan reasuransi.
Direktur Barang Milik Negara pada Kementerian Keuangan Encep Sudarwan mengatakan, keterbatasan anggaran untuk pembayaran premi menyebabkan sejumlah kementerian/lembaga belum mengimplementasi Asuransi BMN. Tahun ini, Kementerian Keuangan berupaya mendorong persiapan perluasan obyek Asuransi BMN.
”Terdapat 33 kementerian/lembaga yang akan kami dorong untuk ikut program Asuransi BMN. Untuk mengasuransikan, tidak harus semua aset, tetapi mungkin bangunan-bangunan strategis atau bangunan utama dulu,” kata Encep dalam diskusi secara daring, Jumat (10/9/2021).
Secara total, pemerintah telah mengasuransikan 4.334 aset dari 51 kementerian/lembaga dengan premi sebesar Rp 49,13 miliar. Adapun total nilai pertanggungan dari seluruh aset tersebut mencapai Rp 32,41 triliun.
Hingga 31 Agustus 2021, dari 84 kementerian/lembaga di Indonesia, baru tercatat 51 kementerian/lembaga yang mengimplementasikan Asuransi Barang Milik Negara (BMN).
Biaya premi yang telah ditetapkan oleh Konsorsium Asuransi BMN adalah sebesar 0,1965 persen dari nilai aset yang diasuransikan. Sebagai contoh, terdapat 1.360 gedung Kementerian Keuangan dengan nilai aset sebesar Rp 10,84 triliun yang diasuransikan dan preminya sebesar Rp 21,3 miliar.
Terdapat dua kelompok obyek Asuransi BMN, yaitu kelompok pertama berupa gedung dan bangunan dengan kriteria mempunyai dampak terhadap pelayanan umum apabila rusak atau hilang, serta menunjang kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Adapun kelompok kedua adalah sarana dan prasarana, antara lain komponen struktural, mekanikal, elektrikal, dan tata ruang luar.
”Diharapkan tahun depan seluruh kementerian/lembaga telah mengimplementasikan Asuransi BMN untuk mengasuransikan obyek-obyek vital mereka sehingga apabila suatu saat perlu perbaikan karena bencana tidak harus menggunakan uang negara,” ucap Encep.
Salah satu contoh obyek milik kementerian/lembaga yang belum diasuransikan sehingga kerusakannya harus ditanggung oleh negara adalah bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, yang terbakar pada Rabu (8/9/2021) dini hari.
”Kerugian akibat kebakaran tersebut sementara ditaksir mencapai Rp 1,5 miliar. Kami akan mendorong seluruh kementerian dan lembaga untuk menyertakan aset-asetnya ke dalam asuransi BMN,” ujar Encep.
Salah satu contoh obyek milik kementerian/lembaga yang belum diasuransikan sehingga kerusakannya harus ditanggung oleh negara adalah bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, yang terbakar pada Rabu (8/9/2021) dini hari.
Pada pertengahan Agustus lalu, pemerintah telah meluncurkan pendanaan inovatif berupa Dana Bersama Bencana melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Adapun dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp 7,3 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, Dana Bersama Bencana (Pooling Fund Bencana/PFB) merupakan bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (Disaster Risk Financing and Insurance/DRFI).
”Strategi DRFI ini memungkinkan pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN atau APBD, ataupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat,” kata Febrio.
PFB juga merupakan instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang menjadi skema pengumpulan dana dari sejumlah sumber, yakni dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.
Febrio menambahkan, PFB sebagai upaya pemerintah mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif guna selangkah lebih dekat menuju masyarakat tangguh menghadapi bencana. Selain itu, PFB juga penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana, khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko.