Skema pembagian beban atau ”burden sharing” yang dilakukan pemerintah dengan Bank Indonesia memang cukup memberikan keleluasaan fiskal. Namun, kesehatan fiskal masih cukup rentan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema pembagian beban atau burden sharing yang dilakukan pemerintah dengan Bank Indonesia memang cukup memberikan keleluasaan fiskal. Namun, kesehatan fiskal masih cukup rentan akibat ketidakpastian ekonomi yang menanti hingga pengujung tahun ini.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, pembagian beban bakal menekan rasio bunga utang hingga 2,21 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini. Sementara tanpa pembagian beban, beban bunga utang pemerintah pada tahun ini bisa mencapai 2,4 persen PDB.
Sementara itu, untuk tahun 2022, skema burden sharing dapat menekan rasio bunga utang menjadi 2,19 persen terhadap PDB ketimbang tanpa burden sharing yang bisa mencapai 2,43 persen terhadap PDB.
Di tengah meningkatnya ruang fiskal karena adanya penurunan rasio bunga utang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap menilai risiko defisit anggaran masih cukup besar tahun ini.
Penilaian tersebut muncul karena dampak kehadiran varian Delta Covid-19 dan implementasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) cukup besar dan akan terlihat pada realisasi anggaran per Agustus 2021.
”Dampak dari kehadiran varian Delta dan PPKM baru terekam pada kondisi ekonomi di Agustus 2021,” ujarnya dalam konfrensi pers APBN KiTa pertengahan pekan ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun ini mencatatkan penurunan secara persentase terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, secara nilai, total defisit di paruh pertama tahun ini mengalami peningkatan.
Hingga Juli 2021, total defisit mencapai Rp 336,9 triliun atau setara dengan 2,04 persen terhadap PDB. Adapun pada periode yang sama tahun lalu, defisit tercatat mencapai Rp 329,9 triliun atau 2,14 persen terhadap PDB.
Dia menambahkan, pemerintah tetap berpaku pada target defisit dalam APBN 2021, yakni 5,7 persen terhadap PDB, kendati Kementerian Keuangan telah merilis proyeksi perkiraan defisit tahun ini yang akan mencapai 5,82 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai bahwa proyeksi defisit tersebut menunjukkan bahwa perekonomian nasional masih menghadapi ketidakpastian yang cukup tinggi. Di samping itu, PPKM akan berpengaruh sangat besar terhadap keseimbangan fiskal.
”Penerimaan pajak berisiko kembali tergerus jika penanganan Covid-19 tidak maksimal dan PPKM diperpanjang,” kata Bhima.
Ia pun memprediksi realisasi defisit anggaran pada 2021 berpotensi besar melampaui kisaran angka outlook.
Menurut dia, yang juga perlu dikhawatirkan adalah kecepatan serapan anggaran yang sejauh ini masih cukup rendah. ”Jadi, strategi pemerintah tampaknya akan mengurangi daya serap anggaran untuk menjaga defisit tidak terlampau dalam,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam acara Sarasehan 100 Ekonom secara virtual, Kamis (26/8/2021), mengatakan, pemerintah akan memastikan belanja yang disalurkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemerintah tetap membidik defisit anggaran di bawah 3 persen dari PDB dalam APBN 2023. Namun, lanjut Febrio, jika dibutuhkan belanja lebih banyak untuk menyejahterakan masyarakat, besaran defisit tidak menjadi persoalan selama belanja pemerintah tepat sasaran.
”Target defisit diperlukan agar pemerintah tetap memiliki arah dalam pengelolaan APBN. Defisit dipatok 3 persen dari PDB adalah bagian dari disiplin pemerintah untuk menjaga stabilitas,” ujar Febrio.