Cuitan soal Belanja Melonjak 175 Persen, Peluang bagi Pemilik Jenama
Percakapan seputar aktivitas belanja di media sosial menarik untuk dicermati pemilik jenama. Dari percakapan itu, pemilik merek bisa menciptakan strategi untuk mencitrakan dan menjual produk.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percakapan warganet seputar aktivitas belanja di media sosial memengaruhi pencitraan jenama atau brand. Di sisi lain, riuh percakapan belanja tersebut mampu menggiring pembelian sampai berpotensi pada penciptaan produk baru.
Percakapan warganet antara lain terjadi di Twitter. Country Industry Head Twitter Indonesia Dwi Adriansah menyebutkan, volume percakapan aktivitas belanja melalui platform Twitter di Indonesia mencapai 22 juta sepanjang Januari-Juni 2021. Volume ini naik 175 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020.
”Pada dasarnya, percakapan belanjaan terhadap produk merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan di ruang fisik. Ketika perilaku belanja bergeser ke platform daring, kebiasaan membicarakan hasil belanjaan atau produk tidak berubah. Perbedaannya, topik yang dibicarakan di ruang maya cenderung menyangkut belanja daring,” tutur Dwi di sela-sela diskusi daring ”Percakapan tentang Belanja di Twitter Selama Tahun 2021”, di Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Di tengah pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, Dwi menilai berbelanja barang secara daring semakin menjadi kebiasaan. Twitter, yang satu dekade lalu lebih dipersepsikan sebagai platform media sosial untuk pembuatan pesan singkat atau micro blogging, kini berinovasi lebih dari hal itu, yakni mulai dari penambahan jumlah karakter tulisan hingga fitur shop module.
Fitur shop module memungkinkan pemilik jenama, pebisnis, dan peritel memamerkan produk kepada pengguna Twitter langsung di profil bisnis. Pengguna kemudian bisa mengetuk produk yang mereka minati untuk dibeli.
Berdasarkan survei Twitter kepada 2.548 pengguna di Indonesia pada Mei 2021, 31 persen di antara pengguna mengatakan bahwa ulasan produk atau pengalaman belanja membantu konsumen memutuskan pembelian. Hal ini berarti warganet di Twitter memiliki karakter reseptif, senang berinteraksi, dan berbagi.
”Sebanyak 37,4 persen pengguna Twitter di Indonesia cenderung membeli produk ketika ada banyak tanda ’suka’ atau komentar bagus di media sosial,” ujar Dwi.
Sebanyak 86 persen dari 2.548 responden itu berbelanja secara daring dalam enam bulan terakhir. Sebanyak 29 persen di antaranya termasuk setia berbelanja secara daring. Menurut dia, Twitter menjadi salah satu ruang virtual percakapan terbesar. Pertumbuhan warganet memperbincangkan jenama di Twitter 1,8 kali lebih cepat dibandingkan dengan topik lainnya.
Dari riset internal Twitter juga ditemukan ada hubungan antara riuh percakapan aktivitas belanja dan penjualan. Peningkatan riuh percakapan sebesar 10 persen dapat menghasilkan peningkatan penjualan 3 persen.
Menurut dia, habitat karakter Twitter berbeda dengan media sosial lain. Percakapan momen belanja di Twitter bukan hanya bisa menggiring peningkatan penjualan, melainkan juga ide membuat jenama produk baru. Hal ini ditandai dengan fenomena anekdot menciptakan merek di Twitter agar lekas viral. Sementara karakter media sosial lain lebih banyak oleh warganet menceritakan hubungan dirinya dengan merek.
”Pemilik jenama bisa menguping informasi yang tersirat atau tersurat dalam percakapan aktivitas belanja, lalu jadi ide bisnis baru. Menurut kami, saat ini pemilik jenama berlomba-lomba memanfaatkan riuh percakapan warganet untuk bahan ide bakal produk atau pemasaran produk lama dengan cara lebih kreatif,” tuturnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya, Naurissa Biasini, mengamati, saat ini memang eranya masyarakat informasi. Internet menjadi ruang perbincangan dan akses informasi.
”Warga memakai mesin pencari sampai beraneka bentuk media sosial untuk mengakses informasi. Pemilik jenama dan lokapasar mengikuti perilaku konsumen tersebut. Hanya saja, cara mereka menyampaikan info produk beserta promo tetap menyesuaikan karakter dari sistem yang dimiliki media sosial,” katanya.
Untuk Twitter, pemilik jenama dan lokapasar biasanya menaruh segala informasi promo festival belanja agar segera jadi bahan perbincangan warganet dan viral. Ketika viral, promo bersangkutan berarti berhasil menggiring potensi transaksi.
”Di era masyarakat informasi, segala informasi bisa diperbincangkan di ruang virtual. Jadi, amat mungkin keriuhan percakapan informasi memicu ide berbisnis baru,” tuturnya.
Managing Partner Inventure Yuswohady berpendapat, karakter setiap media sosial berbeda. Ini menentukan segmen konsumen yang jadi target pemilik jenama ataupun lokapasar.
Generasi lebih muda, seperti generasi Y dan Z, cenderung menyukai percakapan personal dan penggorengan isu. Karakteristik Twitter memungkinkan hal tersebut terjadi sehingga lekas viral dibandingkan karakteristik media sosial lainnya.
Tren pengguna Twitter mengalami pergeseran. Menurut dia, pengguna Twitter sekarang didominasi generasi Y dan Z, bukan lagi generasi X. Kedua generasi ini merupakan sasaran menarik bagi pemilik jenama yang terjun ke penjualan daring dan lokapasar.
”Kalau percakapan bisa memicu terjadinya transaksi jual beli, warga Indonesia memang sebelum ada internet juga sudah begitu. Generasi lebih muda, seperti generasi Y dan Z, cenderung menyukai percakapan personal dan penggorengan isu. Karakteristik Twitter memungkinkan hal tersebut terjadi sehingga lekas viral dibandingkan karakteristik yang media sosial lainnya punya,” papar Yuswohady.