Belajar Menemukan Potensi dari Brentford FC
Berkaca dari konsep “moneyball”, untuk menggenjot kredit, data acuan yang dipakai perbankan dalam menganalisis kelayakan kredit mesti lebih visioner dalam memproyeksi potensi bisnis di masa depan
Gelontoran likuiditas perbankan dan simpanan masyarakat yang meningkat di sepanjang periode pandemi Covid-19 belum tersalurkan secara optimal sebagai kredit produktif.
Pertumbuhan dana pihak ketiga atau DPK dengan pertumbuhan kredit perbankan sangat timpang selama pandemi. Per Juli 2021, DPK tumbuh 10,43 persen sementara kredit hanya mampu tumbuh 0,5 persen.
Kebijakan perbankan untuk tetap selektif dan berhati-hati dalam penyaluran kreditnya pada masa pemulihan bisa dimaklumi. Akan tetapi, kalau perbankan mau menjajaki tiap sektor secara visioner, tidak sedikit sektor-sektor potensial yang bisa melesat setelah pandemi berakhir.
Berbicara soal kemampuan dalam menjajaki potensi, Brentford FC seyogianya menjadi nama klub yang pertama terlintas di pikiran para penikmat dan pemuja kompetisi Liga Inggris.
Bukan dengan modal besar bukan pula dengan merekrut pemain mahal, tim yang berbasis di London Barat ini punya cara unik untuk memastikan satu tempat di Liga Premier, setelah penantian panjang 74 tahun, musim ini. Promosinya Brentford adalah buah dari hasil inovasi pengelolaan klub yang disebut moneyball (bola uang).
Istilah ”moneyball” pertama kali dipopulerkan lewat buku berjudul Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game karya Michael Lewis yang terbit pada 2003. Kisah dalam buku tersebut kemudian difilmkan pada 2011.
Secara sederhana, tujuan moneyball adalah untuk membangun skuad kompetitif berlandaskan teori ekonomi, yakni bagaimana dengan modal kecil bisa mendatangkan keuntungan besar. Adapun konsep dasar moneyball adalah mengevaluasi nilai seorang pemain menggunakan berbagai komponen algoritma berupa data statistik dan hitungan matematis lainnya.
Prinsip tersebut mulai dijadikan landasan filosofis pengelolaan klub sejak Brentford diakuisisi oleh Matthew Benham pada 2012, pada saat klub masih berkutat di League One (kasta ketiga Liga Inggris).
Benham adalah fans dari Brentford yang merupakan lululusan Universitas Oxford pada 1989 dengan gelar di bidang Fisika. Ia sempat menghabiskan 12 tahun kariernya di bidang keuangan, di antaranya sebagai Vice President di Bank of America.
Benham melakukan perubahan radikal di dalam pengelolaan klub. Perekrutan pemain dilakukan berdasarkan permodelan statistik. Ia menggandeng seorang konsultan bisnis asal Denmark, Rasmus Arkensen, sebagai Director of Football. Pelatih kepala atau manajer yang ia merekrut pun harus dipastikan memiliki kesepahaman mengenai pengelolaan klub dengan konsep moneyball.
Dalam merekrut pemain, Brentford kerap mencari di liga antah-berantah, seperti divisi 2 Liga Perancis, atau kasta terbawah Liga Inggris.
Data acuan yang mereka pakai untuk menganalisis pemain bukan sekadar jumlah gol dan asis. Data yang dipakai adalah komponen data statistik lanjutan, seperti Expected Goals (xG), Expected Assists (xA), Smart Passes, hingga Post-Shot Expected Goals (PSxG).
Lewat analisis data tersebut, Brentford bisa menentukan pemain dengan kemampuan dan potensi bagus, tetapi memiliki harga yang rendah atau dalam industri sepak bola kerap disebut underrated.
Sebagai contoh, pada musim 2017-2018, Brentford FC merekrut Neal Maupay dengan mahar 2 juta euro. Pada musim sebelumnya, Maupay bermain di klub divisi 2 Liga Perancis Stade Brestois 29.
Dalam 28 laga di divisi 2, Maupay hanya bisa mencetak 11 gol. Secara sekilas, statistik ini biasa saja. Inilah pentingnya komponen data xG yang menghitung total gol yang diharapkan akan dicetak pemain dalam semusim.
Komponen xG turut menjajaki aspek lain, seperti peluang, karakteristik, dan arah tembakan. Jika striker dapat mencetak gol lebih banyak dari nilai xG, ia berada di level yang bagus.
Terbukti Maupay memang pemain bagus dan efektif. Selama dua musim Maupay bermain di 95 pertandingan untuk Brentford dengan sumbangan 41 gol dan 14 asis. Selanjutnya pada musim 2019-2020 Neal Maupay pun ditebus oleh klub promosi Liga Premier, Brighton and Hove Albion, dengan mahar 22 juta euro. Artinya, keuntungan kotor yang didapat Brentford hanya dari penjualan Maupay mencapai 20 juta euro.
Dilansir dari Bloomberg, audit perusahaan konsultan keuangan Deloitte menunjukkan bahwa Brentford bisa menghasilkan pendapatan hingga 280 juta pound sterling selama lima tahun ke depan jika musim ini mampu bertahan di Liga Premier.
Dalam tiga tahun saja, pendapatan mereka bisa naik hingga 160 juta euro. Nilai itu merupakan hasil dari kenaikan uang tiket, nilai sponsor yang bertambah, dan distribusi uang hak siar TV.
Kembali bicara soal penyaluran kredit perbankan nasional, sejumlah sektor seperti telekomunikasi dan kesehatan tidak terguncang selama pandemi sehingga sangat berpotensi bagi perbankan nasional untuk mengarahkan penyaluran kredit mereka ke sektor-sektor ini.
Masalahnya adalah di masa pandemi saat ini perbankan masih melakukan penilaian (assessment) terhadap debitor dan calon debitor secara ketat, tak ubahnya seperti saat situasi normal sebelum pandemi.
Perbankan juga selalu melakukan generalisasi sektor industri saat menilai risiko debitor. Jangankan kredit usaha, pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) kemungkinan besar akan ditolak bila calon debitor bekerja di bidang perhotelan ataupun jasa transportasi yang industrinya tengah suram.
Berkaca dari konsep moneyball, untuk menggenjot kredit, data acuan yang dipakai perbankan dalam menganalisis kelayakan kredit mesti lebih visioner dalam memproyeksi potensi bisnis di masa depan, tidak sekadar melihat kondisi industri saat ini.
Unsur kehati-hatian memang harus dijalankan oleh setiap bank penyalur kredit. Hal ini terkait pertanggungjawaban dana masyarakat yang digunakan. Namun, tetap saja, fungsi intermediasi adalah amanat yang perlu dijalankan perbankan untuk mendorong roda perekonomian nasional.
Jadi, apakah memang bank nasional perlu banyak belajar dari Brentford FC?