Gerak Lambat Satu Dekade Kawasan Ekonomi Khusus
Soal kesiapan lahan, infrastruktur penunjang, pendanaan, dan faktor lokasi jadi sebagian kendala pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Hingga Juli 2021, pemerintah telah menetapkan 19 KEK di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan ekonomi khusus yang diharapkan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi belum berkembang secara optimal. Ada sejumlah problem yang mesti diselesaikan agar keberadaannya efektif mengakselerasi gerak roda perekonomian nasional.
Soal kesiapan lahan, infrastruktur penunjang, pendanaan, dan faktor lokasi menjadi sebagian faktor yang dianggap menghambat pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Faktor lain, seperti keberadaan spekulan tanah, turut menghambat masuknya investasi dan pengembangan kawasan.
Berdasarkan data Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), per Juni 2021 ada 12 KEK yang telah beroperasi, 3 KEK yang sedang dalam tahap pembangunan, dan 4 KEK tambahan yang baru ditetapkan tahun 2021 di tengah pandemi Covid-19. Dari total 19 KEK tersebut, 11 di antaranya KEK berbasis industri dan 8 sisanya KEK berbasis jasa atau pariwisata.
Akan tetapi, meski statusnya sudah beroperasi, denyut kawasan masih jauh dari harapan. Di KEK Bitung yang ditetapkan tahun 2014 dan diresmikan 2019, misalnya, hingga kini baru ada lima perusahaan yang menandatangani perjanjian kerja sama dengan Badan Usaha Pembangun dan Pengelola (BUPP) KEK Bitung, yakni PT Membangun Sulut Hebat, dan baru satu di antaranya yang beroperasi.
”Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memacu agar ada kemajuan secepatnya di KEK Bitung,” Sekretaris Administrator KEK Bitung Julis Talimbekas saat dihubungi dari Manado, Jumat (3/9/2021).
KEK Likupang yang diresmikan tahun 2019 juga belum menunjukkan perkembangan berarti. Padahal, pengembangnya, yakni PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD), telah merencanakan investasi hingga Rp 11 triliun sampai tahun 2024. ”Kami masih menyusun masterplan (rencana induk) detail,” kata Diretur PT MPRD Paquita Wijaya ketika dihubungi dari Manado, Kamis (2/9/2021).
Baca juga: Berkejaran dengan Spekulan Lahan
Demikian pula KEK Arun, Aceh, yang ditetapkan tahun 2017. Persoalan status lahan jadi penghambat. Menurut Direktur PT Patriot Nusantara Aceh (Patna), perusahaan konsorsium yang berperan sebagai BUPP KEK Arun, Marzuki Daham, ada kendala izin pemakaian lahan yang kepemilikannya tersebar di anggota konsorsium dan Lembaga Manajemen Aset Negara.
Menurut Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi Imam Soejoedi, meski status beberapa KEK sudah beroperasi, penyelenggaraannya masih jauh dari target lantaran kurang menarik di mata investor.
Laporan Tahunan Dewan Nasional KEK 2020 menunjukkan, dari total komitmen investasi pelaku usaha di seluruh KEK senilai Rp 70,4 triliun, investasi yang terealisasi sampai Desember 2020 baru Rp 23,1 triliun atau 32,8 persen. Realisasi investasi terbesar ada di KEK Galang Batang (Rp 12,8 triliun), disusul KEK Sei Mangkei (Rp 5,2 triliun), dan KEK Kendal (Rp 2 triliun).
Dari total 11 KEK yang sudah beroperasi, baru dua KEK yang tercatat melakukan ekspor ke luar negeri pada tahun 2020 dengan nilai total Rp 5,26 triliun.
Dari total 11 KEK yang sudah beroperasi, baru dua KEK yang tercatat melakukan ekspor ke luar negeri pada tahun 2020 dengan nilai total Rp 5,26 triliun, yaitu KEK Sei Mangkei (Rp 5,18 triliun) dan KEK Palu (Rp 79,9 miliar). KEK Galang Batang, yang memiliki realisasi investasi tertinggi, baru akan melakukan ekspor perdana tahun ini dengan target nilai 300 juta dollar AS.
Ada beberapa kendala yang membuat investor enggan menanamkan modalnya di KEK. Pertama, minimnya infrastruktur penunjang. Menurut Imam, meski infrastruktur keras, seperti jalan tol, pelabuhan, atau bandara, sudah tersedia, infrastruktur penunjang, seperti rumah sakit, sekolah, atau tempat hiburan, umumnya masih minim di KEK.
Baca juga: Bakal Fokus Ekonomi Digital, Pembangunan KEK Singhasari Masih Berjalan
Dia mencontohkan KEK Bitung, Sulawesi Utara, yang sudah ditetapkan pada 2014 dan beroperasi sejak April 2019. Meski Tol Manado-Bitung sudah resmi beroperasi, realisasi investasi di KEK Bitung masih relatif sepi. Contoh lain, KEK Sei Mangkei, Sumatera Utara, yang ditetapkan tahun 2012 dan beroperasi sejak 2015. Letak rumah sakit bertaraf internasional terdekat ada di Kota Medan dan berjarak 119 kilometer dengan waktu tempuh 2 jam 30 menit lewat jalan tol.
Spekulan tanah
Kedua, ada indikasi munculnya spekulan berkedok pelaku industri. Di KEK Palu, Sulawesi Tengah, misalnya, ada lebih dari 20 perusahaan yang terdaftar. Namun, yang merealisasikan investasi dan mendirikan pabrik baru dua perusahaan berskala kecil. Kasus serupa juga ditemukan di KEK Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Menurut Imam, ada indikasi investor itu merupakan spekulan yang berbisnis lahan di kawasan KEK dan membuat harga tanah melambung. Persoalan ini juga berulang kali disoroti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam kunjungannya ke sejumlah KEK.
Ada indikasi investor itu merupakan spekulan yang berbisnis lahan di kawasan KEK dan membuat harga tanah melambung.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Agraria, Tata Ruang dan Kawasan Sanny Iskandar berpendapat, lahan umumnya belum siap saat pemerintah menetapkan kawasan. Akibatnya, saat peraturan pemerintah tentang KEK terbit, harga lahan melonjak. Akibatnya, pemrakarsa atau pengelola kawasan tidak mampu lagi membebaskan lahan.
Persoalan lain, menurut Sanny, yang juga Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia, adalah minimnya utilitas pendukung, seperti pembangkit listrik, jaringan gas industri, telekomunikasi, serta instalasi pengolahan air bersih dan air limbah. Selain itu, faktor lokasi terkait jarak ke pelabuhan, bandar udara, dan jalur kereta barang juga berpengaruh pada pengembangan KEK.
Soal realisasi insentif pemerintah di KEK juga menjadi catatan. Menurut Sanny, hal ini menjadi preseden buruk bagi investor yang telanjur masuk KEK.
Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai, banyak KEK dipandang kurang kompetitif oleh investor. KEK seharusnya memiliki sifat kekhususan atau eksklusivitas dibandingkan kawasan ekonomi lain, seperti kawasan industri.
Akan tetapi, kenyataannya, fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan beberapa KEK kerap kalah bersaing dengan kawasan industri yang juga ada di daerah tersebut. Beberapa kawasan industri, seperti Kawasan Industri Terpadu Batang di Jawa Tengah, perkembangannya justru jauh lebih pesat dibandingkan KEK.
Petakan persoalan
Pelaksana Tugas Sekretaris Dewan Nasional KEK Elen Setiadi mengatakan, selama pandemi Covid-19, KEK berbasis industri manufaktur masih terjaga kinerjanya. Namun, KEK berbasis pariwisata sulit beroperasi, seperti KEK Tanjung Kelayang dan Tanjung Lesung. Pembangunan dan operasional sejumlah hotel masih menunggu Covid-19 mereda.
”KEK manufaktur masih sesuai dengan target pembangunan, seperti KEK Galang Batang, yang dalam waktu dekat akan mulai mengekspor. Secara umum, meski ada hambatan karena Covid-19, pengembangan KEK tetap berjalan walau dengan beberapa improvisasi tertentu. Trennya masih positif,” kata Elen.
Menurut Elen, Dewan Nasional KEK sudah memetakan persoalan tiap KEK melalui evaluasi yang rutin dilakukan lintas kementerian/lembaga, dan akan diselesaikan secara bertahap. Tindak lanjut dan solusinya dikelompokkan sesuai karakteristik persoalan. Sebagai contoh, kendala pembebasan lahan akan diserahkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sedangkan kendala investasi atau tenant diserahkan ke Kementerian Investasi.
”Kami minta semua K/L untuk bergerak aktif sesuai sektor dan tanggung jawabnya karena memang variabel persoalan di KEK ini ada banyak, dengan kondisi yang berbeda-beda satu sama lain,” katanya (OKA/ZAK/WER/AIN/NDU/DIT)
Baca juga: Pusat Kuliner dan Cendera Mata Topang KEK Likupang