Masih Ada Kendala Pengelolaan Mahadata di Indonesia
Gaung transformasi digital yang dilakukan oleh organisasi perusahaan swasta ataupun pemerintah tidak serta-merta membuat mereka piawai memanfaatkan mahadata dalam pengambilan keputusan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baik pengusaha maupun instansi pemerintah menyadari pentingnya mahadata dalam pengambilan keputusan strategis. Namun, mereka masih kebingungan dan kesulitan dalam mengelola mahadata yang begitu kompleks.
”Mereka (pengusaha dan instansi pemerintahan) tahu bahwa untuk bertransformasi digital, data memegang peranan krusial. Mereka juga tahu bahwa sudah ada situasi pesatnya inovasi teknologi digital, seperti kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran, untuk manajemen mahadata. Namun, masih ada di antara mereka yang kesulitan mengikuti perkembangan ataupun mengolah data yang mereka miliki,” ujar General Manager Dell Technologies Indonesia Richard Jeremiah, Jumat (27/8/2021), di Jakarta.
Fenomena paradoks mahadata seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam laporan survei Digital Transformation Index oleh Dell Technologies tahun 2016, Richard mengatakan, salah satu temuan menarik adalah ragam dan bentuk data sudah kompleks. Kompleksitas menjadi kendala transformasi digital, tetapi tidak masuk tiga besar kendala utama. Survei tahun 2020 menunjukkan, kompleksitas mengolah ragam dan bentuk data telah masuk tiga besar kendala organisasi.
Berdasarkan temuan itu, Richard berpendapat, organisasi yang telah mendeklarasikan diri bertransformasi digital mesti mengevaluasi kembali diri mereka. Mereka perlu menemukan letak persoalan yang menyebabkan masih adanya kebingungan dan kesulitan mengelola mahadata.
”Apakah kepemimpinan data yang buruk atau strategi teknologi informasi tidak visioner? Atau memang kekurangan tenaga ahli?” katanya.
Organisasi yang telah mendeklarasikan diri bertransformasi digital mesti mengevaluasi kembali diri mereka.
Dalam konteks organisasi layanan publik atau pemerintahan, menurut Richard, cara mengatasi persoalan kesulitan manajemen mahadata sama. Internal organisasi perlu mengenali poin-poin kesenjangan antara rencana dan eksekusi penggunaan mahadata.
Integrasi
Sebelumnya, dalam diskusi ”Satu Data Kemiskinan, Bisakah Berharap kepada Pemda?”, Kamis (26/8/2021), di Jakarta, Wakil Bupati Gunung Kidul Heri Susanto menceritakan, Kabupaten Gunung Kidul sebenarnya telah memiliki Sistem Informasi Desa Sarana Mewujudkan Desa Aktif Sejahtera (Sida Samekta). Keberadaannya mendukung amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
Gagasan Sida Samekta adalah menjalankan fungsi pelayanan, informasi publik, dan pengolahan data. Contoh fungsi pelayanan publik yaitu pelayanan surat-menyurat pada warga secara cepat untuk mengurangi kesalahan. Contoh fungsi informasi publik, yaitu penyampaikan kegiatan pembangunan. Adapun contoh fungsi pengolahan data, yaitu pengintegrasian data kesehatan milik Kementerian Kesehatan.
Heri mengakui terjadi masalah dari sisi pengelolaan data hasil Sida Samekta yang terbatas dan parsial. Sejumlah organisasi perangkat daerah pun masih kebingungan memakai Sida Samekta. Hal itu mengganggu proses pengambilan keputusan kebijakan yang akurat.
Salah satu contoh permasalahan terjadi ketika penyaluran bantuan sosial selama pandemi Covid-19. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul berusaha melakukan penyandingan data penerima bantuan sosial di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial dengan data kependudukan yang dikelola dan diolah kabupaten. Hasilnya terdapat inclusion error atau ketidaksesuaian.
Sejumlah organisasi perangkat daerah pun masih kebingungan memakai Sida Samekta. Hal itu mengganggu proses pengambilan keputusan kebijakan yang akurat.
”Data di Sida Samekta bersifat dinamis dan kami memahami hal itu. Tantangan kami masih menyangkut pembaruan kesesuaian data kami ke data yang dikelola pemerintah pusat. Kami sudah mengajukan usulan data terbaru, tetapi tantangan yaitu lekas ditanggapi atau tidak oleh pemerintah pusat,” kata Heri.
Tenaga Ahli Kedeputian II Kantor Staf Presiden RI Agung Hardjono menjelaskan, Perpres No 39/2019 mengamanatkan adanya forum satu data sebagai wadah komunikasi dan koordinasi instansi pusat ataupun daerah untuk penyelenggaraan satu data Indonesia. Kemudian, ada pula pembina data dari instansi pemerintah pusat yang diberi kewenangan melakukan pembinaan data. Pembina data juga bisa dari instansi pemerintah daerah yang diberikan penugasan melakukan pembinaan data.
”Forum satu data ada di setiap level pemerintahan dan diharapkan bisa menyelesaikan sengketa data,” ujarnya.
Agung tidak menjelaskan detail bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa data jika berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda. Meski demikian, Perpres No 39/2019 mendorong kementerian/lembaga membuka diri terhadap integrasi data dari daerah jika memang terbukti data dari pemerintah daerah lebih valid secara metodologi ataupun keluaran.