Kontribusi perumahan segmen menengah bawah sebagai penopang sektor properti pada masa pandemi Covid-19 membuktikan, kebutuhan di segmen pasar ini masih tinggi. Ini perlu didukung kebijakan yang simultan dan menyeluruh.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sesuai rencana strategis 2020-2024, menargetkan penyediaan 5 juta rumah. Rinciannya, sebanyak 900.000 unit merupakan rumah bersubsidi yang dibiayai melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan subsidi bantuan uang muka.
Sejumlah survei memperlihatkan, residensial menjadi salah satu penopang industri properti untuk bertahan pada masa pandemi Covid-19. Kendati permintaan perumahan tetap tumbuh, ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan papan masih menjadi tantangan besar.
Pembatasan sosial pada masa pandemi telah membuat sebagian besar aktivitas dilakukan dari rumah. Rumah telah disadari menjadi sumber peradaban dan produktivitas. Kesadaran akan pemenuhan rumah sehat dan layak huni pun kian meningkat.
Sementara itu, tren hunian bergeser. Pasar hunian didominasi rumah tipe kecil dan menengah untuk tempat tinggal (end user) dengan kisaran harga Rp 250 juta-Rp 1 miliar per unit serta rumah bersubsidi.
Di tengah kontribusi sektor residensial dalam menopang pasar properti, tak dimungkiri terjadi ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Kemampuan masyarakat untuk menjangkau hunian layak masih sangat terbatas. Partisipasi swadaya masyarakat dalam menyiapkan rumah layak huni juga masih rendah.
Dari data Badan Pusat Statistik, jumlah rumah tangga yang belum memiliki (backlog) rumah mencapai 12,75 juta rumah tangga. Adapun warga yang menempati rumah tidak layak huni mencapai 29,45 juta rumah tangga.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sebuah rumah contoh yang dibangun pengembang di Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021). Sejumlah pengembang juga banyak membangun rumah bersubsidi di kawasan pinggiran kota untuk memenuhi kebutuhan warga kelas menengah ke bawah.
Persoalan pemenuhan kebutuhan dasar papan masih menjadi isu utama dalam peringatan Hari Perumahan Nasional ke-14 tanggal 25 Agustus 2021. Pemenuhan rumah murah dan sehat yang diamanatkan sejak Kongres Perumahan Pertama Tahun 1950 hingga kini masih belum terwujud.
Pemerintah berkomitmen dengan program sejuta rumah dan bantuan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah sampai tahun 2024. Tahun ini, bantuan pembiayaan perumahan sekitar Rp 19 triliun dan tahun 2022 ditingkatkan menjadi Rp 28 triliun. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga telah mewajibkan pengembang membangun rumah bersubsidi yang layak huni serta menerapkan teknologi informasi untuk memantau kualitas bangunan rumah bersubsidi.
Selain itu, tahun ini insentif fiskal digulirkan melalui skema Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) terhadap rumah-rumah tapak dan susun komersial yang diserahterimakan hingga Desember 2021. Harapannya, penyerapan rumah terus meningkat. Namun, dukungan pembiayaan perumahan rakyat itu nyatanya belum ditunjang dorongan sisi suplai.
Pemerintah selama ini mengandalkan pengembang untuk memasok rumah bersubsidi. Kendalanya, pasokan rumah murah terhambat harga lahan yang semakin mahal, khususnya di perkotaan. Insentif bagi pengembang untuk penyediaan rumah bersubsidi masih lemah. Mahalnya harga lahan mengakibatkan lokasi rumah subsidi semakin terdesak jauh dari pusat kota dan transportasi publik. Dapat dibayangkan dampak lokasi hunian yang kian terpinggir terhadap penurunan kualitas kehidupan dan produktivitas.
Lokasi rumah subsidi yang tak beraturan dan terserak juga berpotensi memicu masalah baru tata ruang dan kemacetan. Alih-alih pusat pertumbuhan ekonomi baru, efek pembangunan permukiman berskala besar justru menjadi pusat keruwetan baru jika penataan terabaikan. Kawasan permukiman yang layak huni mensyaratkan penataan dari segi sarana, prasarana, hingga akses transportasi massal.
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021).
Jaminan penyediaan lahan menjadi kunci pemenuhan rumah layak huni yang terjangkau. Sudah saatnya pemerintah mendorong realisasi bank tanah, di samping penguatan peran Badan Bank Tanah buat peruntukan lahan negara secara masif di perkotaan dan sekitarnya bagi permukiman.
Kontribusi perumahan segmen menengah bawah sebagai penopang sektor properti pada masa pandemi sekaligus menjadi pembuktian bahwa kebutuhan di segmen pasar ini masih tinggi. Alangkah idealnya jika kebutuhan yang masih tinggi ini menjadi arus utama kebijakan perumahan rakyat yang berpihak dari sisi suplai dan permintaan.
Upaya puluhan tahun pemenuhan kebutuhan dasar papan yang sehat dan terjangkau masih membutuhkan jalan panjang. Saatnya keberpihakan perumahan rakyat diperkuat melalui kebijakan yang simultan dan menyeluruh.