Jalan Terjal Membangkitkan Properti di Bali
Industri properti di Bali, seperti hotel dan vila, terpukul oleh anjloknya kunjungan wisatawan akibat pandemi Covid-19. Di sisi lain, ada warga dari luar Bali menjadikannya momentum berinvestasi dan mengubah gaya hidup.
Inisiator dan angel investor #StartupLokal Community, Nuniek Tirta Sari, bersama keluarga memutuskan pindah tempat tinggal ke Bali pada pertengahan Agustus 2021. Melalui akun Instagram pribadinya, dia kerap mengunggah postingan mengenai gambar tempat tinggalnya dan beraktivitas harian dengan latar lanskap alam Bali.
Saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (2/9/2021), dia bercerita bahwa dirinya mengalami perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat. ”Kalau di Jakarta, sarapan saja mungkin di kamar, langsung buru-buru bekerja. Kalau sekarang, kami bangun pagi lalu berolahraga keliling kompleks vila, bisa sarapan bersama anak-anak, dan setelah itu beraktivitas kerja atau sekolah,” ujarnya.
Sejalan dengan gaya hidup yang lebih sehat dan tidak terburu-buru, atau kini populer dengan sebutan slow living, Bali dinilai menjadi tempat yang pas. Alasan utama Nuniek memutuskan pindah ke Bali adalah karena segala aktivitas, termasuk sekolah anak bisa dilakukan jarak jauh.
Alasan berikutnya adalah investasi properti. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan pertumbuhan industri properti anjlok dia nilai sebagai momentum tepat untuk berivestasi. Dia percaya, ketika perekonomian membaik, industri properti juga akan ikut pulih. Dengan alasan yang sama ini, dia tidak berniat menjual rumahnya di Jakarta.
Nuniek membeli salah satu vila yang dimiliki oleh pasangan selebritas Christian Sugiono dan Titi Kamal di Bali. Dari sisi lokasi, vila itu dapat ditempuh 20 menit dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Menurut dia, jarak itu akan memudahkan dia dan keluarga apabila harus bepergian ke luar kota, seperti urusan kerjaan di Jakarta.
Baca juga : Rumah Adaptif yang Makin Dicari
”Aku mengincar vila di Bali sejak 2018, tetapi ya hanya kepikiran saja dan tidak sampai memutuskan membeli seperti sekarang. Harga jual vila di Bali sekarang turun dan lebih murah 20 persen dibandingkan tahun 2018-2019. Lumayan banget,” kata Nuniek, yang juga berprofesi sebagai Blogger sejak tahun 2012.
Meski harga jual vila untuk tempat tinggal di Bali sedang turun, Chief Marketing Officer Remote Skill Academy Aulia Halimatussadiah masih enggan membeli. Aulia memutuskan pindah tempat tinggal dari Jakarta ke Bali pada Juli 2020, tetapi dia menyewa vila dan berpindah setiap dua bulan.
”Harga sewa vila di Bali pun sedang murah. Aku bisa sekalian mengeksplorasi vila yang menarik, tetapi sekarang belum tertarik untuk mencicil apa pun, termasuk properti,” ujar dia.
Sebelumnya, Aulia sempat bolak-balik Jakarta - Bali seusai pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sekitar Maret - April 2020. Awalnya, dia optimistis kebijakan PSBB untuk menekan penyebaran Covid-19 bisa cepat selesai. Namun, kebijakan itu ternyata berlanjut sehingga dia memutuskan pindah dari apartemen sewa di Jakarta untuk menetap di Bali.
Uang segar
Bagi sebagian pelaku usaha akomodasi pariwisata di Bali, cerita Nuniek atau Aulia merupakan sesuatu yang lumrah dan bahkan dianggap membawa keuntungan tersendiri. Manajer Honai Resort Ubud I Gusti Ngurah Agus Adi Putra menyebut, warga Bali butuh kas. Dana segar untuk membantu bertahan hidup dari keterpurukan industri pariwisata akibat pembatasan sosial karena pandemi Covid-19.
”Harga sewa kamar hotel dan vila terus merosot sebab sesama pemilik atau pengelola bersaing menawarkan harga murah demi mendapatkan tamu. Pilihan lainnya cuma menjual dan ini sudah jadi fenomena jamak di lingkungan kami,” ujarnya.
Dia mengaku sempat dihubungi oleh agen properti, seperti Ray White, dan mendapat tawaran listing (penjualan). Namun, Honai Resort tetap dipertahankan dengan segala cara, mulai dari mengajukan restrukturisasi kredit ke bank sampai bantuan pemerintah. Operasional sudah dikurangi secara drastis, seperti dengan cara meniadakan fasilitas gratis teh/kopi. Harga sewa kamar per malam diturunkan sampai 80 persen. Tamu juga diperbolehkan membayar sewa kamar bulanan atau menyerupai skema kos-kosan.
Pemilik Vila Amala di kompleks Vila Lavanya, Desa Lodtunduh-Ubud, Victor Tjahjadi, mengatakan, dirinya sudah pasrah. Pemasukan dan keuntungan dari penyewaan vila per bulan sudah turun 80 persen. ”Dalam sebulan, vila saya bisa hanya terisi 1-2 malam. Belakangan ada tamu berkewarganegaraan asing memakai vila saya hanya sebagai tempat bekerja,” katanya.
Baca juga : Tren Rumah Pasca Pandemi Diprediksi Bakal Berkembang
Victor, yang warga Jakarta Selatan, menganggap investasi vila di Bali mendatangkan penghasilan pasif. Sebelum Vila Amala, pada 2018, dia pernah memiliki sebuah vila dengan dua kamar dan tiga kamar mandi yang juga berlokasi di Ubud. Dia menjualnya dan dana segar yang terkumpul dipakai untuk membeli Vila Amala. ”Hal terpenting sekarang adalah pemasukan bisa menutup biaya operasional,” imbuhnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menceritakan, pihaknya membantu 50-60 properti akomodasi pariwisata untuk dijual. Properti akomodasi pariwisata yang dia maksud berupa hotel, vila, dan rumah singgah (homestay), mulai dari bintang satu hingga lima. Dari jumlah sebanyak itu, dia menyebut baru terjual dua unit.
”Di Bali, investasi akomodasi pariwisata kebanyakan dimiliki oleh warga dari luar, termasuk asing. Hanya 10 persen yang dimiliki warga lokal Bali. Fenomena penjualan properti akomodasi pariwisata bisa datang dari siapa saja, termasuk ada juga milik asing,” ujarnya.
Daya tahan
Menurut Rai, 70 persen pertumbuhan perekonomian di Bali ditopang oleh sektor pariwisata, sisanya pertanian dan kerajinan. Penutupan kunjungan wisatawan mancanegara karena pandemi Covid-19 menjadi pukulan telak bagi perekonomian Bali. Pertumbuhan ekonomi Bali terkontraksi lebih dari 9 persen.
Daya tahan pelaku industri pariwisata, terutama pemilik akomodasi, terbatas. Dana cadangan mereka makin lama menipis. Pilihan mereka hanya menawarkan sewa murah atau jual properti. Kalaupun dijual, tantangannya adalah daya beli masyarakat. Sementara itu, hingga kini industri masih menanti pemerintah mengabulkan permintaan pinjaman lunak.
Representasi pemilik PT Daun Lebar Anugerah (proyek Vila Daun Lebar) Ervy Februana menyebutkan, dari 12 unit vila di Vila Daun Lebar I, baru terjual enam unit. Empat unit terjual tahun 2020 dan dua transaksi lainnya berlangsung tahun 2021. Meski demikian, PT Daun Lebar Anugerah sudah mulai mengerjakan pembangunan 12 unit vila baru dengan merek Vila Daun Lebar II dengan satu kamar dilengkapi kolam renang privat. Alasannya, vila tetap menarik dijadikan sasaran investasi properti. Apalagi, kini sudah mulai berkembang fenomena slow living di masyarakat. Tuntutan sadar protokol kesehatan Covid-19 juga ikut memengaruhi.
”Kalau dari sisi turis, kami mengamati mereka semakin sadar jaga jarak, serba-serbi protokol kesehatan Covid-19 lain, dan jaga kualitas intimasi hubungan selama bepergian. Dibanding menginap di hotel yang punya puluhan hingga 100-an kamar, turis akan lebih memilih vila. Melihat perilaku wisatawan, kami tetap bangun unit vila karena kami yakin banyak orang yang akan mau berinvestasi di vila,” ujarnya.
Ervy yang juga tergabung di perusahaan agen properti PT Suryawan Gemilang Property membenarkan adanya fenomena jual properti akomodasi pariwisata. Di PT Suryawan Gemilang Property mengakomodasi listing penjualan properti untuk secondary market sebanyak 300 unit, di antaranya hotel dan vila. Tahun 2020, vila yang terjual baru sekitar 5 unit, sedangkan 1 hotel yang ikut penawaran penjualan laku dengan nilai di atas Rp 1 triliun.
”Mengejar transaksi penjualan penuh perjuangan. Orang membeli vila tergantung dari kebutuhan dan anggaran. Hanya saja, kalau harga per unit vila di bawah Rp 2 miliar, orang akan tetap memburu. Para crazy rich, seperti dari Jakarta, Surabaya, atau Makassar, sebutannya begitu,” katanya.
Baca juga : Kinerja Residensial Diyakini Tumbuh di Tengah Kuatnya Permintaan
Di sela-sela media briefing mingguan yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 23 Agustus 2021, mengemuka pembahasan temuan Bank Indonesia Perwakilan Bali yang menyebut sudah ada 48 hotel yang dijual dan dari laporan wajib pajak terdapat 7.940 usaha hotel dan restoran di Bali yang tutup. Sejumlah hotel di Bali bahkan dijual melalui lokapasar (marketplace) properti.
Menyikapi hal itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno menyarankan agar para pemilik penginapan berpikir ulang dan mengkaji dampak yang ditimbulkan dengan penjualan mereka. Para pengusaha dalam negeri diharapkan tidak menjadi pihak yang dirugikan karena melakukan obral aset.
”Selain dana hibah pariwisata, pemerintah menyiapkan berbagai program pemulihan ekonomi nasional. Kami juga sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Investasi/BPKM yang salah satu harapannya bisa menggaet masifnya investasi di sektor industri pariwisata,” ujar Sandiaga.