Perlu Pola Pikir Baru Menghadapi Disrupsi di Sektor Transportasi
Pandemi menjadi proses panjang yang mengubah pola kehidupan manusia di dunia. Bukan hanya Indonesia, melainkan juga Kementerian Perhubungan, yang perlu merespons disrupsi pada sistem transportasi.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi menjadi proses panjang yang mengubah pola kehidupan manusia di dunia. Bukan hanya Indonesia, melainkan juga Kementerian Perhubungan yang perlu menciptakan sistem transportasi di era disrupsi. Disrupsi menghadirkan ragam baru moda transportasi, seperti Gojek yang sudah dikenal masyarakat. Namun, angkutan pelat hitam menjadi salah satu sorotan penting.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengemukakan perlunya pola pikir baru dalam sistem transportasi di Tanah Air dalam Kick Off Hari Perhubungan Nasional di Jakarta, Rabu (1/9/2021). Kali ini, tema Harhubnas yang akan diperingati pada tanggal 17 September mengangkat ”Bergerak Harmonikan Indonesia”. Pandemi Covid-19 telah mendesak semua pihak mampu beradaptasi sebagai bagian dari disrupsi di depan mata.
”Kata ’bergerak’ itu perlu diartikan dengan transformasi, change, serta melakukan ’gerak’ dengan melawan disrupsi. Kondisi disrupsi berada di mana-mana. Di sektor darat, ada Gojek dan angkutan pelat hitam, bahkan dalam diskusi beberapa waktu lalu, saya menemukan logistik internasional pun mengalami disrupsi,” ujar Budi.
Menhub mengajak pelaku sektor transportasi untuk memiliki pola pikir baru dalam merespons tuntutan industri 4.0 dan digitalisasi, ditambah lagi adanya pandemi yang mungkin berkepanjangan.
Budi mencontohkan, kepedulian lingkungan yang mulai tumbuh perlu didongkrak supaya bisa memperkuat sektor transportasi. Tidak cukup dengan itu saja. Diperlukan pula jejaring internasional agar segala yang terjadi di dunia internasional bisa dipahami dan direspons.
Menhub mengapresiasi jajaran sektor laut, udara, darat dan perkeretapian yang telah bekerja luar biasa untuk bertahan di tengah pandemi walaupun dengan tekanan kontraksi begitu dalam.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi menambahkan, ”Harapan dari makna ’Bergerak Harmonikan Indonesia’ tidak bisa dilepaskan dengan sikap saling bekerja sama, bergerak bersama, serta berkolaborasi antar-unsur di Kemenhub, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.”
Dia juga mengingatkan pelaku sektor transportasi untuk mengesampingkan egosektoral demi perbaikan sistem dan layanan yang lebih prima bagi masyarakat Indonesia. ”Dengan komitmen dan peningkatan kualitas, serta daya saing sumber daya manusia transportasi yang saling sinergi, hal ini menjadi hal utama guna mewujudkan transportasi yang aman, nyaman dan selamat,” ujar Budi Setiyadi.
Travel gelap
Djoko Setijowarno, akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, secara terpisah menyoroti keprihatinan Menhub tentang angkutan pelat hitam. Dalam temuannya, ada stiker yang bertuliskan ”Sinergitas TNI Polri dan Dishub Nusantara” ditempelkan di kaca belakang angkutan umum pelat hitam.
”Pemasangan stiker itu tentunya sebagai jaminan untuk meloloskan diri dari pengecekan dan penyekatan di saat pandemi. Seolah-olah institusi TNI, Polri, dan Dinas Perhubungan berkolaborasi untuk melakukan permufakatan jahat. Pemasangan stiker ini merupakan pelecehan terhadap institusi negara. Harus ada tindakan hukum dari aparat penegak hukum,” tegas Djoko.
Maraknya angkutan umum pelat hitam (travel gelap) muncul akibat kebutuhan perjalanan yang tidak dapat diakomodasi layanan angkutan umum resmi atau legal. Sebagian masyarakat yang beraktivitas di kawasan Jabodetabek yang berasal dari perdesaan banyak memanfaatkannya. Keberadaan kendaraan umum pelat hitam yang beroperasi ke kawasan Jabodetabek kini mudah dikenali dengan tempelan stiker bertuliskan ”Sinergitas TNI Polri dan Dishub Nusantara”.
Kendaraan berstiker ini sebagai penanda travel gelap untuk menghindari razia. Apalagi, di masa pandemi, penyekatan kendaraan, seperti saat mudik Lebaran, PSBB, PPKM darurat, dan yang terakhir PPKM level 4, ternyata tidak berpengaruh pada operasi kendaraan ini. Hal ini semakin menambah marak keberadaan angkutan umum pelat hitam.
Djoko tak menampik, keberadaan angkutan perdesaan sebagai penyambung atau penghubung antar-desa dengan terminal tipe A sudah banyak yang punah. Sebagai penggantinya, angkutan ojek pangkalan yang tarifnya tidak terkendali alias mahal. Dengan beroperasinya angkutan umum pelat hitam, ini dianggap solusi membantu dan memudahkan dalam memperoleh layanan angkutan umum door to door, mengantarkan penumpang sampai dengan tujuan penumpang.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan pada penumpang yang barasal dari Jawa Tengah, perjalanan mereka berasal dari Kabupatan Brebes, Banyumas, Grobogan, Tegal, Wonosobo, dan Banjarnegara. Penumpang dijemput sesuai dengan titik share location yang diberikan kepada agen.
Djoko menyebutkan, tarif hari normal (weekday) Rp 250.000 dan akhir pekan (weekend) atau hari libur mencapai Rp 300.000 hingga Rp 350.000. Ramainya penumpang terjadi pada hari Jumat dan Minggu. Penumpang dijemput sesuai dengan titik share location yang diberikan kepada agen. Jam keberangkatan kisaran pukul 16.00-19.00.
Kendati ada perbedaan tarif kisaran Rp 100.000-Rp 150.000 lebih tinggi dibandingkan angkutan umum resmi, ada keluwesan dalam pembayaran. Bisa dilakukan pembayaran pada awal atau sesudah penumpang tiba di tempat tujuan. Bahkan, ada layanan penawaran promo, misalnya rombongan (6-7 penumpang) dapat gratis mengangkut satu penumpang lagi.
Menurut Djoko, pihak travel gelap memberikan jaminan pada penumpang bahwa mereka bisa ”lolos” dari pemeriksaan rapid test saat razia. Penumpang juga diantar sampai ke lokasi tujuan. Oleh karena itu, operasi travel gelap ini mengancam upaya pengendalian penularan Covid-19 dan membahayakan keselamatan warga. Penumpang travel gelap tidak berhak mendapat jaminan asuransi akibat kecelakaan lalu lintas.
Maraknya bisnis travel gelap ini juga telah membikin gemas dan resah di kalangan pelaku usaha angkutan umum resmi. Di satu sisi, angkutan umum resmi diminta menaati regulasi. Sementara di sisi lain, ada angkutan umum yang tidak taat regulasi dan makin marak beroperasi tanpa ada upaya tindakan tegas untuk memberantasnya.
”Bisnis travel gelap beroperasi sudah sejak lama dan jumlahnya sudah ratusan armada setiap hari yang masuk Jabodetabek,” ujar Djoko.