Aturan Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual Ditargetkan Selesai Tahun Ini
Skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bagi pelaku ekonomi kreatif merupakan amanat UU No 24/2019. Namun, hingga kini peraturan pemerintah yang mengakomodasi agar skema itu terlaksana belum kunjung terbit.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan rancangan peraturan pemerintah mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual selesai dibahas tahun 2021. Terbitnya regulasi tersebut diharapkan bisa memperkuat monetisasi produk serta pengembangan ekonomi kreatif di Tanah Air.
”Kalau ada skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, pelaku ekonomi kreatif semakin memiliki akses pendanaan yang berkelanjutan. Pembahasan sedang berlangsung,” kata Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Fadjar Hutomo.
Regulasi yang menaungi aturan itu, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, telah diundangkan pada 24 Oktober 2019. Sesuai undang-undang tersebut, peraturan pelaksana harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak undang-undang ditetapkan.
Pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 disebutkan, pemerintah memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bagi pelaku ekonomi kreatif. Ketentuannya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Adapun di Pasal 17 UU No 24/2019 disebutkan, selain memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, pemerintah pusat dan daerah dapat mengembangkan sumber pembiayaan alternatif di luar mekanisme lembaga pembiayaan.
Di sela-sela pertemuan mingguan dengan media di Jakarta, Senin (23/8/2021), Fadjar menyatakan, selain pembiayaan, pemerintah juga menyiapkan regulasi pemasaran berbasis kekayaan intelektual. Tujuannya senada, yakni agar bisnis-bisnis ekonomi kreatif yang ada di Indonesia semakin bertumbuh.
Berdasarkan data dari laporan OPUS Ekonomi Kreatif 2020, kontribusi ekonomi kreatif pada produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai Rp 1.211 triliun. Angka tersebut meningkat dari 2017 dan 2018, yang hanya sebesar Rp 1.000 triliun dan Rp 1.105 triliun. Tiga subsektor ekonomi kreatif yang masih selalu berkontribusi besar adalah mode, kuliner, dan kriya.
Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia Candra Darusman, secara terpisah, berpendapat, rancangan peraturan pemerintah itu bertujuan positif, tetapi perlu dilengkapi institusi dan perangkat hukum yang mendukung. Sebagai contoh, lembaga valuasi yang bisa menilai nilai ekonomi suatu invensi (penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada), merek, dan karya seni.
”Perangkat lain di bidang keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan, juga harus mengakui produk atau karya hak kekayaan intelektual bisa dikategorikan aset tak berwujud. Dengan demikian, pemberi pinjaman, seperti bank, dapat mengambil risiko yang diperhitungkan,” ujarnya.
Menurut Candra, pengalaman negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual, yaitu lembaga valuasi, berasal dari swasta. Misalnya, perusahaan jasa yang di dalamnya terdiri dari ahli-ahli valuasi paten, merek, hak cipta, atau multidisiplin ilmu.
”Tak lupa dunia asosiasi akuntan terkait juga perlu diajak rembuk selama proses penyusunan rancangan PP itu,” imbuh Candra.
Kreator komik Si Juki, Faza Meonk, secara terpisah, menceritakan, berdasarkan pengalamannya, kreator komik mengusahakan secara mandiri akses pembiayaan. Bentuknya mulai dari kantong pribadi, investor malaikat (angel investor), hingga perusahaan modal ventura.
Hanya saja, perusahaan modal ventura yang membantu menyuntikkan pendanaan relatif minim. Dia berpendapat, apabila pemerintah mampu mendorong peminatan investasi berbasis hak kekayaan intelektual di lini swasta, hal itu membantu usaha ekonomi kreatif.
”Skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual sangat dibutuhkan agar terjadi percepatan industri kreatif di Indonesia. Skema pembiayaan seperti ini bukan hal baru dan bahkan Malaysia melalui MDEC (Malaysia Digital Economy Corporation) lebih dulu melakukannya sehingga subsektor industri animasinya lebih maju (dibanding Indonesia),” ujar Faza.
Senada dengan Candra, kata Faza, tantangan implementasi kebijakan skema pembiayaan berbasis hak intelektual adalah lembaga yang akan menilai valuasi produk atau karya. Tantangan ini bisa diatasi dengan membentuk badan formal yang beranggotakan kombinasi profesional bidang ekonomi kreatif dan jasa keuangan.