Ketergantungan Perdagangan Indonesia pada Mata Uang Dollar AS Berkurang
Penggunaan mata uang lokal atau (local current settlement/LCS) untuk perdagangan dan investasi dengan empat negara mitra dagang utama Indonesia berhasil mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dollar AS.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas menunjukkan uang dollar Amerika Serikat di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (19/8/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan penggunaan mata uang lokal atau local current settlement/LCS untuk perdagangan dan investasi dengan empat negara mitra dagang utama Indonesia, yakni China, Jepang, Malaysia, dan Thailand, berhasil mengurangi ketergantungan Indonesia akan mata uang dollar AS. Hal ini mendorong kestabilan nilai tukar rupiah.
”Sebelumnya transaksi perdagangan ekspor dan impor dari dan menuju Indonesia serta investasi menggunakan mata uang dollar AS. Hal ini membuat permintaan dan penawaran dollar AS itu sangat tinggi sehingga sangat rentan akan fluktuasi nilainya terhadap rupiah. LCS ini mengurangi hal itu,” ujar Direktur Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI) Rahmatullah Sjamsudin dalam webinar Taklimat Media BI dengan topik ”Local Current Settlement (LCS) dan Cadangan Devisa”, Rabu (8/9/2021).
Mengutip data BI, penggunaan LCS pada 2018 di Indonesia, Thailand, dan Malaysia total sebesar 350 juta dollar AS. Artinya, pada tahun itu ada transaksi senilai 350 juta dollar AS yang terkonversi dalam mata uang rupiah, baht Thailand, dan ringgit Malaysia.
Pada 2019, penggunaan LCS dari tiga mata uang itu mencapai setara dengan 760 juta dollar AS atau meningkat dua kali lipat lebih dibandingkan 2018. Adapun pada 2020, negara yang menjalin LCS bertambah satu lagi, yakni Jepang. Dengan demikian, nilai penggunaan LCS pada 2020 dalam empat mata uang, yakni rupiah, baht Thailand, ringgit Malaysia, dan yen Jepang, sebesar 800 juta dollar AS.
Pada 2021, mulai Senin (6/9/2021), negara yang menjalin kerja sama LCS bertambah satu lagi, yakni China. Sampai dengan Juli, nilai LCS sudah setara dengan 1,2 miliar dollar AS dari lima mata uang, yakni rupiah, baht Thailand, ringgit Malaysia, yen Jepang, dan renminbi China.
Jika ditotal sejak 2018 hingga Juli 2021, maka penggunaan LCS itu sudah berhasil mengumpulkan transaksi senilai setara dengan 3,11 miliar dollar AS yang terkonversi dalam mata uang rupiah, baht Thailand, ringgit Malaysia, dan yen Jepang. Ini belum termasuk renminbi Cina yang baru mulai September.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi menjelaskan, kebijakan LCS ini membantu menjaga stabilitas valuta asing dalam negeri. Sebab, selama ini pasar Indonesia sangat sensitif terhadap mata uang global. ”Kita ingin kurangi sensitivitas ini agar lebih berimbang,” ujar Doddy.
Mitra dagang utama
Ia menjelaskan, pemilihan keempat negara ini didasarkan dari aspek besarnya transaksi perdagangannya dengan Indonesia. Keempat negara itu adalah mitra dagang utama Indonesia, terutama China.
Hal ini tecermin dari tingginya nilai ekspor-impor Indonesia dengan China. Mengutip data Bank Indonesia, nilai ekspor Indonesia ke China pada 2013-2020 sebesar 22,63 miliar dollar AS. Ekspor ke China merupakan tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Jepang di peringkat kedua dengan nilai 18,07 miliar dollar AS, Malaysia di peringkat keenam dengan nilai 8,53 miliar dollar AS, dan Thailand di peringkat kedelapan dengan nilai 5,86 miliar dollar AS.
China juga merupakan negara asal impor ke Indonesia terbesar pada kurun waktu 2013-2020. Impor dari China 34,98 miliar dollar AS. Adapun nilai impor dari Jepang di peringkat ketiga dengan nilai 15,38 miliar dollar AS, Malaysia di peringkat keempat dengan nilai 9,08 miliar dollar AS, dan Thailand di peringkat kelima dengan nilai 9,02 miliar dollar AS.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kebijakan ini sudah lama ditunggu dunia usaha. Sebab, LCS bisa meningkatkan efisiensi dunia usaha karena tidak perlu lagi mengonversi mata uang. Ini membuat pengusaha bisa terhindar dari membayar ongkos ke money changer dan terhindar pula dari potensi rugi kurs saat bertukar valuta asing.
”Dengan menggunakan mata uang lokal dari masing-masing negara, diharapkan ini menggairahkan kerja sama perdagangan dan investasi kedua belah negara sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Hariyadi.
Direktur Treasury dan International Banking PT Bank Mandiri Tbk Panji Irawan menjelaskan, pihaknya menyambut baik bisa dipercaya menjadi salah satu bank Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Bank ACCD adalah bank yang ditunjuk oleh otoritas kedua negara yang menjalin kesepakatan LCS untuk memfasilitasi transaksi mata uang lokal kedua negara.
”Keempat negara ini adalah mitra dagang utama Indonesia. Volume transaksi yang diciptakan sangat besar,” ujar Panji.