Pembiayaan Defisit Perlu Diatasi dengan Fokus Anggaran
Realokasi anggaran mutlak untuk dilakukan merespons pandemi. Prioritas pembiayaan pemerintah perlu difokuskan pada sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan sektor-sektor dengan efek pengganda untuk ekonomi
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha & Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembiayaan defisit anggaran di tengah upaya pemulihan ekonomi dari hantaman pandemi Covid-19, menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah. Untuk ini, realokasi anggaran belanja negara perlu lebih difokuskan pada program-program prioritas yang punya efek pengganda bagi pemulihan, tanpa mengganggu target defisit di tahun 2023.
Pemerintah menetapkan defisit pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada tahun 2022 sebesar 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB). Target ini sejalan dengan rencana konsolidasi fiskal pemerintah menuju defisit maksimal 3 persen terhadap PDB pada tahun 2023.
Dalam diskusi panel ekonomi Kompas, Selasa (7/9/2021), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, anggaran belanja dalam RAPBN 2022 punya arti penting dalam langkah reformasi fiskal untuk mencapai target defisit anggaran ke level optimal pada tahun 2023.
“Untuk itu, RAPBN 2022 didesain tetap fleksibel dan berkelanjutan agar dapat responsif, antisipatif, dan adaptif untuk mendukung percepatan penanganan Covid-19 serta pemulihan sosial-ekonomi,” ujar Febrio.
RAPBN 2022 didesain tetap fleksibel dan berkelanjutan agar dapat responsif, antisipatif, dan adaptif untuk mendukung percepatan penanganan Covid-19 serta pemulihan sosial-ekonomi (Febrio Kacaribu)
Febrio menyebutkan fokus alokasi belanja negara pada 2022 akan mengarah pada sejumlah program prioritas di bidang kesehatan, perlindungan sosial, pendidikan, infrastruktur, teknologi informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, serta pariwisata. Adapun belanja negara pada RAPBN 2022 diproyeksikan mencapai Rp 2.708,7 triliun atau 15,1 persen terhadap PDB.
Bidang-bidang prioritas tersebut dipilih karena diyakini dapat mendorong kinerja sektor konsumsi, investasi, ekspor, serta produksi, yang sempat tertahan di awal periode pandemi Covid-19. “Strategi akselerasi pemulihan sosial-ekonomi tetap akan mempriortaskan penguatan kesehatan sebagai kunci pemulihan ekonomi,” kata Febrio.
Momentum pemulihan di sejumlah sektor prioritas tahun depan, lanjutnya, juga akan ditopang oleh reformasi struktural yang dimotori implementasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, operasional Lembaga Pengelola Investasi, serta penerapan sistem Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia M Chatib Basri pada forum diskusi yang sama, mengatakan kunci utama bagi Indonesia untuk mengejar pemulihan ekonomi tanpa mengganggu keberlanjutan stabilitas fiskal adalah dengan meningkatkan kualitas belanja negara.
“Realokasi anggaran hal yang mutlak dilakukan. Prioritas pembiayaan difokuskan pada sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan sektor-sektor yang memiliki efek pengganda untuk roda ekonomi,” ujar Chatib yang juga mantan Menteri Keuangan ini.
Ia mengingatkan, ekonomi hanya bisa pulih jika masalah pandemi bisa diatasi. Jika realokasi belanja negara diarahkan untuk program-program prioritas, defisit anggaran diyakininya akan terjaga sekaligus memberikan implikasi pada penurunan tambahan utang.
Realokasi anggaran hal yang mutlak dilakukan. Prioritas pembiayaan difokuskan pada sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan sektor-sektor yang memiliki efek pengganda untuk roda ekonomi (Chatib Basri)
Sementara itu dari sisi pendapatan, penerimaan pajak perlu ditingkatkan tanpa membebani wajib pajak melalui perbaikan administrasi perpajakan. Salah satu upaya yang telah dilakukan otoritas pajak yakni memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya.
Menurut Chatib, keterbatasan sumber daya di kantor pajak reguler membuat otoritas pajak selama ini cenderung hanya fokus pada beberapa wajib pajak dengan potensi pendapatan yang tinggi. Kondisi ini berimbas pada badan usaha besar lebih menjadi sasaran penarikan pajak ketimbang perusahaan-perusahaan menengah.
“Dengan dipindahkan ke kantor pajak madya yang meiliki jumlah staf yang lebih banyak, maka beban pajak akan lebih merata, tidak hanya ditanggung oleh beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko menilai, keinginan pemerintah untuk menerapkan disiplin fiskal yang terlalu ketat perlu direlaksasi, mengingat krisis akibat pandemi Covid-19 ini belum diketahui kapan akan berakhir.Baca juga : Defisit APBN di Masa Pandemi
"Target bahwa kita harus kembali ke defisit APBN 3 persen pada tahun 2023 sangat bergantung pada perkembangan situasi. Kalau situasinya tidak memungkinkan untuk disiplin ketat, kebijakan fiskal bisa dibuat lebih relatif untuk menjawab kebutuhan kita menyiapkan human capital yang lebih kompetitif dan berdaya saing," kata Prasetyantoko.
Ia mengatakan, pengembangan sumber daya manusia (human capital) harus menjadi prioritas utama pemerintah. Di tengah situasi krisis dan kemampuan fiskal yang terbatas, pemerintah harus menetapkan prioritas antara mengeluarkan uang untuk proyek pembangunan fisik atau untuk meningkatkan kualitas SDM melalui program perlindungan sosial dan kesehatan yang kuat.
"Pengembangan human capital sangat mendesak, sehingga kita harus memilih. Krisis ini sudah sangat serius menghantam kelompok masyarakat, khususnya yang sangat miskin," ucap Prasetyantoko.
Peneliti SMERU Athia Yumna mengatakan, tantangan atau guncangan akibat pandemi ini menyadarkan pentingnya merumuskan sistem perlindungan sosial yang lebih adaptif dan progresif terhadap berbagai krisis. Masalah struktural seperti pendataan bantuan sosial yang selama ini masih karut-marut juga mendesak dibenahi untuk menopang pengembangan SDM di masa krisis.
Program perlindungan sosial yang kuat dapat menahan meningkatnya angka kemiskinan. Penelitian SMERU menunjukkan, tanpa program bantuan sosial selama pandemi, tingkat kemiskinan berpotensi mencapai 13,38 persen. Angka itu jauh lebih tinggi daripada tingkat persentase penduduk miskin faktual per Maret 2021 yaitu 10,14 persen.
"Itulah mengapa proyeksi kenaikan tingkat kemiskinan selama pandemi sebenarnya tinggi, tetapi ternyata data faktual menunjukkan, kenaikan tingkat kemiskinan tidak terlalu tinggi. Program perlinsos memang memainkan peran yang penting," kata Athia.