Lindungi Industri Dalam Negeri, Pemerintah Perlu Kelola Impor
Langkah yang akan ditempuh untuk memproteksi industri dalam negeri adalah meningkatkan instrumen hambatan non-tarif serta mendorong serapan produk lokal lewat belanja pemerintah dan BUMN.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menempuh sejumlah langkah untuk melindungi industri dalam negeri dari tekanan dampak pandemi Covid-19 dan arus deras produk impor. Namun, pemerintah diingatkan untuk melakukannya dengan terukur dan berhati-hati agar tidak menjadi bumerang yang merugikan industri nasional di kancah perdagangan global.
Beberapa langkah yang akan ditempuh Kementerian Perindustrian untuk ”memproteksi” industri dalam negeri adalah dengan meningkatkan instrumen perlindungan dagang atau hambatan non-tarif (non-tariff barrier) serta mendorong serapan produk lokal lewat belanja pemerintah.
Dalam kesempatan rapat perdana dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (25/8/2021), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti terlalu mudahnya produk impor masuk ke Indonesia. Menurut dia, hal itu terjadi karena proteksi dan hambatan perdagangan yang ditempuh Indonesia belum maksimal.
Terkait dengan perlindungan industri dalam negeri, Agus mencontohkan, China menerapkan tindakan pengamanan (safeguard) untuk 1.020 produk, Thailand menerapkan safeguard untuk 226 produk, Filipina 307 produk, sementara Indonesia hanya menerapkan safeguard untuk 102 jenis produk.
Contoh lainnya, instrumen antidumping. Di India, ada 280 produk yang diproteksi dengan instrumen antidumping, Filipina memproteksi 250 produk, sementara Indonesia hanya memproteksi 48 produk. ”Kita terbuka lebar. Begitu gampang produk-produk luar negeri masuk ke Indonesia,” kata Agus.
Ia juga memberi contoh lembaga sertifikasi produk (LSPro) yang jumlahnya terlalu banyak di Indonesia sehingga memudahkan produk dari luar negeri mendapat sertifikasi dan diperdagangkan di Indonesia. Indonesia saat ini memiliki 69 LSPro. Sebagai perbandingan, Malaysia, Jepang, India, dan China masing-masing hanya memiliki satu LSPro.
”Ini menunjukkan, kalau negara lain itu mempersulit importasi dari negara lain, kita justru tidak. Kita punya 69 lembaga sertifikasi. Ini yang sedang berusaha kami benahi,” ujarnya.
Pembenahan lembaga sertifikasi produk itu dilakukan dengan mewajibkan tiap LSPro mempunyai laboratorium sendiri. Peraturan untuk itu kini sedang disiapkan. ”LSPro di Indonesia banyak yang ’kalengan’ karena tidak punya laboratorium sendiri. Cara kita memangkas itu dengan mewajibkan mereka punya laboratorium,” kata Agus.
Agus mengatakan, beberapa langkah proteksi, seperti melalui peningkatan instrumen trade remedies, perlu disikapi dengan hati-hati. Hambatan impor yang diterapkan pemerintah di sektor hulu jangan sampai mengganggu kinerja industri di sektor intermediate (perantara) dan sektor hilir atau sebaliknya.
Sebab, masih banyak industri yang bergantung pada impor bahan baku/penolong untuk beroperasi. Selain itu, kebijakan ini juga harus terlebih dulu dibicarakan lintas kementerian. ”Kita harus hati-hati karena yang harus diurus dan dijaga itu industri dari hulu sampai hilir. Jangan sampai perlindungan di salah satu ujung mengganggu yang lainnya,” kata Agus.
Menghapus dari e-katalog
Selain melalui hambatan non-tarif, upaya proteksi juga akan ditempuh dengan mewajibkan belanja pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) menyerap produk-produk dalam negeri.
Salah satunya lewat kerja sama Kemenperin dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menghapus produk impor di aplikasi e-katalog belanja pemerintah jika jenis produk itu sudah mampu diproduksi di dalam negeri dan sudah memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 40 persen.
Diharapkan, pemerintah dan BUMN tidak lagi membeli produk impor, tetapi memanfaatkan produk dalam negeri. ”LKPP sudah setuju untuk take down produk impor tertentu apabila produk itu sudah bisa kita produksi sendiri dan bersertifikat TKDN 40 persen sekalipun baru satu yang sudah memproduksi,” katanya.
Kemenperin mencatat, potensi belanja barang dan belanja modal pemerintah pusat pada tahun 2021 bisa mencapai Rp 607,7 triliun.
Senjata makan tuan
Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai, langkah proteksi melalui instrumen hambatan perdagangan perlu disikapi hati-hati dan terukur agar tidak menjadi bumerang yang merugikan pelaku industri dalam negeri di kancah perdagangan global.
Sebelum agresif menerapkan hambatan non-tarif atau meningkatkan implementasi trade remedies bagi barang impor, produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri harus terlebih dahulu dipastikan sesuai standar yang diterapkan.
”Kalau ternyata produk dalam negeri kita saja tidak comply terhadap standar yang kita tetapkan terhadap produk asing, itu bisa jadi senjata makan tuan yang berujung pada sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, kalau tidak berhati-hati, negara lain bisa membalas mengenakan hambatan untuk produk ekspor kita,” ucapnya.
Secara strategis dan jangka panjang, pendekatan yang seharusnya konsisten ditempuh adalah meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Menurut Andry, kebijakan substitusi impor yang sedang ditempuh pemerintah saat ini sudah usang dan bernuansa populis demi mencapai target penurunan impor.
”Strategi yang harus dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan competitiveness produk dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk impor yang ada serta masuk ke rantai pasok global. Tujuan akhirnya, kita ingin industri kita bisa berdaya saing,” ujar Andry.
Menurut dia, langkah perlindungan dengan mendorong belanja pemerintah masih lebih realistis diterapkan meskipun dampaknya tidak akan terlalu signifikan untuk mengendalikan arus impor.
”Ini paling realistis, karena masih bisa dikendalikan oleh pemerintah, meski tidak akan terlalu drastis untuk menurunkan (produk impor), sebab cakupan belanjanya hanya untuk kementerian/lembaga dan instansi negara lainnya,” kata Andry.