RUU Perjanjian ASEAN tentang E-Dagang Disetujui Jadi UU
Pemerintah harus melindungi kepentingan nasional, seperti data pribadi, keamanan konsumen dalam bertransaksi, rahasia dagang negara, dan pelaku usaha nasional dari serbuan produk impor negara-negara lain.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah pekerja mencari barang-barang pesanan pembeli di gudang JD.ID di Marunda Center, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Bank Indonesia mencatat nilai transaksi e-dagang di Indonesia pada 2020 sebesar Rp 266 triliun atau tumbuh 29,44 persen secara tahunan. Pada tahun ini, nilainya diperkirakan tumbuh 39,1 persen menjadi Rp 370 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian ASEAN tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik atau PMSE disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang. Beberapa catatan yang perlu ditindaklanjuti pemerintah adalah perlindungan data pribadi, keamanan konsumen dalam bertransaksi, dan perlindungan pelaku usaha dari serbuan produk-produk impor melalui e-dagang.
Persetujuan itu disampaikan semua fraksi di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan terhadap RUU Pengesahan Perjanjian ASEAN tentang PMSE (ASEAN Agreement on Electronic Commerce) di Jakarta, Rabu (25/8/2021). Rapat kerja itu dihadiri pula Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Anggota Komisi VI DPR, Evita Nursanty, mengatakan, kerja sama e-dagang dengan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memang suatu kebutuhan di era revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital. Namun, kepentingan nasional jangan sampai diabaikan.
Pemerintah harus melindungi kepentingan nasional, seperti perlindungan data pribadi, keamanan konsumen dalam bertransaksi, dan rahasia dagang negara. Yang tak kalah penting, pemerintah harus memastikan pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terlindungi dari serbuan produk-produk impor negara-negara lain.
”Tingkatkan juga kapasitas dan kualitas UMKM agar bisa bersaing, baik di kawasan ASEAN maupun internasional. Pastikan juga negara bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari pajak e-dagang, termasuk dari perusahaan-perusahaan e-dagang yang tidak memiliki kantor di Indonesia,” katanya.
Pemerintah harus melindungi kepentingan nasional, seperti data pribadi, keamanan konsumen dalam bertransaksi, rahasia dagang negara, dan pelaku usaha nasional dari serbuan produk-produk impor negara-negara lain.
Anggota Komisi VI yang lain, Abdul Hakim Bafagih, menyampaikan pendapat serupa. Khusus perlindungan data pribadi, dia menekankan bahwa keamanan data pribadi masih mengancam konsumen, apalagi RUU Perlindungan Data Pribadi belum kelar dibahas.
Penegakan hukum di ranah tersebut juga masih lemah. Dari tiga kasus bocornya data konsumen platform e-dagang di Indonesia pada tahun ini, sejauh ini tidak ada penegakan hukum serius. ”Di dalam negeri saja pemerintah tidak bisa melindungi, apalagi nanti jika berhadapan dengan pelaku e-dagang dari negara lain,” kata Abdul Hakim.
Perjanjian ASEAN tentang PMSE ini merupakan bagian dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025. Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-33 ASEAN di Singapura, 12 November 2018. Perjanjian tersebut memiliki 19 pasal yang mengatur tentang fasilitas e-dagang lintas negara, keamanan siber, pembayaran elektronik, logistik, transparansi, dan penyelesaian sengketa.
Lutfi menuturkan, melalui ratifikasi perjanjian itu, Indonesia bisa membidik potensi pasar ekonomi digital di kawasan ASEAN. Peran e-dagang dalam perekonomian ASEAN makin meningkat. Saat ini, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) ASEAN sebesar 7 persen.
Pada periode 2015-2019, nilai e-dagang ASEAN tumbuh tujuh kali lipat dari 5,5 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 38 miliar dollar AS pada 2019. Pada 2025, nilainya diperkirakan semakin meningkat menjadi 200 miliar dollar AS.
”Indonesia diharapkan bisa menguasai sekitar 40 persen dari potensi e-dagang ASEAN pada 2025. Apalagi e-dagang Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun dan bahkan di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya.
Indonesia diharapkan bisa menguasai sekitar 40 persen dari potensi e-dagang ASEAN pada 2025.
Bank Indonesia mencatat, nilai transaksi e-dagang di Indonesia pada 2020 mencapai Rp 266 triliun atau tumbuh 29,44 secara tahunan. Pada tahun ini, nilainya diperkirakan tumbuh 39,1 persen menjadi Rp 370 triliun. Hingga paruh pertama tahun ini, nilai transaksinya sudah sebesar Rp 186,75 triliun.
Perlindungan pasar dalam negeri
Lutfi juga menyatakan, pemerintah akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain terkait dengan perlindungan data pribadi dan pengenaan pajak e-dagang. Ia juga akan melindungi pelaku usaha dan industri dalam negeri dari serbuan produk-produk impor.
Saat ini pemerintah tengah mematangkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
”Kami akan atur lokapasar domestik dengan lokapasar asing, kesimbangan perdagangan daring dan luring, pelaku domestik dengan internasional, serta semua pilar perdagangan yang menerapkan persaingan sehat dan kesetaraan pedagang-penjual untuk menciptakan perdagangan yang adil dan bermanfaat,” katanya.
Kesibukan pekerja di warehouse Lazada di kawasan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (12/11/2019). Warehouse seluas 30.000 meter persegi ini memiliki kapasitas penyimpanan 2 juta dari kapasitas total 7 juta-8 juta barang dan diklaim terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Namun, lanjut Lutfi, sebelum regulasi itu terbit, pemerintah telah berupaya mengatasi praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat dalam e-dagang. Salah satunya adalah predatory pricing atau praktik penjualan barang dengan harga sangat murah yang dilakukan sejumlah pedagang luar negeri di beberapa lokapasar.
Hasilnya, e-dagang tersebut menutup penjualan 13 produk lintas negara untuk masuk ke Indonesia. Produk-produk itu antara lain hijab, baju atasan dan bawahan muslim pria dan wanita, gaun muslim, mukena, pakaian muslim anak, aksesori muslim, perlengkapan shalat, batik, dan kebaya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, potensi penjualan produk UMKM cukup besar, yakni sekitar Rp 300 triliun per tahun. Hal itu, antara lain, mencakup busana muslim senilai Rp 280 triliun per tahun dan batik Rp 4,89 triliun per tahun.