Momentum Hari Perumahan Nasional pada 25 Agustus mengingatkan perlunya negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar papan. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini kesulitan menjangkau rumah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kompleks perumahan bersubsidi yang tengah dibangun di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sesuai rencana strategis 2020-2024, menargetkan penyediaan 5 juta unit rumah.
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi menjadi kunci pemenuhan kebutuhan papan di tengah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan rumah bagi rakyat. Saat ini masyarakat masih menjadi penyedia utama perumahan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengemukakan, ketidak-mampuan masyarakat menjangkau rumah layak dan terjangkau merupakan isu lama yang terus berlangsung di Indonesia dan sejumlah negara berkembang. Mayoritas rumah tangga baru tidak mampu menjangkau harga rumah.
Pembangunan rumah melalui skema formal atau dibangun pengembang bukan satu-satunya jawaban dalam meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Sebanyak 70 persen masyarakat membangun rumahnya sendiri dan hanya sebagian kecil membeli dari pengembang. Masyarakat berperan menjadi penyedia utama perumahan.
Di sisi lain, rumah tidak bisa dilepaskan dari kota. Urbanisasi penduduk terus terjadi dan disparitas pendapatan memicu meluasnya kebutuhan rumah menengah bawah dan permukiman kumuh. Oleh karena itu, intervensi yang tepat dari pemerintah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat.
Pemerintah harus mampu menciptakan sistem perumahan yang sehat dan terjangkau. Pemberdayaan masyarakat diperlukan guna mendorong pemenuhan rumah layak huni. ”Pemberdayaan (masyarakat) penting agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan rumah bagi masyarakat menengah bawah,” kata Suharso dalam peluncuran uji coba Program Perumahan dan Permukiman Berbasis Komunitas (P3-BK) di Kabupaten Bogor, secara daring, Selasa (24/8/2021).
Suharso menambahkan, pemberdayaan masyarakat memerlukan kolaborasi mitra-mitra, termasuk swasta. Selain itu, sistem pengelolaan lahan di perkotaan perlu diperbaiki agar tidak terjadi penguasaan lahan oleh pemodal besar dan memicu spekulasi harga lahan.
Kapasitas masyarakat dalam pemenuhan rumah terbagi menjadi dua kelompok, yakni menengah ke atas yang cenderung dapat memenuhi kebutuhan rumah lewat mekanisme pasar serta masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan rumah.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi mengemukakan, tantangan pembangunan perumahan adalah keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mendanai pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang tidak layak bank (nonbankable) sehingga belum bisa mengakses rumah.
Kemampuan pemerintah untuk intervensi penyediaan rumah hanya 20-30 persen dari kebutuhan. Selebihnya dari swasta dan masyarakat. Adapun pemerintah menargetkan jumlah rumah tangga yang menghuni rumah layak meningkat dari 56,65 persen pada 2020 menjadi 70 persen pada 2024. ”Keterbatasan anggaran itu mendorong pemerintah untuk kolaborasi,” kata Khalawi.
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021).
Peningkatan akses masyarakat terhadap hunian layak didorong melalui penyediaan rumah layak huni secara kolaboratif. Strateginya adalah dengan melanjutkan program sejuta rumah, memanfaatkan teknologi dan sistem regulasi yang harmonis, dan mendukung kolaborasi antara pemangku program sejuta rumah.
Wakil Ketua Umum Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (The HUD Institute) Bidang Kawasan Perkotaan Yayat Supriatna mengemukakan, penyelesaian persoalan perumahan yang terus berulang merupakan tanggung jawab negara. Persoalan tata kelola perumahan bukan sekadar menyediakan rumah, melainkan juga pemberdayaan komunitas.
Saat ini, pengembang terbesar perumahan adalah komunitas masyarakat. ”Komunitas perlu diberdayakan kemampuan dan kapasitasnya untuk membangun rumah dan menyelenggarakan pembangunan,” kata Yayat yang juga pakar tata kota dari Universitas Trisakti.
Ia menambahkan, pandemi Covid-19 mengembalikan nilai rumah sebagai inti kehidupan. Rumah menjadi sumber produktivitas warga, yakni untuk sekolah, kantor, sekaligus berperan sebagai rumah sakit. Namun, daya jangkau masyarakat untuk memiliki rumah masih terbatas. Terdapat sembilan persoalan mendasar perumahan yang masih dihadapi, antara lain kebijakan yang berpihak, pengawasan dan pengendalian tata ruang, teknologi perumahan, pendanaan, pertanahan, dan perizinan.
Momentum Hari Perumahan Nasional tanggal 25 Agustus mengingatkan perlunya negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar papan bagi masyarakat.
Wakil Ketua Umum The HUD Institute Oswar M Mungkasa mengemukakan, pemenuhan hak azasi perumahan serta masyarakat sebagai subyek pembangunan perumahan dan permukiman masih kerap terabaikan. Momentum Hari Perumahan Nasional tanggal 25 Agustus mengingatkan perlunya negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar papan bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Pihaknya bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Bogor dan Universitas Djuanda Bogor meluncurkan P3-BK yang mulai diuji coba di Kabupaten Bogor. Program itu diharapkan dapat mendorong masyarakat secara berkelompok memenuhi kebutuhan perumahan, sedangkan pemerintah menjadi katalisator. ”Pemenuhan kebutuhan rumah melalui kolaborasi pemangku kepenitingan menjadi keniscayaan,” katanya.