Kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) terjadi 16 bulan berturut-turut sejak April 2020. Lesunya pasar di tengah produksi yang stabil menekan harga di tingkat produsen. Kesejahteraan petani turun.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gabah petani cenderung rendah dengan kasus harga gabah di bawah harga pokok pembelian terjadi 16 bulan berturut-turut sejak April 2020. Lesunya permintaan di tengah produksi yang cenderung stabil dinilai menekan harga di tingkat produsen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) semakin intens dua tahun terakhir. Pada kurun 2016- 2019, kasus harga gabah turun di bawah HPP terjadi terutama pada puncak panen musim tanam rendeng, yakni periode Februari-Juni.
Akan tetapi, pada 2020, kasus harga gabah di bawah HPP, baik tingkat petani maupun penggilingan, terjadi sejak April 2020. Kejadian terus berlanjut hingga akhir tahun 2020, lalu sepanjang Januari-Juli 2021. Dengan demikian, kasus harga gabah di bawah HPP terjadi selama 16 bulan berturut-turut.
HPP gabah kering panen (GKP), menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 24 Tahun 2020 ditetapkan Rp 4.200 per kilogram di tingkat petani dan Rp 4.250 per kg di tingkat penggilingan. Jumlah kasus harga gabah di bawah HPP paling parah terjadi pada Juli 2021, yakni mencapai 44,68 persen (dari total lokasi transaksi jual beli gabah yang disurvei) di tingkat penggilingan dan 46,66 persen di tingkat petani.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, dalam diskusi ”Efektivitas Harga Eceran Tertinggi Beras” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Kamis (26/8/2021), berpendapat, fenomena harga beras tahun 2020 dan 2021 turut dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Permintaan beras dari restoran, warung, dan sektor lain cenderung turun di tengah pembatasan mobilitas.
Penurunan harga gabah dan beras sejalan dengan turunnya nilai tukar petani (NTP). BPS mencatat, NTP tanaman pangan di bawah 100 selama Februari-Juli 2021, berarti indeks harga yang diterima petani lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayarkan petani. NTP selama ini menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani.
Penyerapan
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Soetarto Alimoeso menambahkan, ada anomali terkait dengan situasi harga gabah dua tahun terakhir. Sejak pandemi Covid-19, pasar beras cenderung lesu dan harga cenderung di bawah harga pada situasi tahun-tahun sebelumnya.
Para pengusaha penggilingan kecil kurang tertarik membeli gabah karena pasar beras lesu. Pembelian beras oleh pemerintah melalui Perum Bulog juga lesu sehingga berpengaruh ke situasi harga di tingkat petani dan penggilingan.
Penyerapan gabah/beras oleh Perum Bulog cenderung turun beberapa tahun terakhir. Realisasi pengadaan beras oleh Perum Bulog dari produksi dalam negeri terus turun dari 2,96 juta ton tahun 2016 menjadi 1,57 juta ton (2017), lalu 1,21 juta ton (2018), 957.694 ton (2019), dan 752.079 ton (2020).
Pengadaan beras oleh Perum Bulog tidak maksimal karena penyalurannya terus turun.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Mokhamad Suyamto, dalam diskusi di Pataka pekan lalu menyatakan, pengadaan beras oleh Perum Bulog tidak maksimal karena penyalurannya terus turun. Realisasi penyaluran beras untuk program raskin, rastra, atau bansos lain turun dari 3,21 juta ton (2016) menjadi 2,74 juta ton (2017), lalu 1,9 juta ton (2018), dan 1,1 juta ton (2019), seiring meluasnya penyaluran bantuan pangan nontunai (BPNT).
Dengan kanal yang menyempit, Bulog menghadapi situasi dilematis, terutama terkait dengan fungsinya sebagai stabilisator harga di hulu dan hilir. Selama ini fungsi tersebut dijalankan dengan menggelontorkan stok ke pasar ketika harga di pasaran naik serta menyerap hasil panen petani ketika harga di tingkat produsen anjlok.
Menurut Suyamto, penurunan harga gabah/beras turut dipengaruhi oleh produksi yang relatif baik, daya beli masyarakat cenderung turun, dan meluasnya bantuan beras dari pemerintah.
Ketua Dewan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jangkung Handoyo Mulyo mengatakan, ada fakta pengadaan beras produksi dalam negeri turun 5 tahun terkahir. Harga turun sehingga berimplikasi pada petani. Petani berada dalam posisi tidak terlindungi dan tidak ada insentif bagi produsen untuk tetap berusaha karena harga rendah.
Menurut dia, kebijakan pemerintah semestinya komprehensif dan terintegrasi. Usaha pelaku di hulu (produsen), tengah (operator), dan di hilir harus dijamin agar industri perberasan tetap jalan. Situasi pandemi bisa jadi pelajaran. Salah satunya ketika banyak negara produsen pangan meningkatkan restriksi deengan menunda komitmen perdagangan internasional.
Negara-negara itu tidak mau mempertaruhkan warga negaranya terkait dengan pangan. ”Betapa pangan harus ditempatkan pada posisi paling penting, bukan karena nilai ekonominya saja, tetapi nilai strategisnya,” ujarnya.