Tanpa PMN, Peringkat BNI Bisa Turun dan KPR BTN Bisa Tak Optimal
Dua bank BUMN, yakni BNI dan BTN, membutuhkan penyertaan modal negara. Tanpa PMN itu, peringkat BNI bisa turun dan BTN tidak akan optimal dalam mendukung program perumahan rakyat.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk mengajukan penyertaan modal negara atau PMN tahun anggaran 2022 masing-masing Rp 7 triliun dan Rp 2 triliun untuk memperkuat modal inti. Tanpa PMN, peringkat BNI bisa turun dan BTN tidak akan optimal dalam mendukung program perumahan rakyat.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat jajaran direksi BNI dan BTN dengan Komisi VI DPR yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Kamis (9/9/2021). Hadir dalam kesempatan itu, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar dan Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo.
Royke mengatakan, BNI membutuhkan PMN pada tahun depan sebesar Rp 7 triliun untuk memperkuat modal inti, ekspansi kredit, dan antisipasi ketidakpastian ekonomi akibat imbas pandemi Covid-19. Per Juni 2021, total rasio kecukupan modal (CAR) BNI sebesar 18,18 persen, sedangkan rasio kecukupan modal inti (CAR Tier 1) BNI hanya 15,99 persen.
CAR Tier 1 BNI di bawah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang sebesar 17,86 persen, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk 18,62 persen, dan PT Bank Central Asia Tbk 24,35 persen. ”Oleh karena itu, kami berupaya menambah modal inti dengan melakukan subdebt (menerbitkan obligasi subordinasi atau subordinated debt),” kata Royke.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, CAR industri perbankan pada Juni 2021 sebesar 24,33 persen. Batas minimal CAR Tier 1 bank adalah 12 persen dan jika ditopang dengan tambahan modal penyangga (buffer) atau CAR Tier 2 minimal menjadi 14-15 persen.
BNI membutuhkan PMN pada tahun depan sebesar Rp 7 triliun untuk memperkuat modal inti, ekspansi kredit, dan antisipasi ketidakpastian ekonomi akibat imbas pandemi Covid-19.
Royke menambahkan, jika tidak ada penguatan modal inti melalui PMN 2022, peringkat BNI akan turun. Jika peringkat turun, BNI akan menanggung kenaikan cost of fund (biaya dana). Tentu saja ini akan memengaruhi kinerja BNI di tengah belum berakhirnya pandemi.
Sepanjang semester I-2021, total aset BNI Rp 875,138 triliun, tumbuh 5 persen secara tahunan. Laba bersih BNI Rp 5,027 triliun atau tumbuh 12,8 persen. Adapun laba operasional sebelum pencadangan untuk mengantisipasi risiko sebesar Rp 16,139 triliun.
Pada periode tersebut, penyaluran kredit BNI tumbuh 4,5 persen secara tahunan menjadi Rp 569,735 triliun. Adapun rasio kredit bermasalah (NPL) meningkat dari 3 persen pada semester I-2020 menjadi 3,9 persen pada semester I-2021.
Menurut Royke, saat ini BNI tengah bertransformasi mengembangkan digitalisasi perbankan, baik dari sisi bisnis maupun sarana teknologi. BNI juga memiliki sejumlah program, salah satunya UKM Go Global, Xpora.
”Kami mendapat mandat untuk go global dan bekerja sama dengan UKM dan diaspora. Tahun ini , kami akan membuka cabang di Los Angeles, Amerika Serikat, dan Amsterdam, Belanda. Tujuannya adalah memfasilitasi diaspora dan UKM yang berbisnis di kedua negara itu,” ujarnya.
Sementara itu, Haru mengatakan, BTN mengusulkan PMN 2022 senilai Rp 2 triliun, terutama untuk memperkuat struktur permodalan dan penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) pada 2021-2025. BTN akan menempuh mekanisme right issue atau hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) dengan keikutsertaan pemerintah melalui PMN tersebut.
Dalam Rencana Bisnis Bank yang disusun pada akhir tahun lalu, BTN akan melakukan right issue senilai Rp 5 triliun. Porsi HMETD pemerintah sebagai pemegang saham terbesar sebesar 60 persen atau Rp 3 triliun.
Namun, lanjut Haru, hal itu kemungkinan besar berubah. Dalam berbagai pertemuan, termasuk dengan Kementerian Keuangan, BTN mengusulkan juga alternatif kedua right issue, yaitu menurunkannya menjadi Rp 3,3 triliun.
”Dari jumlah itu, porsi HMETD pemerintah 60 persen atau Rp 2 triliun dan publik 40 persen atau Rp 1,3 triliun,” ujarnya.
Menurut Haru, penurunan nilai right issue itu akan berimbas pada kemampuan BTN menyalurkan KPR. Dengan alternatif pertama right issue, BTN dapat menyalurkan pembiayaan bagi 1,2 juta unit rumah dalam lima tahun. Namun, dengan alternatif kedua, BTN hanya dapat menyalurkan pembiayaan untuk 1 juta unit rumah.
Penurunan nilai right issue itu akan berimbas pada kemampuan BTN menyalurkan KPR dari semula untuk pembiayaan 1,2 juta unit rumah menjadi hanya 1 juta unit rumah.
BTN berkomitmen menggunakan PMN 2022 melalui mekanisme right issue untuk menyalurkan KPR. Saat ini, dari total portofolio kredit BTN, 70 persennya adalah KPR.
”Kami menargetkan, akumulasi penyaluran KPR pada 2021-2025 sebanyak 1,2 juta unit dengan tingkat pertumbuhan kredit tahunan rata-rata (CAGR) sebesar 13,7 persen,” ujarnya.
Per Juni 2021, total CAR BTN 17,8 persen dan CAR Tier 1 hanya 12,99 persen. Selain mengajukan tambahan modal melalui PMN, BTN juga harus menerbitkan obligasi subordinasi. Dari hasil right issue nanti, struktur permodalan BTN akan semakin kuat dan CAR Tier 1 akan dijaga di atas batas aman, yaitu 15,25 persen.
Sepanjang semester I-2021, aset BTN tumbuh 21 persen secara tahunan menjadi Rp 380,5 triliun. Laba bersih yang dibukukan tumbuh 19,9 persen menjadi Rp 920 miliar. Penyaluran kredit juga tumbuh 5,59 persen menjadi Rp 380,5 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 314,6 triliun.
Pertumbuhan kredit tersebut ditopang penyaluran KPR subsidi yang tumbuh 11,17 persen secara tahunan menjadi Rp 126,29 triliun. BTN juga berhasil menekan NPL dari 4,7 persen pada semester I-2020 menjadi 4,1 persen pada semester I-2021.