Target Pemerintah Terkait Pertumbuhan Konsumsi Cukup Realistis
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini ditargetkan tumbuh pada kisaran 2,2-2,8 persen. Pertumbuhan ini sebatas mengompensasi kontraksi tahun sebelumnya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan aktivitas masyarakat demi mengurangi angka penularan Covid-19 berimbas pada lesunya tingkat konsumsi. Pemerintah pun bersikap realistis dengan hanya menargetkan pertumbuhan konsumsi tahun ini sebatas kompensasi kontraksi di tahun sebelumnya.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (30/8/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2021 secara akumulatif berada di kisaran 2,2-2,8 persen.
Ia menyiratkan, pertumbuhan tersebut masih belum optimal. Terlebih lagi pada tahun 2020, pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara akumulatif mengalami kontraksi negatif 2,63 persen. Artinya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini hanya sekadar mengompensasi kontraksi tahun sebelumnya.
Pada triwulan II-2021, konsumsi rumah tangga melonjak karena basis pertumbuhan pada triwulan II-2020 memang rendah. Lonjakan juga didorong momentum Lebaran. Namun, akan tertahan karena triwulan III-2021 ada PPKM. (Sri Mulyani Indrawati)
Meski demikian, menurut Sri Mulyani, perkiraan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut merupakan proyeksi paling masuk akal mengingat adanya peningkatan kasus harian Covid-19 pada awal triwulan III-2021 yang memaksa pemerintah menerapkan pembatasan aktivitas.
”Pada triwulan II-2021 konsumsi rumah tangga melonjak karena basis pertumbuhan pada triwulan II-2020 memang rendah. Lonjakan juga didorong momentum Lebaran. Namun, akan tertahan karena triwulan III-2021 ada PPKM,” papar Sri Mulyani.
Pemerintah, lanjutnya, berkomitmen untuk memanfaatkan momentum yang ada pada sisa triwulan III-2021 dan triwulan IV-2021 untuk mendorong konsumsi. Hal ini menjadi penting mengingat kontribusi konsumsi rumah tangga pada produk domestik bruto (PDB) masih besar, mencapai 57,7 persen pada 2020.
Di sisa triwulan III-2021 September ini, Sri Mulyani berharap kebijakan PPKM yang mulai diturunkan levelnya, terutama untuk Jawa dan Bali, dari level 4 menjadi level 3 dapat secara perlahan menormalkan aktivitas perekonomian masyarakat.
”Diharapkan pada September 2021 pembatasan aktivitas sudah mulai kendor sehingga roda perekonomian sudah kembali berputar. Tapi, ini bergantung pada penurunan penularan Covid-19,” ujarnya.
Sementara pada triwulan IV-2021 diharapkan momen musiman, yaitu momen Natal dan Tahun Baru, juga bisa menggerakkan roda konsumsi rumah tangga. Dengan prospek tersebut, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun 2021 akan bergerak di kisaran 3,7-4,5 persen.
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga akan didorong melalui program perlindungan sosial. Sri Mulyani menegaskan, kondisi kasus Covid-19 yang masih terakselerasi terutama karena adanya varian Delta membuat pemerintah meningkatkan bansos per 16 Juli 2021.
Selain itu, konsumsi pemerintah juga akan turut membatu sektor usaha baik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) maupun korporasi. Dengan demikian, dunia usaha bisa bertahan dan tidak memutus hubungan kerja para pegawainya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, dalam rangka menjaga tren pemulihan ekonomi di triwulan III-2021, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan terus ditingkatkan dan tetap menjadi instrumen utama penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Akselerasi realisasi anggaran terus diupayakan. Per 20 Agustus 2021, Program PEN telah terealisasi sebesar Rp 326,16 triliun atau 46 persen dari pagu anggaran Rp 744,77 triliun.
”Anggaran diarahkan untuk menopang konsumsi melalui peningkatan anggaran berbagai perlindungan sosial seperti percepatan pencairan bansos tunai, peningkatan jumlah penerima dan manfaat kartu sembako, melanjutkan program diskon listrik, dan bantuan subsidi upah,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan periode 2013-2015 Chatib Basri berpendapat, bantuan langsung tunai untuk masyarakat kelas bawah menjadi program paling manjur untuk mengungkit konsumsi masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Menurut dia, bantuan langsung tunai sebaiknya disalurkan tidak hanya untuk masyarakat miskin, tetapi juga harus meliputi kelompok masyarakat rentan miskin di Indonesia. Selain itu, nilai manfaat juga perlu ditambah menjadi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan lebih tinggi dari yang ada saat ini sebesar Rp 600.000 per bulan.
”Artinya, penerima manfaat perlu diperluas menjadi 160 juta penduduk atau 60 persen dari total penduduk Indonesia. Ini artinya bantuan perlu diberikan kepada sekitar 40 juta rumah tangga dengan asumsi satu keluarga terdiri dari empat orang, bapak dan ibu serta dua anak,” ujarnya.