Pemberlakuan kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat demi memutus mata rantai penularan Covid-19 memupuskan harapan lompatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di triwulan II-2021 akan berkesinambungan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengendara sepeda motor berboncengan sambil membawa barang melintas di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021). Pada masa PPKM level 3 di Jakarta saat ini, sejumlah pelonggaran kegiatan masyarakat mulai diterapkan, seperti di pusat perekonomian, termasuk mal, dengan penambahan kapasitas pengunjung menjadi 50 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat demi memutus mata rantai penularan Covid-19 memupuskan harapan lompatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di triwulan II-2021 akan berkesinambungan. Agar kebijakan pembatasan efektif, perlindungan sosial perlu diperluas, tak hanya untuk kelompok miskin, tetapi juga untuk mereka yang rentan.
Dalam Diskusi Membaca Indonesia Kontemporer (MIKo) bertema ”Membaca Ekonomi Politik Indonesia di Masa Pandemi: Arah, Tantangan, dan Peluang” Minggu (29/8/2021) malam, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, negara-negara yang mampu mengatasi pandemi secara relatif baik mampu mengembalikan aktivitas ekonominya lebih cepat.
Hal tersebut, lanjut Chatib, menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi di banyak negara maju yang memiliki akses vaksin, seperti Amerika Serikat (AS), atau negara yang menerapkan protokol kesehatan dengan baik, seperti Selandia Baru, memiliki pola pemulihan berbentuk huruf V.
Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi secara relatif baik mampu mengembalikan aktivitas ekonominya lebih cepat.
Sementara di Indonesia, pemulihan kinerja ekonomi kita di triwulan II-2021 hampir tidak mungkin berlanjut karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mengakibatkan penurunan mobilitas. Namun, kebijakan ini perlu untuk menyelamatkan masyarakat dari pandemi Covid-19.
”Di Indonesia akan terlihat sebuah pola pemulihan ekonomi yang berbentuk huruf W. Pertumbuhan ekonomi mencapai kondisi terburuk pada triwulan II-2020, lalu meningkat tajam di triwulan II-2021, dan menurun kembali di triwulan III-2021,” ujar Chatib.
Berdasarkan kajian Mandiri Institute, lanjutnya, penerapan PPKM darurat sejak 18 Juli 2021 hingga pertengahan Agustus 2021 telah berdampak kepada penurunan belanja 17,2 persen.
KOMPAS/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
Menteri Keuangan periode Mei 2013-Oktober 2014, Chatib Basri
Penurunan ini memang lebih rendah dibandingkan penurunan belanja akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan 2 Maret-9 April 2020 yang mencapai 36,2 persen. Namun, implikasi kebijakan tetap akan menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2021.
”Pelonggaran mobilitas akan mendorong perekonomian. Namun, pelonggaran mobilitas yang tidak dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik dan tanpa percepatan vaksinasi berisiko menimbulkan gelombang baru,” kata Chatib yang juga menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Agar penerapan PPKM semakin optimal dalam memutus mata rantai penularan Covid-19, Chatib menyarankan agar perlindungan sosial diperluas, tak hanya untuk kelompok miskin, tetapi juga untuk mereka yang rentan.
Salah satu bentuk perluasan perlindungan sosial adalah menambah penerima manfaat dan nilai Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Penambahan ini menjadi penting karena tabungan kelompok yang rentan semakin tergerus sebab telah digunakan untuk bertahan hidup selama pandemi.
”Jika nilai manfaat adalah Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan lebih tinggi dari yang ada saat ini sebesar Rp 600.000 per bulan, serta diberikan selama tiga bulan, maka dibutuhkan Rp 120 triliun-Rp 180 triliun atau 0,75 persen-1,1 persen dari PDB,” ujarnya.
Selain melipatgandakan nilai manfaat, penerima manfaat juga perlu diperluas menjadi 160 juta penduduk atau 60 persen dari total penduduk Indonesia. Ini artinya bantuan perlu diberikan kepada sekitar 40 juta rumah tangga dengan asumsi satu keluarga terdiri dari empat orang, bapak dan ibu serta dua anak.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Proyek pembangunan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021).
Alokasi anggaran kesehatan juga perlu ditambah untuk penyediaan vaksin dan meningkatkan jumlah pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan. Defisit anggaran, lanjut Chatib, memang harus kembali berada di bawah 3 persen pada 2023. Namun, ini perlu dilakukan dengan hati-hati.
”Dengan melihat kondisi ekonomi, jika pengetatan fiskal dilakukan terlalu cepat dan drastis, kontraksi ekonomi justru akan terjadi. Maka dari itu, proyek-proyek yang tidak terlalu memiliki urgensi bisa digeser ke 2023,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan kejutan besar yang idealnya bisa menjadi titik balik untuk mulai melakukan reformasi ekonomi.
Pandemi Covid-19, lanjutnya, harus dijadikan momentum pemerintah untuk memperbaiki ekonomi. Reformasi penting untuk meningkatkan potensi ekonomi dari sisi suplai, seperti kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan reformasi birokrasi.
”Indonesia telah melalui beberapa kali krisis ekonomi. Momentum krisis selama ini berhasil dimanfaatkan untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi,” ujarnya.
YOUTUBE CSIS INDONESIA
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Halu Oleo Eka Suaib menyayangkan pandemi Covid-19 membuat impor alat kesehatan (alkes) dan produk farmasi meningkat. Ini berpotensi dimanfaatkan segelintir orang atau oknum untuk mengeruk keuntungan.
Tingginya kebutuhan dan impor dimanfaatkan segelintir orang untuk melakukan praktik perburuan rente guna mengeruk keuntungan melalui praktik kartel. ”Reformasi ekonomi harus menyentuh juga tata niaga industri kesehatan dan farmasi dari praktik perburuan rente dan kartel,” ujarnya.