Varian Delta Bisa Hambat Laju Perdagangan Tahun Ini
Negara dengan kombinasi tingkat vaksinasi yang rendah, serta insiden kasus baru dan tingkat kematian yang tinggi akan berisiko tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS – Laju pertumbuhan perdagangan di Asia Pasifik masih rentan goncangan hingga akhir tahun ini. Perdagangan di kawasan tersebut diperkirakan tetap tumbuh kendati lambat di tengah semakin merebaknya virus korona baru varian Delta penyebab Covid-19.
Dalam laporan bertajuk “APAC Outlook: No Straight Line to Recovery”, Moody’s Analytics menyebutkan, ekonomi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik bakal melambat. Perdagangan inter dan intra kawasan diperkirakan tidak lagi berakselerasi dengan cepat.
Ekonomi domestik di seluruh wilayah terhalang pembatasan kegiatan yang diperketat atau diperpanjang untuk menekan laju penyebaran varian Delta. Kendati begitu, negara-negara di kawasan Asia Pasifik tetap akan mendapatkan manfaat dari perdagangan, terutama ekspor, meskipun tidak seragam.
Usai mulai mentas dari pandemi Covid-19 pada akhir tahun lalu, China kembali bergelut dengan Covid-19 yang disebabkan varian Delta. Kuncitara di sejumlah wilayah dilakukan, sehingga berimbas pada kinerja industri. Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur China kembali turun di kisaran ambang batas 50 dan penjualan eceran kembali lesu atau belum pulih ke tingkat sebelum pandemi.
Jepang diperkirakan akan tertatih-tatih menggenjot industri otomotif lantaran kekurangan pasokan semikonduktor. Toyota akan memangkas produksinya pada September 2021 sebesar 40 persen di 14 pabrik di Jepang, China, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Eropa.
Usai mulai mentas dari pandemi Covid-19 pada akhir tahun lalu, China kembali bergelut dengan Covid-19 yang disebabkan varian Delta. Jepang diperkirakan akan tertatih-tatih menggenjot industri otomotif lantaran kekurangan pasokan semikonduktor.
Adapun Indonesia akan terus bergantung pada harga komoditas yang tinggi dan sangat rentan dengan gejolak ekonomi global. Ekspor India akan ditopang oleh industri farmasi. Sementara itu, Malaysia dan Thailand diperkirakan akan menghadapi kekurangan produksi mobil dan elektronik lantaran terbatasnya tenaga kerja akibat kebijakan pengetatan mobilitas masyarakat.
Kepala Ekonom Moody’s Analytics untuk Kawasan Asia Pasifik, Steve Cochrane, Senin (30/8/2021), mengatakan, percepatan vaksinasi memang perlu dilakukan oleh setiap negara. Namun perlu dicatat, tingkat vaksinasi tidak selalu memberikan gambaran lengkap tentang risiko Covid-19 karena tingkat vaksinasi tidak selalu berkorelasi baik dengan perkembangan virus, insiden kasus, atau angka kematian.
Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu, seperti efikasi vaksin, pendistribusian vaksin yang terhambat kondisi geografis, belum tercapainya vaksinasi bagi populasi rentan atau lanjut usia, dan kualitas fasilitas perawatan.
“Negara dengan kombinasi tingkat vaksinasi yang rendah, serta insiden kasus baru dan tingkat kematian yang tinggi akan berisiko tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, negara tersebut akan mengontrol mobilitas masyarakat secara ketat dan lama,” kata Cochrane melalui siaran pers.
Negara dengan kombinasi tingkat vaksinasi yang rendah, serta insiden kasus baru dan tingkat kematian yang tinggi akan berisiko tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembatasan pergerakan masyarakat untuk meredam lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Moody’s Analytics memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 3,7 persen pada 2021 dan 5 persen pada 2022. Adapun Pemerintah Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 3,7 persen-4,5 persen tahun ini atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,5 persen-5,3 persen.
Baca juga: Waspadai Perlambatan Ekonomi China dan Amerika Serikat
Mencermati pasar ekspor
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, Selasa (31/8/2021), menuturkan, pelaku usaha minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya terus mencermati kondisi negara-negara tujuan ekspor. Untuk periode Januari-Juni 2021, pasar CPO di sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik masih relatif stabil.
Dalam periode tersebut, volume ekspor CPO ke China sebanyak 3,09 juta ton atau tumbuh 54 persen secara tahunan. Imbas pandemi Covid-19 akibat merebaknya varian Delta di China, diperkirakan tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia.
“Kami justru khawatir dengan pasar India dan sejumlah negara di kasawan Uni Eropa (UE), seperti Italia, Belanda, dan Spanyol, karena volume ekspor CPO turun pada semester I-2021 turun. Volume ekspor CPO ke India turun 43 persen secara tahunan, Italia 30 persen, Spanyol 18 persen, dan Belanda 1,8 persen,” kata Joko ketika dihubungi di Jakarta.
Kami justru khawatir dengan pasar India dan sejumlah negara di kasawan UE, seperti Italia, Belanda, dan Spanyol, karena volume ekspor CPO turun pada semester I-2021 turun.
Menurut Joko, penurunan volume ekspor CPO ke India itu tidak terlepas dari lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta mulai April hingga Mei 2021. Adapun penurunan ekspor CPO ke sejumlah negara di kawasan UE diperkirakan tidak hanya karena Covid-19, tetapi juga kebijakan ekonomi hijau dan berkelanjutan UE.
Meskipun baru akan diberlakukan bertahap mulai 2023, kebijakan UE tentang Arah Energi Baru Terbarukan (RED) II sudah mulai berpengaruh terhadap permintaan CPO. Melalui regulasi ini, UE telah menetapkan CPO sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan karena menyebabkan deforestasi dan emisi gas rumah kaca.
Baca juga: Dua Sisi Kebijakan Pembatasan Impor Sawit Uni Eropa
Adapun pasar Amerika Serikat, lanjut Joko, permintaan CPO-nya cukup tinggi. Volume ekspor CPO ke negara tersebut pada Januari-Juni 2021 sebanyak 897.000 ton atau tumbuh 27,5 persen secara tahunan. Tahun lalu, volumenya juga sangat tinggi, yaitu 1,4 juta ton.
“Kendati varian Delta terus merebak dan memengaruhi perekonomian sejumlah negara, kami tetap optimistis volume ekspor CPO bisa tumbuh dari 34 juta ton pada 2020 menjadi 35 juta ton pada 2021,” kata Joko.
Joko menambahkan, harga CPO hingga akhir tahun ini dan tahun depan diperkirakan masih akan tinggi. Saat ini harganya masih di atas 1.000 dollar AS per ton. Pada tahun depan, harga CPO diperkirakan turun dan kembali ke titik normal, yaitu di sekitar 800 dollar AS per ton.
Baca juga: ”Tapering Off” The Fed Bakal Pengaruhi Harga Komoditas
Sementara berbagai terobosan dilakukan Indonesia untuk meningkatkan ekspor produk-produk unggulan. Salah satunya melalui keikutsertaan dalam pameran Las Vegas Summer Market 2021 pada 22-26 Agusutus di Las Vegas, Amerika Serikat.
Dalam ajang tersebut, produk-produk furnitur kontemporer dan rotan Indonesia banyak diminati. Transaksi yang dibukukan atas produk-produk itu sepanjang pagelaran pameran itu senilai Rp 20 miliar,” kata Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Los Angeles Bayu Nugroho melalui siaran pers, Selasa.
Bayu juga menyatakan, pandemi Covid-19 juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memperbesar pangsa impor furnitur di Amerika Serikat. Hal ini juga seiring dengan melemahnya posisi sejumlah negara pesaing di sektor itu, seperti China, Vietnam, dan Thailand.
China yang belum tuntas berperang dagang dengan Amerika Serikat, misalnya, mengalami penurunan permintaan furnitur sejak tiga tahun terakhir. Nilai impor furnitur AS dari China pada periode 2018-2020 turun 35 persen dari 34,7 juta dollar AS menjadi 22,7 juta dollar AS.
“Pada Januari-Juni 2021, nilai impor furnitur Amerika Serikat dari Indonesia sebesar 35,99 mlikar dollar AS atau tumbuh 42,4 persen dibandingkan periode sama 2020. Indonesia akan terus memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan ekspor nonmigas ke Amerika Serikat,” kata Bayu.
Baca juga: