Pemanfaatan Perjanjian Perdagangan Bebas Belum Optimal
Perjanjian dagang seharusnya tidak hanya berurusan dengan kinerja perdagangan barang dan jasa negara-negara yang terlibat kerja sama, tetapi juga sebagai strategi untuk menarik investasi dan mendorong industrialisasi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai perjanjian dagang internasional belum optimal dimanfaatkan untuk mendorong industrialisasi dan mengamankan posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia. Padahal, sebagai sektor yang bernilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, industri manufaktur memainkan peran vital dalam pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Indonesia telah mengantongi 23 perjanjian perdagangan internasional. Sebanyak 12 perjanjian sudah mulai berlaku. Terbaru, pada Kamis (2/9/2021), Indonesia memulai perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (IUAE-CEPA).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani, Jumat (3/9/2021), mengatakan, pelaku usaha menyambut dengan antusias perjanjian dagang terbaru dengan UEA yang ditargetkan dapat rampung dalam waktu singkat selama satu tahun.
Akan tetapi, ia mengingatkan, kunci utama dari perjanjian internasional tidak berakhir hanya pada penyelesaian negosiasi kerja sama dagang itu sendiri, tetapi pemanfaatan atau utilisasi setelah perjanjian tersebut disepakati.
Selama ini, ujar Shinta, pemanfaatan berbagai perjanjian dagang bebas belum maksimal dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi, industrialisasi, serta mengamankan peran Indonesia dalam rantai pasok dunia. Apalagi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN yang juga memiliki hubungan dagang serupa.
Ia mencontohkan perjanjian dagang ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang berlaku sejak tahun 2005. Sebelum kerja sama regional itu berlaku, ekspor Indonesia ke China mencapai 7,2 miliar dollar AS pada tahun 2004, atau posisi kelima terbesar di kawasan ASEAN. Dalam 15 tahun setelah ACFTA, ekspor Indonesia meningkat 570 persen.
Shinta mengatakan, meski terkesan pesat, kenaikan itu masih kalah dibandingkan Vietnam yang juga tergabung dalam perjanjian dagang yang sama. Sebagai perbandingan, setelah 15 tahun sejak ACFTA berlaku, Vietnam mampu meningkatkan ekspornya ke China hingga 11.700 persen.
Contoh lainnya, utilisasi perjanjian ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Pada tahun 2009, sebelum kerja sama itu berlaku, ekspor Indonesia ke Australia mencapai 3,65 miliar dollar AS. Namun, 10 tahun pasca berlakunya AANZFTA, ekspor Indonesia ke Australia justru terkontraksi 14 persen pada tahun 2020.
”Kontraksi itu bukan hanya karena faktor pandemi, tetapi juga faktor internal. Sebab, jika diperhatikan, ekspor Indonesia ke Australia dalam lima tahun terakhir (sebelum pandemi) pun tidak bisa mencapai kinerja maksimal. Berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang kinerja ekspornya ke Australia naik 69 persen atau Filipina yang naik 12 persen,” kata Shinta.
Berbagai perjanjian dagang bebas yang diteken Indonesia itu pun belum tampak memperbaiki posisi Indonesia dalam rantai pasok global (global supply chain). Data Bank Indonesia menunjukkan, pangsa pasar ekspor Indonesia masih rendah dibandingkan negara suplai global yang lainnya seperti China, Jerman, dan Amerika Serikat, serta sejumlah negara ASEAN lainnya.
Menurut dia, Indonesia perlu menyeimbangkan strategi ”bertahan” dan ”menyerang” yang kuat. Pelaku usaha perlu ditingkatkan daya saingnya untuk mengantisipasi kompetisi usaha yang lebih tinggi. Ia menitikberatkan pentingnya sosialisasi serta pelibatan pengusaha sebelum negosiasi perjanjian dagang dimulai.
”Ini penting agar pelaku usaha dari kedua negara dapat menganalisa apa saja peluang dan tantangan dari rencana perjanjian dagang itu sejak awal,” katanya.
Di sisi lain, iklim investasi perlu dimudahkan agar negara mitra terkait menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi, bukan hanya sebagai pasar. ”Reformasi struktural lewat Undang-Undang Cipta Kerja perlu terus dikawal implementasinya. Kita juga harus memperhatikan komponen biaya usaha kita yang masih mahal, seperti harga gas dan biaya logistik,” katanya.
Investasi manufaktur
Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Kiki Verico mengatakan, perjanjian dagang tidak hanya berkaitan dengan kinerja perdagangan barang dan jasa antara negara-negara yang terlibat dalam kerja sama, tetapi terkait dengan strategi menarik investasi yang bisa menjadikan Indonesia sebagai negara basis produksi.
Pertumbuhan industri manufaktur penting bagi Indonesia yang memiliki tingkat ketimpangan pengeluaran (gini ratio) tinggi serta jumlah penduduk banyak. Terutama, di tengah kondisi krisis ekonomi dan sosial akibat Covid-19 saat ini. ”Gini ratio kita terus meningkat. Untuk memperbaiki ini, kita perlu meningkatkan sektor yang sifatnya padat karya (labor intensive), yaitu manufaktur,” kata Kiki.
Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini tidak ideal, karena untuk menjadi negara industri maju, laju pertumbuhan industri manufaktur seharusnya berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Makro Kementerian Investasi Indra Darmawan, Indonesia masih menjadi negara tujuan utama investasi dunia. Pada Januari-Juni 2021, investasi penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 228,5 triliun atau 16,8 persen dari total investasi yang masuk pada periode tersebut, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2020.
Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah berharap bisa meningkatkan tingkat investasi di sektor manufaktur. ”Perjanjian dagang memang akan menghasilkan winners dan losers. Yang penting adalah bagaimana kita bisa memitigasi agar kita bisa membuat pelaku usaha kita lebih siap menghadapi kompetisi global yang semakin tinggi,” katanya.