Anjloknya harga gabah di tingkat petani dan penggilingan dua tahun terakhir mengindikasikan terganggunya fungsi stabilisasi. Namun, sebagai stabilisator, Bulog menghadapi dilema. Sektor hulu dan hilir jadi tidak padu.
Oleh
M Paschalia Judith J/M Kurniawan
·5 menit baca
Sejak April 2020 hingga Juli 2021, kasus harga gabah di tingkat petani di bawah harga pembelian pemerintah cenderung merangkak naik. Situasi ini menjadi penanda baru lemahnya instrumen stabilisasi harga yang krusial untuk memastikan insentif bagi seluruh pelaku usaha di industri perberasan nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rentetan kasus harga gabah kering panen (GKP) di bawah standar harga pembelian pemerintah (HPP) sejak April 2020. Kasus biasanya terjadi pada panen raya musim tanam rendeng, yakni selama kurun Februari-Juni, ketika siklus produksi gabah mencapai puncaknya.
Situasi itu masih terjadi pada kurun 2017-2019. Angka kasus harga gabah di bawah HPP akan susut dan bahkan nol kasus pada musim tanam gadu serta pada siklus paceklik. Biasanya terjadi pada akhir tahun hingga awal tahun berikutnya. Namun, situasi yang terjadi sejak April 2020 lalu berbeda, yakni kasus terus terjadi. Angkanya bahkan cenderung naik dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Juli 2021, data BPS menunjukkan, harga GKP di tingkat petani mencapai Rp 4.311 per kilogram (kg). Harga tersebut lebih rendah 5,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan merosot 9,9 persen dibandingkan dengan posisi pada Juli 2020. Selain harga rata-rata cenderung turun, BPS mencatat lonjakan kasus harga GKP di bawah HPP pada Juli 2021, yakni 46,66 persen di tingkat petani.
Oleh sejumlah pengamat dan pelaku industri perberasan, situasi itu dinilai anomali. Sebab, harga cenderung turun ketika panen semakin berkurang, semestinya sebaliknya jika mengacu hukum besi penawaran dan permintaan. Mereka menilai penurunan harga gabah/beras di musim gadu sebagai situasi yang jarang terjadi karena biasanya pasokan ke pasar menipis.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso, dalam diskusi ”Efektivitas Harga Eceran Tertinggi Beras” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Kamis (26/8/2021), berpendapat, ada anomali terkait dengan situasi harga gabah dua tahun terakhir. Sejak pandemi Covid-19, pasar beras cenderung lesu dan harga cenderung di bawah harga pada situasi tahun-tahun sebelumnya.
Para pengusaha penggilingan kecil kurang tertarik membeli gabah karena pasar beras lesu. Pembelian beras oleh pemerintah melalui Perum Bulog juga lesu sehingga berpengaruh ke insentif usaha serta situasi harga di tingkat petani.
Dilema
Lemahnya penyerapan gabah/beras oleh Perum Bulog juga dinilai berdampak ke situasi harga di lapangan. Apalagi, penyerapan gabah/beras oleh Perum Bulog cenderung turun beberapa tahun terakhir. Realisasi pengadaan beras oleh Perum Bulog dari produksi dalam negeri terus turun dari 2,96 juta ton tahun 2016 menjadi 1,57 juta ton (2017), kemudian 1,21 juta ton (2018), 957.694 ton (2019), dan 752.079 ton (2020).
Sejumlah pengamat menilai problem itu tidak lepas dari perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan, yakni dari natura ke transfer langsung, sehingga berdampak pada menyempitnya kanal penyaluran beras Perum Bulog. Oleh karena saluran menyempit, gairah Perum Bulog untuk menyerap produksi pun redup.
Terkait situasi itu, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan, sisi hilir atau penyaluran beras masih menjadi persoalan. ”Setelah beras diserap (Bulog), lalu diapakan? Sisi hulu dan hilir mesti diseimbangkan. Stok beras yang disimpan dan dikelola perlu berputar untuk menjaga kesegarannya,” katanya saat dihubungi, Kamis (26/8/2021).
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, berdasarkan informasi yang dia terima, mengatakan, harga gabah di tingkat petani menurun signifikan dalam dua bulan terakhir. Ada petani yang melaporkan harga gabah yang diperoleh hanya berkisar Rp 3.600 per kilogram (kg) hingga Rp 3.700 per kg. Jauh di bawah HPP yang ditetapkan Rp 4.200 per kg.
Dalam jangka pendek, kata Guntur, anjloknya harga gabah dipengaruhi oleh penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak awal Juli 2021. Dampaknya, permintaan beras dari hotel, restoran, dan katering turun.
Dampak melorotnya harga gabah juga tecermin pada nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan yang berada di bawah titik impas 100. Pada Juli 2021, misalnya, NTP tanaman pangan berada di posisi 96,31 atau lebih rendah 0,98 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Indeks harga yang diterima petani turun 0,86 persen, sementara indeks harga yang dibayar petani justru naik 0,12 persen. Itu berarti petani merugi.
Guntur menilai situasi kali ini cukup memprihatinkan karena daya beli petani tengah tertekan. Petani berharap segera memperoleh pendapatan yang setimpal, khususnya untuk modal musim tanam selanjutnya, yakni mulai September.
Sementara itu, Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia Agus Ruli Ardiansyah menilai, tren penurunan NTP tanaman pangan telah terasa sejak Februari 2021. Laporan yang diperoleh dari petani di Sumatera Selatan pada awal Agustus 2021 menunjukkan, harga gabah berkisar Rp 3.800 per kg hingga Rp 4.000 per kg. Menurut dia, NTP yang berada di bawah titik impas mengindikasikan petani merugi dalam menanam padi.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras menyatakan, HPP GKP di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.200 per kg. Sementara itu, di tingkat penggilingan, HPP GKP ditetapkan Rp 4.250 per kg.
Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menilai, nasib petani patut diperjuangkan dengan instrumen harga. Instrumen HPP yang cenderung di bawah titik keseimbangan pasar tak efektif dampaknya terhadap kesejahteraan petani.
Peneliti Indef, Rusli Abdullah, menambahkan, petani mesti menerima harga yang adil. ”Harga tersebut menjadi insentif bagi petani untuk menanam dari tahun ke tahun. Selama ini, pemerintah berdalih telah memberikan bantuan pupuk bersubsidi. Padahal, porsi pupuk (terhadap ongkos produksi petani) lebih kecil dibandingkan sewa lahan dan tenaga kerja,” tuturnya dalam diskusi yang digelar Pataka, Kamis (26/8/2021).