Petambak rakyat membutuhkan pendampingan dalam manajemen kawasan, perbaikan sistem irigasi, dan instalasi pengolahan air limbah komunal. Tak kalah penting, Kesiapan sarana dan prasarana produksi dan penerapan teknologi
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Pemerintah berencana mendongkrak produksi udang mencapai 2 juta ton hingga tahun 2024. Langkah ini untuk menopang target kenaikan nilai ekspor udang sebesar 250 persen atau 4,2 miliar dollar AS.
Seorang pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut bahwa mimpi mengejar produksi itu harus bisa dicapai dalam dua tahun ke depan. Target kenaikan ekspor udang dikejar dari sisi hulu ke hilir. Caranya, antara lain, dengan menggenjot produksi dan meningkatkan nilai tambah produk.
Upaya menggenjot produksi dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi (perluasan) tambak. Pemerintah bersiap membuka kluster udang atau shrimp estate percontohan seluas 100 hektar (ha) di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Kluster tambak berkonsep modern yang akan mulai dibangun tahun depan itu diperkirakan menelan biaya Rp 250 miliar atau sekitar 33 persen dari pagu anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Saat ini, luas tambak udang Indonesia tercatat 300.501 hektar. Area tambak udang ini didominasi tambak skala tradisional seluas 247.803 hektar dengan produktivitas tahunan 0,6 ton per hektar. Di samping itu, tambak semiintensif 43.643 hektar dengan produktivitas tahunan 10 ton per hektar, serta tambak intensif 9.055 hektar dengan produktivitas 30 ton per hektar.
Selain pembangunan shrimp estate, pemerintah berencana merevitalisasi 242.803 hektar tambak tradisional agar produktivitasnya meningkat menjadi 2 ton per hektar per tahun. Diharapkan, kontribusi produksi dari tambak tradisional itu naik dari 148.683 ton menjadi 485.606 ton per tahun pada 2024.
Upaya lainnya adalah mengembangkan tambak-tambak udang terintegrasi berupa revitalisasi 5.000 hektar tambak tradisional menjadi tambak intensif, serta pembukaan tambak-tambak baru seluas 6.000 hektar. Pola tambak udang terintegrasi itu ditargetkan menambah produksi udang sebesar 880.000 ton per tahun. Tambak terintegrasi ini nantinya dilengkapi fasilitas penunjang, seperti pabrik pakan, laboratorium, panen, dan pabrik es. Pemerintah menyebut tambak berbasis kawasan itu akan ramah lingkungan.
Namun, pembukaan lahan-lahan baru menuai sorotan terkait daya dukung lingkungan dan masalah sosial. Karakteristik kluster udang yang berhadapan dengan pantai selatan Jawa, misalnya memiliki tantangan ekologi dan ekosistem, seperti fluktuasi suhu air yang tinggi. Hal ini dapat berdampak pada daya tahan udang, di samping isu penyakit.
Pembukaan tambak udang juga kerap tersangkut masalah pembabatan mangrove yang merusak daya dukung lingkungan. Mangrove merupakan garda terdepan dalam menahan gelombang air laut, abrasi pantai, dan menjadi rumah ikan. Minimnya daya dukung lingkungan dan isu penyakit pada akhirnya berimbas pada kontinuitas budidaya udang. Di Kebumen, petambak kerap berpindah-pindah lokasi setelah beberapa kali panen.
Jika berhasil, proyek kluster udang di Kebumen diharapkan bisa ditiru oleh petambak-petambak rakyat skala menengah hingga kecil. Selama ini, tambak-tambak rakyat dalam satu kawasan umumnya dikelola sendiri-sendiri sehingga menyulitkan pengelolaan yang terintegrasi. Masalahnya, proyek percontohan itu dikhawatirkan bakal sulit ditiru karena menelan biaya tinggi.
Penerapan teknologi
Solusi bagi tambak rakyat adalah pendampingan dalam manajemen kawasan, perbaikan sistem irigasi, dan instalasi pengolahan air limbah secara komunal. Tak kalah pentingnya, kesiapan sarana dan prasarana produksi, mulai dari penyediaan benih udang (benur) unggul, pakan, probiotik, hingga pengaturan produksi berbasis teknologi.
Saat ini, kita melihat sudah semakin banyak petambak udang memanfaatkan aplikasi untuk pemberian pakan, pengecekan suhu air, serta deteksi dini penyakit. Upaya peningkatan produksi udang perlu ditunjang dengan penerapan teknologi produksi yang semakin masif agar biaya produksi lebih efisien, pertumbuhan udang lebih merata, lebih ramah lingkungan dan mengurangi potensi penyakit.
Upaya mengejar mimpi produksi diharapkan tidak sekadar berorientasi hasil dan mengejar peluang pasar. Akan tetapi, lebih lebih penting dari itu kontinuitas budidaya yang berkelanjutan dengan tetap menjaga ekosistem sehingga berdampak mendorong peningkatan kesejahteraan petambak.