Transisi Energi dengan Gas Terhadang Pandemi dan Batubara
Dalam sektor energi, emisi karbon dioksida dari gas lebih rendah dibandingkan batubara. Meskipun pemerintah telah menurunkan harga gas hingga ke level 6 dollar AS per MMBTU, nilai keekonomiannya masih di atas batubara.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan gas bumi dalam bauran energi primer pembangkit listrik dapat menjadi sarana transisi dari energi kotor ke energi bersih. Namun, penggunaannya belum optimal lantaran penurunan permintaan listrik selama pandemi Covid-19 dan harga gas yang masih lebih mahal dibandingkan harga batubara.
Dalam paparannya, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Hulu Energi John H Simamora menunjukkan, emisi karbon dioksida yang dihasilkan gas bumi lebih rendah 50 persen dibandingkan batubara.
”Sudah saatnya momentum transisi (energi bersih) lewat gas bumi dioptimalkan,” katanya dalam webinar berjudul ”Penggunaan Gas Bumi Menuju Transisi Energi”, Selasa (24/8/2021).
Executive Vice President Bahan Bakar Minyak dan Gas PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Ahmad Daryanto menambahkan, ada sejumlah tantangan dalam memperkuat peran gas bumi di sektor ketenagalistrikan.
Akibat pandemi Covid-19, produksi listrik dari tenaga gas pada 2020 lebih rendah 21,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 48 terrawatt jam (TWh). Tren tersebut beriringan dengan produksi listrik PLN yang turun 1,5 persen menjadi 275 TWh.
Jika mencermati produksi hingga Juli 2021, kontribusi gas bumi dalam produksi listrik nasional mencapai 18,53 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan target yang dipatok sebesar 17,65 persen.
”Kami mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menurunkan harga gas hingga ke level 6 dollar AS per juta British thermal unit (MMBTU). Namun, harga (keekonomiannya) masih berada di atas batubara,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Akibat pandemi Covid-19, produksi listrik dari tenaga gas pada 2020 lebih rendah 21,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 48 terrawatt jam (TWh).
Kompetisi antara pembangkit listrik berbasis batubara dan gas bumi tampak di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Di wilayah Jamali, proporsi batubara pada bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 72,72 persen, sedangkan gas bumi 18,18 persen. Di tingkat nasional, batubara berperan sebesar 70,71 persen.
Di wilayah Jamali, lanjut Ahmad, kontribusi gas bumi masih kalah dari batubara yang berperan dominan sebagai sumber energi primer pembangkit listrik program 35.000 megawatt (MW). Meskipun demikian, dia menilai, kontribusi gas bumi berpotensi menguat di wilayah Sumatera dan Sulawesi karena peran batubara di wilayah itu ada di bawah 50 persen.
Kontribusi pembangkit listrik berbasis batubara di Sumatera dan Sulawesi per Juli 2021 masing-masing 44,61 persen dan 46,35 persen. Adapun kontribusi gas dalam bauran energi pembangkit listrik di Sumatera dan Sulawesi mencapai 24,38 persen dan 14,71 persen.
Sementara itu, bauran energi wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masih didominasi bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) yang secara berturut-turut senilai 66,95 persen dan 83,82 persen per Juli 2021. Kontribusi gas pada wilayah Nusa Tenggara berada di bawah 5 persen, sedangkan Maluku dan Papua 8,26 persen.
Ahmad berpendapat, gas dapat dioptimalkan di kedua wilayah tersebut. ”Namun, infrastruktur penyaluran gas masih menjadi isu serius, khususnya di Indonesia bagian timur. Selain infrastruktur, permintaan listrik di wilayah lain perlu didorong agar tidak terpusat hanya di Jawa, Madura, dan Bali,” katanya.
Kontribusi gas bumi masih kalah dari batubara yang berperan dominan sebagai sumber energi primer pembangkit listrik program 35.000 MW.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan, gas dapat dipadukan dengan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam proses transisi. ”Contohnya, siang hari mengandalkan energi angin atau surya, sedangkan malamnya menggunakan gas,” ujarnya.
Substitusi diesel
Djoko menambahkan, dukungan pemerintah pada pemanfaatan gas untuk transisi ke energi bersih tampak dari keputusan mengganti sejumlah pembangkit dengan gas alam cair (LNG). Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 K/13/MEM/2020 tentang Penugasan Pelaksanaan Penyediaan Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG), serta Konversi Penggunaan Bahan Bakar Minyak dengan Liquefied Natural Gas (LNG) dalam Penyediaan Tenaga Listrik.
Keputusan itu menyasar 52 pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan total kapasitas 1.697 MW untuk diganti dengan bahan bakar gas. Perkiraan volume gas yang dibutuhkan dalam program tersebut mencapai 166,98 miliar British thermal unit (BBTUD).
Menurut Ahmad, PLN menjalankan keputusan itu bersama PT Pertamina (Persero) dan menggunakan metode gasifikasi. Dia menilai pemerintah perlu menetapkan harga LNG khusus dalam penugasan tersebut sehingga bauran gas dapat meningkat, konsumsi BBM turun, dan berdampak ganda pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia wilayah timur.