Proses Penyusunan Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran Perlu Diperbaiki
Sebagai supervisi konten penyiaran, inisiatif KPI merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran produk tahun 2012 perlu didukung. Namun, proses penyusunannya harus dikawal publik.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kewenangan utama Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI menjadi supervisi konten penyiaran. Momentum perkembangan hukum ini semestinya dipakai untuk memperbaiki Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran beserta tata kelola kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media Masduki saat dihubungi, Sabtu (4/9/2021), dari Jakarta, menyebutkan, ada tiga kondisi yang seharusnya dipenuhi dalam proses revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Pertama, prinsip komprehensif. Pada P3SPS produk tahun 2012 yang sekarang berlaku, maksud konten penyiaran publik dan pribadi masih terkesan abu-abu. Ini terlihat dari kejadian penyiaran konten pernikahan selebriti dengan kurun waktu lama, tidak ada sikap tegas KPI, dan cenderung terulang.
”Dalam draf revisi P3SPS yang mereka ajukan (KPI Pusat) terdiri dari 100-an pasal untuk standar program siaran dan 41 pasal untuk pedoman perilaku siaran. Padahal, apabila ingin komprehensif dan memenuhi panduan kepentingan publik penyiaran, jumlah pasalnya bisa lebih dari itu,” ujarnya.
Proses kedua yang semestinya dipenuhi KPI yaitu transparansi naskah akademik. Masduki mengamati, draf revisi yang beredar tidak disertai dengan pembagian naskah akademik ke masyarakat. Ini berpotensi menyulitkan publik untuk turut mengawal.
Syarat ketiga yang seharusnya dipenuhi KPI adalah kembali ke Pasal 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam regulasi ini disebutkan bahwa dalam menjalankan fungsinya, KPI menetapkan Standar Program Siaran. Sementara untuk Pedoman Perilaku Penyiaran, fungsi KPI adalah menyusun dan menetapkan. Realitasnya, hingga sekarang, amanat UU No 32/2002 tidak dijalankan. KPI semestinya bisa belajar dari Dewan Pers yang menetapkan kode etik jurnalistik, tetapi proses penyusunannya dilakukan oleh asosiasi profesi dan lembaga media.
”Standar Program Siaran itu bersifat self regulation yang berarti asosiasi dan lembaga penyiaran apa pun bentuk/formatnya difasilitasi saja (dalam) penyusunan. KPI tinggal menetapkan,” katanya.
Sejalan dengan kewenangan utama menjadi supervisi konten, manajemen KPI seharusnya merepresentasikan masyarakat penyiaran. Kendalanya hingga sekarang, model pemilihan keanggotaan KPI oleh DPR. Hal ini sering dikhawatirkan masyarakat bahwa proses pemilihan tidak bebas dari kepentingan politik.
”Keluhan selama ini yang muncul, keanggotaan lembaga itu tidak berbasis kompetensi. Makanya, bersamaan dengan inisiatif mereka merevisi P3SPS, proses penyusunan draft P3SPS harus diperbaiki. Menjadi supervisi konten berarti butuh sumber daya manusia yang berkompeten dan betul-betul merepresentasikan masyarakat,” katanya.
Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Sinam M Sutarno menyampaikan, realitasnya KPI tidak betul-betul tegas mengawasi pelaksanaan P3SPS. Selama proses pemilihan umum, misalnya. Sejumlah isi siaran lembaga penyiaran swasta kerap kali menyimpang dari ketentuan P3SPS, seperti tidak benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat tetapi tidak ada sikap tegas dari KPI.
”Apabila P3SPS produk tahun 2012 direvisi, publik (masyarakat) perlu mengetahui apa saja titik lemah dari produk itu. Hasil evaluasi kelemahan-kelemahan semestinya disampaikan ke masyarakat,” katanya dalam diskusi daring ”Rancangan P3SPS 2021”, Jumat (3/9/2021) malam.
Sementara itu, anggota Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI, Hasto Kuncoro, berpendapat, beberapa substansi P3SPS yang berlaku sekarang sebenarnya cukup bagus, seperti keberpihakan kepada kelompok minoritas. Namun, dalam proses pembahasan perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri penyiaran, termasuk lembaga penyiaran publik.
”Ada substansi dalam P3SPS produk 2012 yang tidak lengkap, seperti pemberitaan kebencanaan yang harus memakai narasumber akurat. Jadi, saya mendukung revisi P3SPS. Namun, saya harap proses revisi tidak administratif belaka,” katanya.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2020-2023 Dewi Nurhasanah menjelaskan, P3SPS yang sekarang berlaku yaitu P3SPS tahun 2012. Dalam P3SPS tahun 2012 Pasal 68 disebutkan, program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10 persen untuk televisi dan paling sedikit 60 persen untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari. Program siaran lokal tersebut paling sedikit 30 persen di antaranya wajib ditayangkan pada waktu jam tayang utama waktu setempat. Realitasnya, penerapan ketentuan itu tidak optimal dan sering kali harus dibagi-bagi dengan jenis program lain.
”Selain itu, ada daerah, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penyiaran yang di dalamnya memuat pokok-pokok siaran konten lokal. Maka, revisi P3SPS tahun 2012 perlu dilakukan demi ada penyesuaian dengan peraturan daerah,” katanya.
Sebelumnya, KPI Pusat telah menggelar forum diskusi grup tentang perumusan draf akhir revisi P3SPS pada 30 Agustus-1 September 2021. Sejumlah kementerian/lembaga, organisasi pelaku industri, dan asosiasi profesi dihadirkan dalam forum itu. Sebagai contoh, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat, Irsal Ambia, mengatakan, urgensi dari revisi P3SPS yaitu pertimbangan terdepan revisi karena dinamika penyiaran yang berkembang cepat, seperti hadirnya digitalisasi yang mengubah lanskap industri penyiaran yang ada di Tanah Air. Beberapa hal yang menjadi substansi pokok revisi Pedoman Perilaku Penyiaran yang terdiri dari 10 bab dan 41 pasal yaitu etika kebangsaan, profesionalisme sumber daya manusia, kemerdekaan pers, partisipasi publik, dan pengenaan sanksi administrasi.
”Sesuai Pasal 49 UU No 32/2002, KPI berperan menilai secara berkala P3SPS sesuai perkembangan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Sesuai rencana tahapan revisi P3SPS, forum diskusi grup pembahasan draf revisi di KPID dilakukan sejak 4 Agustus 2021, finalisasi draf hasil masukan KPID oleh KPI Pusat pada 11-13 Agustus 2021, dan diskusi bersama pemangku kepentingan di industri penyiaran pada minggu ketiga dan keempat Agustus 2021. Finalisasi draf hasil masukan pemangku kepentingan dan uji publik berlangsung selama September 2021. Adapun penetapan revisi akan dilakukan pada rapat koordinasi nasional KPI pada Oktober 2021.