Tol Trans-Sumatera Tahap I Ditargetkan Tuntas pada 2023
Pembangunan Tol Trans-Sumatera menghadapi tantangan dari segi pembiayaan. Meski demikian, dampak ekonomi yang ditimbulkan diyakini mendorong perekonomian nasional.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan tahap I Jalan Tol Trans-Sumatera sepanjang 1.064 kilometer ditargetkan tuntas pada 2023 dengan total biaya sekitar Rp 152 triliun. Tol Trans-Sumatera diyakini mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru di Sumatera.
Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Budi Harto mengemukakan, pihaknya kini tengah menyelesaikan pembangunan tahap I. Karena biaya besar proyek pembangunan, Jalan Tol Trans-Sumatera dinilai tidak layak secara finansial dan kurang diminati swasta. Oleh karena itu, pemerintah menugaskan Hutama Karya membangun tol itu. Meski biaya proyek tidak layak secara finansial, dampak pembangunan jalan tol itu sangat besar untuk pengembangan ekonomi di Sumatera.
”Kehadiran Jalan Tol Trans-Sumatera akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Sumatera, menurunkan biaya logistik, antardaerah terkoneksi dengan baik, dan perjalanan lebih singkat sehingga akan mengundang investor untuk mengembangkan potensi ekonomi di Sumatera. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal,” katanya, dalam Webinar: ”Trans-Sumatra Toll Road: Accelerating Indonesia’s Economic Growth Through Infrastructure Development”, Kamis (9/9/2021).
Tahun 2021, penyertaan modal negara (PMN) yang telah cair sebesar Rp 6,2 triliun. Selain itu, pemerintah juga dalam proses mengalokasikan tambahan PMN sebesar Rp 19 triliun hingga akhir tahun ini untuk mempercepat penyelesaian beberapa ruas Tol Trans-Sumatera. PMN untuk Hutama Karya itu akan digunakan untuk melanjutkan penyelesaian 4 ruas Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) di Medan-Binjai, yaitu Binjai-Langsa (Seksi Binjai-Pangkalan Brandan), Pekanbaru-Dumai dan Kuala Tanjung, serta Tebing Tinggi-Parapat.
Dukungan pemerintah juga ditunjukkan dalam bentuk pendanaan melalui Sovereign Wealth Funds sebagai alternatif untuk investasi dan solusi pendanaan untuk menyelesaikan proyek-proyek yang dikerjakan.
Menteri Koordinator Perekonomian 2009-2014 Hatta Rajasa mengemukakan, tingginya biaya logistik akibat lemahnya penyediaan infrastruktur untuk konektivitas antarwilayah telah berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia. Diperlukan upaya serius untuk membangun infrastruktur yang mendorong konektivitas untuk menurunkan biaya logistik sehingga meningkatkan daya saing produk.
Upaya itu di antaranya melalui pembangunan jalan tol yang ditunjang dengan peningkatan kapasitas pelabuhan untuk memaksimalkan potensi ekonomi. Jika seluruh Jalan Tol Trans-Sumatera tersambung dari Lampung sampai Banda Aceh, waktu tempuh perjalanan bisa dihemat hingga 55-60 jam.
Ia mencontohkan, kapasitas batubara di Sumatera Selatan dibatasi oleh keterbatasan daya angkut, bukan kemampuan produksi. Produksi PT Bukit Asam Tbk selama ini tidak lebih dari 30 juta ton per tahun karena keterbatasan kapasitas angkut.
Menurut Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro, pengembangan jalan tol harus diikuti dengan persiapan daerah untuk mengoptimalkan keunikan wilayah guna menarik perekonomian.
Deputy CEO Indonesia Investment Authority (INA) Arief Budiman mengemukakan, selama 2014-2019, banyak pembangunan infrastruktur didorong pendanaan APBN dan BUMN. Meski ruang APBN dinilai masih cukup dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 30 persen, diperlukan adanya diversifikasi pendanaan.
”Kita melihat BUMN-BUMN yang diberikan penugasan dan kuasa di tahap sekarang sudah mencapai titik maksimal. Kita membutuhkan altternatif permodalan yang sifatnya bukan utang, seperti ekuitas,” katanya.
Lembaga pengelola investasi diharapkan mendorong ketertarikan investor untuk melakukan investasi di Indonesia. ”Persoalannya, masih banyak faktor risiko dan kesulitan mencari mitra yang bisa dipercaya serta memiliki legalitas yang kuat untuk bisa masuk dan berinvestasi,” katanya.