Meski Berkinerja Baik, Harga Saham Bukalapak Turun
Walaupun berkinerja baik pada semester I-2021, harga saham Bukalapak malah melorot. Pada penutupan perdagangan Rabu (1/9/2021), harga saham Bukalapak turun 5,82 persen menjadi Rp 890 per saham.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Emiten-emiten di Bursa Efek Indonesia tengah mengeluarkan laporan keuangan semester pertama tahun 2021. Secara umum, terlihat kemajuan berarti dalam kinerja keuangan emiten-emiten tersebut.
Unicorn atau perusahaan rintisan teknologi dengan valuasi 1 miliar dollar AS yang baru saja masuk bursa, PT Bukalapak.com Tbk, juga mengeluarkan laporan keuangan semester I-2021. Walaupun berkinerja baik, harga saham Bukalapak melorot. Pada penutupan perdagangan Rabu (1/9/2021), harga sahamnya turun 5,82 persen menjadi Rp 890 per saham.
”Menurut kami, penuruan itu masih berada dalam batas wajar. Kami melihat prospek jangka panjang,” kata analis Sucor Sekuritas, Paulus Jimmy, ketika dihubungi.
Senada dengan Jimmy, Raphon Prima, Retail Investment Specialist Samuel Sekuritas Indonesia, mengatakan, kinerja Bukalapak akan lebih baik lagi. ”Perlu diingat bahwa kinerja Bukalapak pada semester I-2021 belum memasukkan faktor dana yang didapat dari penawaran saham di bursa sebesar Rp 22 triliun pada Agustus 2021,” ujarnya.
Raphon memperkirakan, kinerja Bukalapak pada triwulan III-2021 akan lebih baik lagi seiring dengan masuknya dana penawaran umum saham perdana (IPO). ”Bukalapak diperkirakan akan mendapatkan tambahan pendapatan keuangan dari dana IPO,” kata Raphon dalam risetnya.
Manajemen Bukalapak menyebutkan, nilai total pemrosesan atau total processing value (TPV) selama triwulan II-2021 tumbuh sebesar 56 persen menjadi Rp 29,4 triliun. Pencapaian itu menambah kinerja pada semester I-2021 sehingga TPV Bukalapak selama paruh pertama 2021 naik 54 persen menjadi Rp 56,7 triliun.
Ada dua matrik perhitungan yang biasa digunakan pada perusahaan teknologi dengan layanan lokapasar (marketplace) seperti Bukalapak, yaitu gross merchandise value (GMV) dan TPV. GMV menghitung semua transaksi yang terjadi di dalam platform, termasuk order yang dibatalkan dan order yang tertunda. Sementara TPV hanya menghitung nilai transaksi yang berhasil diproses. Dengan demikian, angka yang dihasilkan dari perhitungan TPV lebih akurat.
”Walaupun kedua matrik tersebut merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur kinerja lokapasar, baik GMV maupun TPV bisa jadi tidak mencerminkan pendapatan perusahaan. Hal ini sangat tergantung dari bisnis model lokapasar itu. Dalam hal ini, pendapatan lokapasar seperti Bukalapak berasal dari komisi (take rate) yang diperoleh dari TPV,” tutur Jimmy dalam risetnya.
Dalam laporan keuangan itu juga disebutkan, 75 persen TPV Bukalapak dalam kurun waktu semester I-2021 didapatkan dari luar daerah Tier 1 Indonesia, yaitu daerah dengan penetrasi all-commerce dan tren digitalisasi atas warung-warung kecil ritel terus bertumbuh. Mitra Bukalapak merupakan penggerak utama pertumbuhan.
TPV Mitra pada triwulan II-2021 naik 237 persen menjadi Rp 14,2 triliun dan semester pertama 2021 naik lagi 227 persen menjadi Rp 23,9 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Program Mitra ini merupakan warung online to offline dengan mitra yang terdaftar mencapai 6,9 juta warung, walaupun tidak semua warung Mitra aktif bertransaksi.
Laporan lain, misalnya, datang dari PT Bukit Asam Tbk. Emiten pertambangan ini melaporkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih sepanjang semester I-2021.
Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan pada Rabu (1/9/2021), PT Bukit Asam menyatakan ada kenaikan pendapatan 14,18 persen dari Rp 9,01 triliun pada semester I-2020 menjadi Rp 10,29 triliun pada semester I-2021. Pendapatan bersih PT Bukit Asam ini didominasi oleh penjualan batubara yang mencapai Rp 10,14 triliun.
Laba bruto tercatat naik 39,09 persen dari Rp 2,54 triliun menjadi Rp 3,54 triliun pada semester pertama tahun ini. Laba usaha naik signifikan, yakni sebesar 40,4 persen, dari Rp 1,38 triliun menjadi Rp 2,32 triliun pada semester I-2021. Laba bersih pun naik 38 persen menjadi Rp 1,77 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 1,28 triliun.
Emiten pertambangan lain, PT Adaro Energy Tbk, juga mencatatkan kenaikan pendapatan usaha bersih sebesar 1,56 miliar dollar AS atau sekitar Rp 22,35 triliun pada semester I-2021. Kenaikan pendapatan itu ditopang oleh kenaikan harga jual rata-rata sebesar 25 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Dalam keterangan tertulisnya, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir menjelaskan, hambatan pasokan mendorong kenaikan harga batubara global.
Hambatan pasokan mendorong kenaikan harga batubara global.
Emiten lain yang membukukan kenaikan laba adalah PT PP (Persero) Tbk. Dalam laporannya, PT PP mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp 6,46 triliun pada semester I-2021. Angka itu turun 4,3 persen dibandingkan dengan pendapatan usaha pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 6,74 triliun.
Walaupun pendapatan usaha turun, di sisi lain PT PP berhasil menekan beban pokok pendapatan dari Rp 6,04 triliun menjadi Rp 5,66 triliun pada enam bulan pertama tahun ini. Dengan demikian, laba bruto yang diraih mencapai Rp 789,2 triliun, naik 11,8 persen dari semester I-2020, yakni Rp 705,7 triliun. Laba bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk Rp 86,04 miliar, naik 300,6 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 21,16 miliar.