Audit Ulang Kawasan Ekonomi Khusus
Evaluasi menyeluruh dinilai perlu untuk mengefektifkan peran kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai instrumen strategis untuk mendongkrak pertumbuhan investasi, industri, ekspor, serta perekonomian nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan kawasan-kawasan ekonomi khusus atau KEK baru, bahkan di tengah pandemi Covid-19, meski KEK yang telah berdiri sebelumnya kurang berkembang. Evaluasi menyeluruh dinilai perlu untuk mengefektifkan peran KEK sebagai instrumen strategis untuk mendongkrak pertumbuhan investasi, industri, ekspor, serta perekonomian nasional.
Selama pandemi Covid-19, pemerintah menetapkan empat KEK baru, yakni KEK Batam Aero Technic dan KEK Nongsa di Batam, Kepulauan Riau, serta KEK Lido di Bogor, Jawa Barat, dan KEK JIIPE di Gresik, Jawa Timur. Dengan demikian, sejak terbit Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK hingga kini Indonesia telah memiliki 19 KEK.
Dua KEK yang baru ditetapkan pemerintah adalah KEK berbasis industri, yakni KEK JIIPE yang fokus pada industri metal (smelter tembaga dan baja), elektronik, kimia, energi, dan logistik, serta KEK Batam Aero Technic yang bergerak di sektor MRO (Maintenance, Repair, Overhaul) pesawat.
Dua KEK lainnya berbasis jasa dan pariwisata, yaitu KEK Nongsa yang sektor utamanya adalah teknologi informasi-digital dan pariwisata, serta KEK Lido yang bergerak di industri kreatif dan pariwisata.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengatakan, alih-alih membawa keuntungan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi sesuai cita-cita awalnya, sebagian besar KEK merugi dan belum memberi dampak positif pada masyarakat sekitar.
Baca juga : Gerak Lambat Satu Dekade Kawasan Ekonomi Khusus
Oleh karena itu, evaluasi dan audit yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan seluruh KEK diperlukan. Keputusan tindak lanjut yang tegas juga dibutuhkan terkait KEK yang berjalan lambat, tidak memberi keuntungan, merugikan lingkungan dan warga setempat, serta KEK yang tidak berhasil menarik investasi dan mengeksekusi ekspor bernilai tambah sesuai target.
”Harus dilihat sejauh mana KEK itu bisa berperan dalam peningkatan perekonomian nasional dan daerah. Berani melihat ada problem di sejumlah KEK lalu mencari jalan keluarnya. Kita harus kembali pada marwah KEK, yaitu mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi agar tidak hanya terpusat di Jawa,” kata Andry.
Perlu dirampingkan
Ia menambahkan, jumlah KEK juga tidak perlu terlalu banyak seperti saat ini jika pelaksanaannya tidak bisa optimal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kinerja KEK yang lambat. Selain dampak pandemi Covid-19 saat ini, ada persoalan yang lebih mendasar, seperti studi yang kurang cermat di awal perencanaan sebelum menetapkan suatu lokasi sebagai KEK.
Ada pula indikasi penetapan KEK untuk alasan politis sehingga pada kelanjutannya KEK tidak berjalan optimal dan tidak sesuai dengan kompetensi dan potensi wilayah bersangkutan.
”Ini penting diperhatikan karena KEK seharusnya bersifat eksklusif. Jangan sampai terlalu banyak KEK lalu tidak ada pembeda antara kawasan di luar KEK dengan KEK itu sendiri, harus ada pertimbangan matang, mana yang perlu menjadi KEK, mana yang tidak, apalagi mengingat insentif dan fasilitas yang diberikan negara untuk KEK itu cukup banyak,” kata Andry.
Akan tetapi, langkah audit dan evaluasi pun perlu dilakukan dengan rinci dan berhati-hati. Langkah perampingan KEK perlu dikaji keuntungan dan kerugiannya agar tidak menjadi bumerang dan preseden buruk. ”Jangan sampai juga KEK dicabut, lalu lebih banyak loss-nya daripada gain. Makanya, audit yang dilakukan harus komprehensif,” ujarnya.
Baca juga : Berkejaran dengan Spekulan Lahan
Berdasarkan data Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), per Juni 2021, ada 12 KEK yang telah beroperasi, 3 KEK yang sedang dalam tahap pembangunan, dan 4 KEK tambahan yang baru ditetapkan tahun 2021. Dari total 19 KEK tersebut, 11 di antaranya adalah KEK berbasis industri dan 8 sisanya KEK berbasis jasa atau pariwisata.
Dari tiga KEK yang saat ini dalam tahap pembangunan, KEK Tanjung Api-Api di Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan salah satu KEK mula-mula yang ditetapkan sejak Juni 2014, tetapi tidak kunjung beroperasi. KEK Tanjung Api-Api fokus pada industri pengolahan kelapa sawit, industri pengolahan karet, industri petrokimia, dan logistik.
Dua KEK lainnya, KEK Singhasari dan KEK Likupang, ditetapkan sejak tahun 2019 dan fokus pada kegiatan pariwisata serta pengembangan teknologi khusus KEK Singhasari. Untuk KEK Likupang, pembangunan ditargetkan selesai pada akhir 2022. Pengembangan tahap awal membutuhkan investasi Rp 2,22 triliun dan salah satu sumber pendanaannya berasal dari pengajuan dana skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tahun 2021 senilai Rp 1,023 triliun.
KEK lainnya, meski sudah mulai beroperasi, belum mencapai target investasi, penyerapan tenaga kerja, dan kinerja ekspor, seperti yang diharapkan.
Pelaksana Tugas Sekretaris Dewan Nasional KEK Elen Setiadi mengatakan, pengembangan KEK Sei Mangkei, sebagai KEK tertua yang ditetapkan sejak 2012 dan beroperasi sejak 2015, belum sesuai dengan ekspektasi. Dalam evaluasi rutin yang dilakukan pemerintah pada Mei 2020, Sei Mangkei termasuk dalam kategori KEK yang mulai berkembang, tetapi bergerak lambat.
”Sudah termasuk maju, tetapi belum semaju yang kita harapkan. Harus lebih maju, agar eskalasi pembangunan di Kuala Tanjung bisa lebih cepat,” katanya.
Status KEK Dicabut
Hasil evaluasi Dewan Nasional KEK pada Mei 2021, dari total 15 KEK yang dievaluasi, hanya tiga KEK yang dinilai berjalan baik dengan realisasi investasi sesuai target. Untuk kategori KEK yang telah beroperasi, ada KEK Galang Batang di Bintan, Kepulauan Riau (industri pengolahan bauksit dan logistik), dan KEK Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat (industri pariwisata). Sementara untuk KEK yang sedang dalam tahap pembangunan, ada KEK Kendal di Jawa Tengah (industri tekstil, furnitur, makanan-minuman, otomotif, dan elektronik).
Sementara KEK lainnya masih perlu pembenahan karena capaiannya belum sesuai target dan ekspektasi. ”Sudah kami petakan, mana KEK yang maju, mana yang berkembang tetapi agak lambat, mana yang lambat dan perlu didorong, dan mana yang tidak berkembang sama sekali. Kalau kendalanya faktor eksternal, bisa dimaklumi, tetapi kalau faktor internal akibat ketidakmampuan manajemen (pengembang dan pengelola), tentu akan disikapi berbeda.” ujar Elen.
Berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, beberapa KEK yang sudah beroperasi dan masuk kategori berjalan tetapi perlu peningkatan adalah KEK Sei Mangkei, KEK Tanjung Lesung, KEK Tanjung Kelayang, KEK Palu, dan KEK Arun Lhokseumawe. Sementara, KEK yang masih dalam tahap pembangunan dan statusnya cukup baik adalah KEK Singhasari. Adapun KEK yang pembangunannya kurang baik adalah KEK Likupang.
Baca juga : Bakal Fokus Ekonomi Digital, Pembangunan KEK Singhasari Masih Berjalan
Di kategori terbawah, ada KEK yang sudah beroperasi dan berjalan lambat seperti KEK Morotai, KEK Sorong, KEK Bitung, dan KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan. Sementara KEK yang pembangunannya tidak berjalan sama sekali adalah KEK Tanjung Api-Api. Berdasarkan evaluasi terakhir, KEK Tanjung Api-Api akan dicabut dari status KEK karena dinilai sama sekali tidak berkembang.
Hasil Evaluasi Dewan Nasional KEK atas Pelaksanaan Pengembangan KEK yang diterima Kompas menunjukkan, pembebasan lahan di Tanjung Api-Api belum selesai sesuai jadwal sehingga pembangunan infrastruktur dasar dalam kawasan dan pendukung belum terbangun dengan signifikan. Masa jangka waktu pembangunan sesuai yang diatur dalam undang-undang sudah lewat. Dewan Nasional KEK sudah memberi perpanjangan waktu pembangunan, tetapi sampai saat evaluasi terakhir, tidak ada kemajuan dalam pembangunan.
Rekomendasi pencabutan status KEK Tanjung Api-Api itu sudah diserahkan Dewan Nasional KEK kepada Presiden Joko Widodo dan tinggal menunggu keputusan pada tahun ini. “Sudah kami usulkan agar dicabut saja. Kendala utamanya karena masalah lahan,” kata Elen.
Untuk empat KEK lain yang dinilai berjalan lambat tetapi masih bisa dipertahankan seperti KEK Morotai, KEK Sorong, KEK Bitung, dan KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan, pemerintah memberikan waktu satu tahun sampai Mei 2022 untuk berbenah dan merealisasikan investasi di masing-masing KEK.
Elen mengatakan, karena faktor Covid-19, akan ada penyesuaian dalam proses evaluasi. “Namun, pada dasarnya, kami beri waktu satu tahun. Pasti akan ada tawar menawar dulu, kalau bisa tidak dicabut. Tetapi kalau ternyata sudah dikaji dan memang tidak ada prospek, seperti lahan yang tidak bisa dibebaskan, bagaimana mau membangun?” ujarnya.
Menurut dia, pencabutan status KEK tidak akan sampai memengaruhi iklim investasi di kawasan tersebut. KEK Tanjung Api-Api yang akan dicabut statusnya terkendala dari segi lahan, sehingga belum memulai tahap pembangunan. “Dari lahan sekitar 200 hektar, paling yang (dibebaskan) baru 67 hektar. Belum ada investornya juga. Jadi ini sudah kita pertimbangkan matang,” katanya.
Kalaupun di kemudian hari pemerintah bakal mencabut status KEK di lokasi yang sudah ditempati investor, pemerintah akan memastikan agar fasilitas untuk pelaku usaha bersangkutan tetap berjalan. “Yang kita hentikan itu insentif pengembang kawasan, tetapi untuk badan usaha tetap dijamin pemerintah. Jadi (investor) tidak perlu khawatir,” ujarnya.
Menanggapi jumlah KEK yang terus bertambah dan dinilai terlalu banyak, menurut Elen, pemerintah tetap akan melakukan ekspansi KEK. “Yang bermasalah kita selesaikan, tetapi kalau ada wilayah yang prospektif, memenuhi syarat, lalu bisa dikembangkan, kenapa tidak?” katanya.