Inflasi Agustus 0,03 Persen, Pendidikan Beri Andil Tertinggi
Pengeluaran pendidikan memberikan andil tertinggi, yakni 0,7 persen, bagi inflasi Agustus 2021 yang tercatat 0,03 persen. Sementera kelompok makanan, minuman, dan tembakau justru mengalami deflasi, yakni 0,32 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat inflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus 2021. Inflasi didorong oleh kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks sejumlah kelompok pengeluaran, terutama pendidikan, kesehatan, serta perlengkapan dan peralatan rumah tangga. Namun, indeks harga sejumlah kelompok pengeluaran justru turun, terutama makanan dan minuman, yang mencatat deflasi 0,32 persen.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto menyatakan, inflasi selama Agustus 2021 turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 0,08 persen. Dengan demikian, inflasi sejak awal Januari hingga Agustus 2021 mencapai 0,84 persen.
”Dari 90 kota indeks harga konsumen, 34 kota mengalami inflasi, sedangkan 56 kota mengalami deflasi,” kata Setianto dalam telekonferensi pers data inflasi Agustus 2021, Rabu (1/9/2021).
Pendidikan tercatat mengalami kenaikan indeks tertinggi dibandingkan kelompok pengeluaran lain. Inflasi pendidikan tercatat 1,2 persen dengan andil 0,07 persen terhadap inflasi Agustus 2021. Sementera kelompok kesehatan mengalami inflasi 0,32 persen, perlengkapan dan peralatan rumah tangga 0,27 persen, dan penyediaan makanan dan minuman/restoran 0,1 persen.
Menurut Setianto, bulan Agustus 2021 merupakan awal tahun ajaran baru 2021/2022. Momentum ini membuat uang sekolah SD, SMP, dan uang kuliah perguruan tinggi mengalami peningkatan dengan andil masing-masing 0,02 persen, sementara uang sekolah SMA memberikan andil inflasi 0,01 persen.
Empat subkelompok pada kelompok pengeluaran pendidikan mengalami inflasi. Inflasi pada subkelompok pendidikan menengah tercatat paling tinggi, yakni 2,07 persen, sementara subkelompok pendidikan lainnya sebesar 0,08 persen.
”Kelompok pendidikan ini cukup tinggi karena memang bertepatan dengan masa tahun ajaran baru dan menjadi momen bagi sekolah-sekolah untuk meningkatkan atau memperbaiki operasional kegiatan pendidikan,” katanya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (31/8/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pergerakan inflasi masih akan landai di sepanjang sisa tahun ini. Dalam data yang dia paparkan, inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 1,8 persen hingga 2,5 persen.
Meski di tahun ini rata-rata inflasi masih berada di bawah 1 persen, pemerintah tetap mewaspadai faktor eksternal, seperti tapering, serta faktor internal, seperti disrupsi pasokan bahan pokok dalam menjaga inflasi.
”Pemulihan ekonomi kita berlanjut tanpa disertai inflasi yang melonjak. Sebab, di sejumlah negara, pemulihan ekonominya disertai dengan melonjaknya permintaan yang tak disertai suplai memadai,” ujar Sri Mulyani.
Sementara itu, Kementerian Keuangan dan DPR telah menyepakati perkiraan inflasi pada tahun 2022 akan berada di kisaran 3 persen alias lebih tinggi dari proyeksi inflasi tahun 2021. Meski meningkat, menurut Sri Mulyani, tingkat inflasi tersebut masih terkendali.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memperkirakan, inflasi hingga akhir tahun 2021 akan berada di kisaran 1,7- 2 persen. Kondisi yang menahan peningkatan inflasi di antaranya masih terbatasnya konsumsi masyarakat, khususnya di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Selain itu, dari sisi harga, tren kecenderungan harga komoditas pangan juga cenderung stabil dan tidak terjadi perubahan harga pada barang-barang yang diatur oleh pemerintah yang sebelumnya diperkirakan naik di paruh kedua tahun ini.
Namun, inflasi diperkirakan naik di tahun depan. Situasi itu menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi tahun 2022 akan lebih signifikan dengan mempertimbangkan potensi akselerasi vaksinasi yang mendorong kekebalan kelompok.
Selain itu, kenaikan inflasi di tahun depan juga akan didorong oleh pemulihan ekonomi karena stimulus kebijakan moneter dan fiskal dan juga didorong oleh dampak pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru untuk beberapa barang premium.