Petani Berharap Badan Pangan Berkuasa Jaga Stabilitas
Badan Pangan Nasional seharusnya memiliki kewenangan dan otoritas yang besar dalam pengendalian pangan, baik dari segi kuantitas, kualitas, harga, maupun dalam pengambilan keputusan dan penentuan anggaran terkait.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani berharap kehadiran Badan Pangan Nasional dapat menyelesaikan problem stabilitas harga dan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan. Pembentukan lembaga amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 diharapkan mengatasi sederet problem yang masih mendera petani selama ini.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, Badan Pangan Nasional seharusnya memiliki kewenangan dan otoritas yang besar dalam pengendalian pangan, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun harga. Lembaga ini juga semestinya berwenang dalam mengatur dan mengendalikan impor pangan.
”Badan Pangan Nasional mesti punya kekuatan dalam anggaran dan pengambilan keputusan terkait kebijakan pangan,” kata Guntur saat dihubungi, Kamis (26/8/2021).
Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional pada 29 Juli 2021. Badan Pangan Nasional bertanggung jawab kepada Presiden serta dipimpin oleh seorang kepala.
Badan Pangan Nasional memiliki 11 fungsi. Beberapa di antaranya koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan; serta pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pangan.
Jenis pangan yang menjadi obyek badan ini antara lain beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Dalam stabilisasi harga, kata Guntur, petani tidak mendapatkan kepastian selama musim panen. Dengan ongkos yang sudah dikeluarkan pada musim tanam, petani sulit memprediksi pendapatan yang bisa diperoleh karena tidak adanya jaminan harga tersebut.
Problem fluktuasi harga kerap menghilangkan insentif usaha sehingga motivasi petani untuk memacu produksi dan produktivitas menjadi redup. Oleh sebab itu, Badan Pangan Nasional mesti mampu memantau data kesenjangan pasokan dan permintaan antarwilayah demi menentukan kebijakan harga.
Pasal 29 Perpres 66 Tahun 2021 menyatakan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di BUMN menguasakan kepada Kepala Badan Pangan Nasional untuk memutuskan penugasan Perum Bulog. Terkait dengan peran tersebut, Guntur berpendapat, kebijakan harga semestinya berada di Badan Pangan Nasional, sedangkan Bulog menjadi pelaksananya.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan, perpres tersebut memosisikan perseroan sebagai operator kebijakan pangan nasional. ”Teknisnya sama seperti sebelumnya, yakni pengadaan sekaligus menstabilkan harga di tingkat produsen, mengelola cadangan beras pemerintah (CBP), dan menyalurkan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menilai, saat ini Bulog cenderung bergerak ke hilir yang sebelumnya di ranah hulu, khususnya dalam perberasan, agar tidak merugi. Dia berpendapat, konsistensi Bulog sebagai lembaga stabilisator perlu menjadi sorotan. Apalagi, stabilisasi membutuhkan sejumlah dana.
Selain itu, dia mengatakan, keberadaan Badan Pangan Nasional sebenarnya tidak mendesak apabila tiap kementerian ataupun lembaga yang berkaitan dengan kebijakan pangan konsisten dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya. Fungsi koordinasi pun dapat dijalankan di tingkat kementerian koordinator.
Meskipun demikian, dia berharap, Badan Pangan Nasional diisi oleh orang-orang yang berwawasan luas, mampu berpikir lintas sektor secara holistik, serta tidak memiliki kepentingan yang sempit. Perlindungan terpenting ialah kepada petani sehingga produsen pangan tetap bergairah untuk berproduksi.
”Pangan menjadi pilar ketangguhan negara, sekaligus untuk mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni,” katanya saat diskusi daring yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) bertajuk ”Efektivitas Harga Eceran Tertinggi Beras”, Kamis.
Perpres tersebut mendelegasikan sejumlah kewenangan di tingkat kementerian ke Badan Pangan Nasional. Contohnya, kewenangan menteri di bidang perdagangan dalam perumusan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga, distribusi pangan, serta kebutuhan ekspor dan impor pangan.
Demikian pula kewenangan menteri di bidang pertanian dalam perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh BUMN di bidang pangan serta harga pembelian pemerintah dan rafaksi harga.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan tersebut dalam pengalihan fungsi tata niaga pangan. ”Tata niaga pangan ke depan akan lebih fokus dan diperhatikan secara komprehensif karena adanya lembaga yang setingkat badan tersebut,” ujarnya.