Dibayangi Ketidakpastian, Pelaku Usaha Waspadai Lonjakan Kasus
Perekonomian dibayangi ketidakpastian akibat potensi munculnya varian baru Covid-19 dan lonjakan kasus baru. Implementasi stimulus bagi korporasi yang belum optimal perlu dibenahi untuk menjaga napas dunia usaha.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun pembatasan mulai dilonggarkan bertahap, pemulihan ekonomi masih diwarnai ketidakpastian akibat mutasi virus Covid-19 yang sulit ditebak. Pelaku usaha tetap mewaspadai potensi lonjakan kasus Covid-19 berikutnya. Perbaikan stimulus bagi korporasi dibutuhkan untuk menjaga napas dunia usaha di tengah situasi yang tidak pasti.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, Rabu (25/8/2021), mengatakan, ledakan kasus Covid-19 akibat varian Delta pada periode Juni-Agustus 2021 serta berbagai kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sangat berpengaruh pada kondisi dunia usaha.
”Kita memasuki awal tahun ini dengan momentum yang sebenarnya sudah baik, dunia usaha mulai masuk proses pemulihan dan normalisasi. Tetapi, seperti diketahui, secara umum, kondisi pelaku usaha di triwulan III tahun ini kembali terkontraksi karena PPKM,” kata Shinta dalam sesi dialog di HSBC Summit 2021 ”Driving Indonesia’s Economy as ASEAN’s Growth Powerhouse”.
Menurut dia, karakteristik kebijakan PPKM, meskipun kini sudah mulai dilonggarkan di beberapa daerah, menyerupai kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 2020 yang sempat memukul mundur dunia usaha.
Kendati permintaan dari pasar ekspor masih tinggi dan sejumlah industri esensial berorientasi ekspor tetap diizinkan beroperasi selama PPKM dengan kapasitas tertentu, perekonomian Indonesia masih bergantung pada pasar domestik.
”Ekspor memang sudah pulih. Tetapi, sayangnya, kita juga masih sangat bergantung pada pasar domestik. Ledakan kasus dan kebijakan pengetatan sangat berpengaruh karena daya beli dan kepercayaan masyarakat untuk berkonsumsi turun,” ujarnya.
Shinta pun belum bisa memastikan proyeksi kondisi dunia usaha pada akhir tahun ini. ”Semua sangat bergantung pada apakah nanti akan ada gelombang kasus baru? Apakah akan ada pengetatan kembali? Kondisinya sangat tidak pasti,” katanya.
Kendati demikian, menurut Shinta, kecepatan relaksasi pembatasan yang saat ini mulai dilakukan pemerintah di berbagai sektor akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan IV-2021. ”Kita bisa memanfaatkan momentum konsumsi di akhir tahun sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi 3,5-4 persen masih masuk akal. Meskipun, menurut saya, pemulihan ekonomi itu tidak bisa optimal,” kata Shinta.
Ia mengatakan, kondisi yang penuh ketidakpastian ini adalah peringatan pada pelaku usaha untuk segera melakukan transformasi. Hanya pengusaha yang bisa beradaptasi dengan naik dan turunnya situasi ekonomi saat ini yang tetap bisa bertahan.
”Ini jadi wake up call untuk kami pengusaha. Kelihatan sekali bahwa kita harus lebih sigap dan siap untuk mengevaluasi kembali bisnis kita, tidak bisa dijalankan seperti situasi normal, agar kita lebih tahan banting ke depan,” ujarnya.
Stimulus perlu dioptimalkan
Seiring dengan itu, dukungan stimulus dari pemerintah, baik fiskal maupun nonfiskal, juga harus dipertahankan untuk menjaga napas dunia usaha. Shinta mengatakan, meski pemerintah sudah memberikan banyak perhatian pada dunia usaha berskala mikro kecil menengah (UMKM), realisasi stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk level korporasi belum optimal.
Saat ini, Kadin sedang bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengonsolidasikan masukan pelaku usaha terkait penguatan kebijakan stimulus PEN dan evaluasi distribusinya ke pelaku usaha selama pandemi.
Salah satu masukan dari pengusaha adalah meminta pemerintah memperpanjang pemberlakuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal relaksasi restrukturisasi kredit.
Ketentuan yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 48 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 itu memungkinkan pengusaha mendapat keringanan restrukturisasi kredit perbankan sampai 2022.
Shinta berharap, masa berlaku peraturan itu bisa diperpanjang dari yang seharusnya berakhir pada Maret 2022 menjadi Maret 2025. ”POJK 48 ini adalah kunci bagi pelaku usaha karena persoalan terbesar yang dihadapi saat ini adalah problem arus kas (cashflow) sehingga perusahaan banyak sekali yang harus melakukan restrukturisasi utang ke perbankan,” ujarnya.
Sementara itu, Chief Economist HSBC Joseph Incalcaterra mengatakan, ekonomi Indonesia termasuk salah satu yang berdaya tahan kuat di kawasan ASEAN selama pandemi ini. Ia meyakini, meskipun akan muncul varian Covid-19 yang baru dan gelombang penularan baru, ekonomi Indonesia tetap bisa mendapat momentum positif di pertengahan 2022.
Namun, kuncinya, lanjut Joseph, program vaksinasi pemerintah harus digencarkan untuk mengontrol dampak dari potensi kemunculan gelombang baru Covid-19 di kemudian hari.
”Momentum investasi di Indonesia termasuk kuat meski di tengah pandemi. Oleh karena itu, meski nanti akan ada gelombang baru, Indonesia sudah punya modal dasar untuk mendapat momentum positif. Pemulihan memang tidak bisa langsung dicapai tahun ini, tetapi akan mulai terlihat di pertengahan tahun depan,” ujarnya.