Anggaran Belanja Negara Belum Berikan Efek Berganda
Produktivitas penggunaan anggaran belanja negara, yang sebagian dipenuhi oleh utang, dinilai belum memberikan efek berganda terhadap kencanganya putaran roda ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produktivitas penggunaan anggaran belanja negara, yang sebagian dipenuhi utang, dinilai belum memberikan efek berganda terhadap kencanganya putaran roda ekonomi. Reformasi fiskal perlu dilakukan agar anggaran belanja pemerintah mengakomodasi pemberdayaan wilayah dan masyarakat.
Peneliti Center of Macroeconomic and Finance Institute For Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menilai, desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum menunjukkan produktivitas. Padahal, sebagian dari program belanja negara dibiayai utang.
”Risiko yang paling perlu dicarikan solusinya adalah masalah produktivitas utang. Penggunaan utang harusnya bisa mendorong ekonomi kembali berputar sehingga ikut mendorong penerimaan negara yang digunakan kembali untuk membayar utang di masa depan,” ujarnya dalam Sarasehan 100 Ekonom secara virtual, Kamis (26/8/2021).
Risiko yang paling perlu dicarikan solusinya adalah masalah produktivitas utang. Penggunaan utang harusnya bisa mendorong ekonomi kembali berputar sehingga ikut mendorong penerimaan negara yang digunakan kembali untuk membayar utang di masa depan. (Rizal Taufikurahman)
Menurut Rizal, kesalahan terbesar dalam penggunaan utang adalah peruntukannya pada belanja rutin pemerintah, seperti pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN). Penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur sekalipun perlu memberikan dampak pada peningkatan investasi dan sektor lain. ”Utang perlu dialokasikan untuk memberikan multiplier effect,” katanya.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pemerintah berencana menarik utang senilai Rp 973,58 triliun. Angka ini lebih rendah 17,3 persen dibandingkan proyeksi total penarikan utang pada APBN 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun.
Adapun hingga Juli 2021, pemerintah telah merealisasikan pembiayaan atau penarikan utang sebesar Rp 478,1 triliun. Jumlah tersebut setara 39,8 persen dari target penarikan utang sepanjang 2021.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, menilai perencanaan anggaran belanja pemerintah saat ini belum berbasis pada potensi ekonomi wilayah, sehingga pemberdayaan masyarakat tidak terakomodasi APBN.
Dalam praktiknya, sangat umum bila kementerian dan lembaga (K/L) serta kedinasan mendapatkan anggaran belanja dengan alokasi yang minimal sama dengan tahun sebelumnya. Besaran anggaran diberikan bukan berdasarkan pada rencana kerja, melainkan berbasis pada tingkat serapan anggaran di tahun sebelumnya.
Menurut Erani, hal seperti itu telah mengganggu upaya untuk membangun kebijakan fiskal yang berbasis kinerja. Dalam enam tahun terakhir, ia melihat pemerintah pusat sudah punya keberanian untuk menyusun anggaran berdasarkan program kerja. Namun, tetap saja masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Salah satu bentuk perbaikan yang perlu dilakukan adalah dari sisi tata kelola. Pasalnya, prioritas anggaran yang sudah dibuat dengan baik tidak akan berjalan sesuai harapan bila tata kelola di lapangan mengalami kebocoran karena tidak adanya pemantauan pengelolaan anggaran yang optimal.
Erani berharap perencanaan anggaran dari hulu hingga eksekusi anggaran di hilir harus dalam pemantauan. Output hasil eksekusi juga harus dikaitkan dengan outcome berupa dampak penggunaan anggaran untuk masyarakat.
”Jadi, outcome dari penggunaan APBN harusnya bukan sekadar laporan infrastruktur jalan sudah dibuat sekian ratus ribu kilometer, melainkan adalah seberapa jauh program belanja pemerintah telah memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat di daerah,” kata Erani.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, mengatakan dalam kondisi ekonomi yang tertekan, APBN punya peran vital sebagai stabilitator ekonomi. Pandemi Covid-19 membuat anggaran negara bekerja keras untuk menopang aspek kesehatan dan sosial-ekonomi.
Kebutuhan penanganan pandemi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini membuat defisit APBN semakin dalam, menjadi 6,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020. Namun, Luky menegaskan Indonesia bukan satu-satunya karena negara-negara lain juga menghadapi tekanan akibat pandemi. Defisit fiskal di Malaysia mencapai 6 persen PDB sementara Filipina 7,6 persen PDB.
”Kalau dari peraturan perundang-undangan Keuangan Negara, batas utang adalah 60 persen PDB. Sementara saat ini masih 39,4 persen PDB, masih jauh di batas bawah Undang-undang Keuangan Negara sehingga masih aman,” kata Luky.