Industri Masih Terkontraksi, Permintaan Domestik Perlu Digalakkan
Pelonggaran PPKM saja tidak cukup. Perlu ada upaya lebih untuk memulihkan daya beli dan permintaan dalam negeri untuk menggerakkan sektor industri, khususnya yang berskala kecil dan menengah.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski membaik dibandingkan kondisi Juli 2021, kinerja industri manufaktur masih terkontraksi. Optimisme pelaku usaha belum sepenuhnya pulih karena masih mengantisipasi dinamika pandemi Covid-19 yang tak pasti. Permintaan domestik harus digalakkan untuk menggerakkan tidak hanya industri besar, tetapi juga industri kecil dan menengah.
Survei IHS Markit mencatat, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia terkontraksi selama dua bulan berturut-turut pada Juli dan Agustus 2021. PMI Manufaktur Agustus 2021 tercatat pada posisi 43,7. Meskipun naik tipis dari posisi 40,1 pada Juli 2021 yang terimbas lonjakan kasus Covid-19 dan pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), penurunan kondisi itu masih tergolong tajam.
Seiring dengan pelonggaran bertahap PPKM yang dimulai pada Agustus, penurunan produksi dan permintaan mulai melambat dibanding bulan sebelumnya. Kendati demikian, optimisme dan kepercayaan pelaku industri belum kembali sepenuhnya. Meski ada perbaikan, tingkat penurunan produksi dan permintaan masih terhitung signifikan.
Pengusaha juga masih mewaspadai perkembangan varian baru pandemi yang tidak pasti ke depan sehingga tetap berhati-hati menyikapi kondisi ketenagakerjaan di perusahaan masing-masing. Kondisi ini, ditambah dengan tingkat absensi kerja yang tinggi karena pekerja terpapar Covid-19, pun berdampak pada rekor akumulasi penumpukan pekerjaan paling tajam.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Adi Mahfudz Wuhadji, Kamis (2/9/2021) mengatakan, meski pemerintah mulai melonggarkan PPKM secara bertahap dan industri sudah beroperasi penuh dalam dua sif, industri pengolahan belum tentu akan cepat pulih ke kondisi ekspansif seperti sebelumnya.
Seiring dengan pelonggaran bertahap PPKM yang dimulai pada Agustus, penurunan produksi dan permintaan mulai melambat dibandingkan bulan sebelumnya.
Pasalnya, permintaan domestik masih lesu. Sementara, struktur industri dalam negeri masih sangat bergantung pada permintaan domestik. Hanya sedikit perusahaan, khususnya yang berskala besar, yang mengandalkan pasar ekspor untuk menopang kinerjanya.
Oleh karena itu, pelonggaran PPKM saja tidak cukup. Perlu ada upaya lebih memulihkan daya beli masyarakat dan permintaan domestik untuk menggerakkan sektor industri. ”Memang PPKM sudah dilonggarkan bertahap, tetapi secara psikologis dan sosial, orang-orang belum mau berbelanja. Konsumsi dalam negeri belum tumbuh,” kata Adi saat dihubungi.
Di tengah ketidakpastian kondisi, pelaku industri pun mau tidak mau melakukan efisiensi untuk meringankan beban arus kas. Menurut Adi, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan upah karyawan tetap tidak bisa dihindari di beberapa sektor. Terutama, di industri berskala kecil dan menengah (IKM).
”Usaha besar umumnya masih punya dana cadangan untuk tiga tahun ke depan, tetapi dampak sesungguhnya ada di IKM yang merupakan mayoritas pelaku industri kita, yang juga bergantung pada pasar domestik,” ujarnya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan upah karyawan tetap tidak bisa dihindari di beberapa sektor. Terutama, di industri berskala kecil dan menengah (IKM).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai, sembari mendorong daya beli dan permintaan masyarakat, pemerintah juga dapat menggerakkan kinerja industri melalui belanja pemerintah. Di tengah situasi yang masih belum pasti ini, peran sentral pemerintah harus dijalankan.
”Tidak hanya lewat program-program besar di skema pemulihan ekonomi nasional (PEN), tetapi juga lewat belanja reguler yang dilakukan tiap kementerian dan lembaga. Sampai sekarang, ini belum maksimal. Masih banyak yang menggunakan produk impor,” kata Faisal.
Berdasarkan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dalam transaksi pengadaan barang/jasa tertinggi melalui e-katalog periode Januari 2020-Mei 2021, penyerapan anggaran belanja untuk barang/jasa produksi dalam negeri baru mencapai Rp 28,9 triliun. Sementara, penyerapan anggaran belanja untuk barang/jasa impor Rp 31,3 triliun.
Kementerian Perindustrian mencatat, ada potensi belanja barang dan belanja modal senilai Rp 609,3 triliun di APBN yang seharusnya dapat dioptimalkan sebagai peluang pasar produk dalam negeri.
Potensi itu, antara lain penggunaan produk dalam negeri dari anggaran bidang ekonomi Rp 511,3 triliun. Selain itu, dari anggaran perlindungan sosial senilai Rp 260 triliun, pendidikan Rp 175,2 triliun, pelayanan umum Rp 526,2 triliun, kesehatan Rp 111,7 triliun, pertahanan dan keamanan Rp 303,7 triliun, serta anggaran transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 795,5 triliun.
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, sentimen perusahaan manufaktur memang melemah sejak Juli 2021 seiring diberlakukannya PPKM. Namun, tingkat kepercayaan bisnis terkait perkiraan produksi dalam setahun ke depan masih berada di atas rata-rata survei IHS Markit.
Menurut dia, hal itu mencerminkan harapan perbaikan dalam situasi Covid-19. Pemerintah pun akan menempuh langkah percepatan pemulihan kesehatan dan ekonomi, seperti lewat akselerasi vaksinasi, serta memberi stimulus bagi dunia usaha melalui skema PEN agar pandemi cepat terkendali.
”Kerja sama masyarakat juga harus terus didorong untuk menjaga momentum pemulihan yang sedang berlangsung ini,” kata Febrio.