Anggaran Negara Masih Terbebani Pokok dan Bunga Utang akibat Kasus BLBI
Anggaran belanja pemerintah dalam 22 tahun terakhir masih terbebani oleh beban bunga dan utang pokok yang timbul akibat dampak kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran belanja pemerintah dalam 22 tahun terakhir masih terbebani oleh beban bunga dan utang pokok yang timbul akibat dampak kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Aset para pengemplang dana BLBI pun dikejar dan disita satu per satu demi mengurangi beban negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, di tengah tingginya beban anggaran belanja pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19, hingga saat ini negara masih menanggung dampak dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang digelontorkan 22 tahun silam.
Untuk menghentikan beban tersebut, pemerintah saat ini tengah fokus mengejar aset para pengemplang dana BLBI, yakni para obligor yang merupakan pemilik bank penerima BLBI maupun debitor dari bank yang mendapatkan aliran dana BLBI.
”Selama 22 tahun kita membayarkan bunga yang bisa mencapai 10 persen. Sekarang suku bunga mungkin sudah mulai turun, tetapi tetap saja itu adalah tanggungan yang luar biasa dan harus dikembalikan,” kata Sri Mulyani secara virtual, Jumat (27/8/2021).
Berdasarkan penghitungan terakhir oleh Kementerian Keuangan, total aset yang dijaminkan debitor dan obligor BLBI mencapai Rp 110,45 triliun. Angka ini mengacu pada perkembangan kurs nilai tukar mata uang, pergerakan harga saham, dan pergerakan nilai aset properti terkini.
”Kementerian Keuangan pun telah memetakan seluruh aset tersebut, dari mulai uang yang bisa ditagih hingga aset lainnya, seperti saham dan properti,” kata Sri Mulyani.
BLBI merupakan bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada berbagai bank yang mengalami persoalan likuiditas akibat krisis moneter pada periode 1997-1998. Skema bantuan ini berupa pinjaman sejumlah uang yang diberikan BI terhadap bank-bank yang hampir kolaps.
Berdasarkan arsip berita Kompas, terdapat 48 bank ”sakit” yang mendapatkan bantuan likuiditas dengan total uang senilai Rp 144,536 triliun. Bagi pemerintah kala itu, bantuan likuiditas dipandang sebagai cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Sayangnya, dana ratusan triliun rupiah yang dikucurkan pemerintah terhadap bank-bank itu tidak berjalan sesuai rencana. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pemilik bank diduga menyalahgunakan bantuan tersebut.
Ketua Harian Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Rionald Silaban mengatakan, pemerintah telah menyita 49 bidang tanah eks BLBI dengan luasan mencapai 5,29 juta meter persegi atau 529 hektar. Lokasi ke-49 bidang tanah tersebut tersebar di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang.
Sebelum melakukan penyitaan, satgas telah memanggil beberapa obligor dan debitor untuk membahas dan menyelesaikan tagihan utang terkait BLBI. Namun, jika pemanggilan tidak direspons, pemerintah mengumumkan identitas obligator dan debitor kepada publik sebelum melakukan langkah lanjutan.
”Ada yang langsung datang dan bahkan ada juga yang harus dipanggil tiga kali baru mau datang. Kami selama ini memanggil dua kali secara personal dan tidak dipublikasikan. Kalau ada niat baik dan mau menyelesaikan, kami akan membahasnya dengan mereka,” kata Rionald.
Rionald menambahkan, saat ini satgas memang akan fokus mengejar aset para obligor dan debitor yang berada di dalam negeri. Setelah menyita 49 bidang tanah, satgas akan melanjutkan untuk menyita ratusan bidang tanah dengan luas total mencapai 1.528 hektar.
Rionald yang juga menjabat Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan mengungkapkan sejumlah aset yang dimiliki debitor ataupun obligor BLBI juga terdapat di luar negeri, termasuk yang paling banyak jumlahnya berada di Singapura.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, jika debitor atau obligor tak juga melunasi utangnya, negara mempertimbangkan hukuman penyanderaan fisik. ”Di perdata, kan, ada penyanderaan fisik yang dilakukan kepada orang yang ingkar dan tidak mau membenahi kewajiban itu,” kata Mahfud.
Namun, sebelum satgas mulai menagih ataupun menyita aset-aset itu, Mahfud mendorong para obligor untuk secara sukarela melunasi utangnya. ”Akan sangat baik jika secara sukarela datang ke pemerintah, Kemenkeu,” ujarnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah optimistis pemerintah dapat menagih dan menuntaskan kasus BLBI. Namun, selain melakukan penagihan, Satgas BLBI seyogianya memberikan transparansi kepada masyarakat mengenai kemelut kasus BLBI.
”Transparansi penyelesaian kasus itu yang seharusnya ditingkatkan agar kasus ini bisa dituntaskan tanpa ada kesalahpahaman,” kata Piter.