Hasil Evaluasi Dewan KEK, dari Peringatan hingga Usulan Pencabutan
Sesuai hasil evaluasi terhadap 15 KEK di seluruh Indonesia, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) mengusulkan pencabutan serta memberikan peringatan dan waktu satu tahun kepada sejumlah KEK untuk berbenah.
Oleh
Agnes Theodora / Rhama Purnajati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah melakukan evaluasi bertahap, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus merekomendasikan pencabutan status KEK Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan serta memberikan peringatan kepada empat KEK, yakni Morotai, Sorong, Bitung, dan Maloy Batuta Trans-Kalimantan. Pembangunan KEK Tanjung Api-Api dinilai tidak jalan karena problem lahan, sementara pembangunan empat KEK lainnya dinilai lambat.
Pelaksana Tugas Sekretaris Dewan Nasional KEK Elen Setiadi mengatakan, Dewan Nasional KEK sudah berulang kali memberikan perpanjangan waktu pembangunan dan evaluasi. Namun, sampai tenggat waktu terakhir, tidak ada kemajuan dalam pembangunan KEK Tanjung Api-Api.
”Dewan Nasional (KEK) juga memandang kurang kuatnya upaya dari badan usaha pembangun dan pengelola dan dukungan dari pemerintah daerah. Maka, kami usulkan agar (status KEK Tanjung Api-Api) dicabut saja. Kendala utamanya karena masalah lahan,” kata Elen yang juga Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (7/9/2021).
KEK Tanjung Api-Api ditetapkan sebagai KEK oleh pemerintah pada Juni 2014 dengan kegiatan utama industri pengolahan kelapa sawit, karet, petrokimia, dan logistik. Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan KEK mengatur, dalam jangka waktu paling lama 36 bulan (tiga tahun) sejak KEK ditetapkan, pengusul KEK harus menyelesaikan pembangunan sesuai tahapan untuk dinyatakan siap beroperasi.
Setelah tiga tahun, KEK akan dievaluasi. Jika belum siap beroperasi, pengusul KEK dapat diberi waktu perpanjangan paling lama dua tahun untuk pengembangan dengan penyesuaian. Jika KEK belum siap juga, pengusul KEK diberi perpanjangan lagi maksimal tiga tahun. Namun, setelah semua tahap perpanjangan itu KEK belum juga beroperasi, Dewan Nasional KEK mengusulkan pencabutan KEK kepada Presiden RI.
Terkait usul pencabutan itu, Sekretaris Dewan KEK Sumatera Selatan Megaria mengatakan, ada kemungkinan yang dicabut adalah KEK di lokasi lama yang terletak di Desa Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Kebutuhan lahannya sekitar 2.030 hektar (ha), tetapi yang bisa dibebaskan 67 ha karena faktor harga. Untuk 67 ha lahan dibutuhkan Rp 50 miliar. Selain itu, lokasinya sekitar 15 kilometer dari bibir pantai.
Akan tetapi, Gubernur Sumatera Selatan mengusulkan lokasi baru untuk membangun KEK, yakni di daerah Sungsang II, Sungsang III, dan Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Menurut Megaria, selain menyiapkan dokumen administrasi untuk persiapan pembangunan KEK, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga tengah mempersiapkan pembangunan pelabuhan laut dalam Tanjung Carat yang akan diintegrasikan dengan KEK.
Tambahan waktu
Sementara itu, terhadap empat KEK lain, Dewan Nasional KEK memberikan peringatan dan waktu satu tahun untuk berbenah. Keempat KEK itu adalah KEK Morotai (Maluku Utara), KEK Sorong (Papua Barat), KEK Bitung (Sulawesi Utara), dan KEK Maloy Batuta Trans-Kalimantan (Kutai Timur, Kalimantan Timur).
”Kami berikan indikator kinerja utama (key performance indicator/KPI) untuk merealisasikan investasi di masing-masing KEK paling lambat satu tahun,” kata Elen.
Empat KEK itu berada di wilayah periferi (pinggiran) Indonesia. ”Daerah Indonesia bagian timur punya persoalannya sendiri. Dewan Nasional KEK akan pikirkan treatment (perlakuan) yang beda untuk KEK-KEK tersebut yang kami harapkan bisa menjadi pusat pengembangan ekonomi di daerah timur,” ujarnya.
Ada beberapa kendala yang dipetakan Dewan Nasional KEK. Pertama, dukungan infrastruktur wilayah yang minim. Untuk itu, Dewan Nasional KEK mengoordinasikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran dan menyelesaikan infrastruktur.
Kedua, implementasi regulasi untuk mendukung operasionalisasi KEK yang belum sepenuhnya dapat diterapkan merata karena pemahaman berbagai pihak di lapangan yang kurang. ”Kami akan meningkatkan sosialisasi serta evaluasi untuk percepatan pelaksanaan regulasi di masing-masing KEK,” ujarnya.
Ketiga, kapasitas Badan Usaha Pembangun dan Pengelola (BUPP). Menurut Elen, beberapa BUPP kurang memiliki kapasitas untuk mempercepat pembangunan dan pengoperasian KEK, termasuk untuk menarik investor. Terkait hal ini, Dewan Nasional KEK memfasilitasi kemitraan antara BUPP dan badan usaha lain yang lebih profesional.
Keempat, operasionalisasi kelembagaan. Administratur di sejumlah KEK dinilai belum mampu memberikan pelayanan maksimal kepada BUPP dan pelaku usaha. ”Kami akan melakukan rekrutmen ulang administratur yang memiliki kompetensi dan achievement dalam operasionalisasi KEK, termasuk menyediakan sarana dan prasarana,” ujar Elen.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berkaca pada kasus KEK Tanjung Api-Api, sebelum suatu lokasi ditetapkan menjadi KEK, kepastian lahan harus terlebih dulu beres.
Selama ini, pemerintah ”mengobral” penetapan KEK tanpa memperjelas pembagian lahan di lokasi terkait yang ditujukan untuk industri, perkebunan, atau permukiman warga. Akhirnya, pembangunan dan pengembangan KEK terhambat serta timbul sengketa/konflik lahan yang justru merugikan masyarakat setempat.
Belajar dari problem klasik pembebasan lahan yang selama ini menghambat pembangunan KEK, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah menetapkan kriteria bahwa lahan yang diusulkan menjadi KEK harus telah dikuasai paling sedikit 50 persen dari yang direncanakan, mempunyai batas yang jelas, serta sesuai rencana tata ruang wilayah.