Kondisi Ekonomi Sulit Diprediksi, Target Penerimaan Pajak Meleset
Perekonomian domestik yang menjadi sulit diprediksi akibat pandemi Covid-19 berdampak pada melesetnya perkiraan penerimaan pajak dari target yang dicanangkan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian domestik yang menjadi sulit diprediksi akibat pandemi Covid-19 berdampak pada melesetnya perkiraan penerimaan pajak dari target yang dicanangkan. Tahun ini otoritas pajak telah dua kali memangkas target penerimaan pajak.
Berdasarkan APBN 2021, target penerimaan pajak pada tahun ini mencapai Rp 1.229,6 triliun. Selanjutnya, pada 12 Juli 2021 di hadapan Badan Anggaran (Bangar) DPR, otoritas fiskal memangkas proyeksi penerimaan pajak 2021 menjadi Rp 1.176,3 triliun.
Pekan lalu, proyeksi penerimaan pajak pada 2021 kembali dipangkas ke bawah dengan perkiraan penerimaan sebesar Rp 1.142,5 triliun.
Dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR, Senin (23/8/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak telah berupaya memberikan estimasi penerimaan pajak yang detail dan terperinci. Namun, penerimaan pajak tetap meleset karena kondisi perekonomian domestik dan global terus bergerak.
”Tentu teman-teman (Ditjen) Pajak terus didorong untuk lebih detail dan akurat dalam mengitung proyeksi penerimaan pajak. Walau tidak mungkin 100 persen, kalau bisa deviasinya makin kecil,” ujar Sri Mulyani.
Dalam kondisi normal, lanjutnya, terdapat sejumlah jenis pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Proyeksi penerimaan terhadap jenis pajak ini juga biasanya akan lebih akurat dibandingkan jenis pajak lainnya.
Namun, dalam situasi pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir, kondisi dunia usaha menjadi lebih dinamis dari waktu ke waktu. Banyaknya perusahaan yang daya tahannya menurun di tahun kedua pandemi Covid-19 cukup berpengaruh terhadap kinerja PPh Badan.
”Kondisi saat ini masih jauh dari situasi sebelum pandemi Covid-19. Pada semester I-2019, penerimaan pajak mencapai Rp 604,34 triliun, sedangkan hingga semester I-2021, penerimaan pajak masih di angka Rp 557,8 triliun,” kata Sri Mulyani.
Pada semester II-2021, Sri Mulyani meramal tekanan Covid-19 akan semakin terlihat terhadap penerimaan utama negara tersebut. Pasalnya, pemerintah memberlakukan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan laju penyebaran varian Delta sejak 3 Juli 2021.
Dengan berbagai dinamika yang ada, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan pajak tahun 2021 sekitar Rp 1.142,5 triliun atau 92,9 persen dari target dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Realisasi penerimaan pajak sepanjang semester I-2021 sebesar Rp 557,8 triliun atau baru terealisasi 45,36 persen dari target APBN 2021. Namun, apabila capaian ini dibandingkan proyeksi terbaru, realisasi penerimaan pajak semester I-2021 sudah setara dengan 48,82 persen.
”Meski tidak setinggi seperti yang diharapkan semula, penerimaan pajak hingga akhir tahun 2021 masih tumbuh 6,6 persen dibandingkan tahun 2020. Pemangkasan proyeksi penerimaan pajak akan dikompensasi oleh bea dan cukai serta PNBM (penerimaan negara bukan pajak),” kata Sri Mulyani.
Dalam RAPBN 2022, pemerintah mencanangkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.262,9 triliun. Capaian ini akan ditopang oleh penerimaan PPN yang diperkirakan bisa mencapai Rp 552,3 triliun atau naik 10,1 persen dari perkiraan realisasi tahun ini sebesar Rp 501,8 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, target penerimaan PPN tahun depan ditetapkan berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 yang berada di rentang 5 persen-5,5 persen secara tahunan, serta inflasi yang diperkirakan akan berada di kisaran 3 persen secara tahunan.
Target penerimaan PPN 2022 ditetapkan berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 yang berada di rentang 5 persen-5,5 persen secara tahunan.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menambahkan, target PPN tahun depan berangkat dari ekspektasi pemulihan ekonomi dengan memperhitungkan normalisasi pertumbuhan pada 2021.
Otoritas pajak, lanjutnya, akan melakukan perluasan basis PPN pada skema perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), baik kepada perusahaan digital yang merupakan subyek pajak luar negeri (SPLN) maupun subyek pajak dalam negeri (SPDN).
”Kami berharap makin banyak perusahaan digital yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas transaksi yang dijalankan. Perkembangannya, hingga saat ini sudah ada 81 badan usaha yang ditunjuk Ditjen Pajak untuk menjalankan kewajiban PPN di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, Neilmaldrin optimistis setoran PPN tahun depan juga akan ikut terungkit seiring dengan potensi investasi dalam negeri yang disinyalir tumbuh dibandingkan tahun ini. Menggeliatnya aktivitas produksi dunia usaha diharapkan dapat mendorong meningkatnya penerimaan PPN.
Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji, menilai penerimaan PPN tahun depan akan bersifat dinamis tergantung dari pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi.
Ia menyarankan agar otoritas pajak segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan DPR RI.
Dalam RUU KUP pemerintah mematok tarif PPN sebesar 12 persen, naik dari tarif yang berlaku saat ini sebesar 10 persen. Selain tarif, pemerintah juga memperluas obyek PPN, baik dalam ranah barang kena pajak (BKP) maupun jasa kena pajak.