Pedagang Pasar Tanah Abang Terdampak Perpanjangan PPKM
PPKM level 4 yang berakhir sebentar lagi harus bisa lebih melibatkan partisipasi masyarakat agar mereka tidak lagi merasa terbebani karena dampak ekonomi dan sosial yang terus bergulir.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM level 4 yang berakhir sebentar lagi harus dievaluasi kembali agar tidak hanya berfokus pada pembatasan kegiatan. Masyarakat perlu dilibatkan lebih jauh agar kebijakan normal baru dapat menjadi kebiasaan yang tidak membebani aktivitas sosial dan perekonomian.
Hari ini, Senin (23/8/2021), adalah hari terakhir penetapan PPKM level 4, termasuk di Jakarta. Pemerintah pusat akan kembali mengumumkan tindak lanjutnya sore nanti. Seiring dengan penurunan kasus penularan, kebijakan terus dilonggarkan setelah ada pembatasan kegiatan ketat dua bulan lalu.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta Baequni berpendapat, pemerintah tidak bisa selamanya melakukan pembatasan kegiatan selama masa pandemi, agar dampak ekonomi dan sosial tidak berlarut. Namun, hal itu juga tetap harus memperhatikan perkembangan situasi kesehatan.
”Kita jangan PPKM terus karena ahli mengatakan, kita akan hidup lama bersama Covid-19. Kebijakan seperti PPKM mikro bisa diterapkan, hanya jangan pembatasan saja. Harus ada sistem surveilans hingga penanganan Covid-19 di tingkat masyarakat,” ujarnya.
Sistem surveilans yang dimaksud, seperti cara masyarakat menangani masyarakat lain yang terdampak secara kesehatan atau sosial dan ekonomi karena penularan Covid-19. Lalu, pengawasan terhadap kebijakan protokol kesehatan. Modal ini bisa diterapkan di lingkup RW.
Kita jangan PPKM terus karena ahli mengatakan, kita akan hidup lama bersama Covid-19. Kebijakan seperti PPKM mikro bisa diterapkan, hanya jangan pembatasan saja. Harus ada sistem surveilans hingga penanganan Covid-19 di tingkat masyarakat.
Adapun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mendukung dengan komitmen anggaran yang bersifat preventif dan promotif dibandingkan untuk kuratif saja. Pemprov juga perlu menyederhanakan kebijakan kolaboratif agar dapat diimplementasikan oleh satuan di bawahnya.
Nasib pedagang
Jakarta terus menyesuaikan kebijakan adaptasi baru yang harus diikuti masyarakat, salah satunya mengharuskan masyarakat membawa bukti sudah divaksin ketika naik transportasi umum dan pusat perbelanjaan. Syarat ini diduga pedagang membuat aktivitas ekonomi dan bisnis di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, masih sepi.
Pedagang yang merana pun mengkhawatirkan nasib mereka jika PPKM terus diperpanjang. Sudah dua bulan terakhir, Lena (50), yang biasa berjualan di Blok F, tidak membuka lapak kecil tanpa uang sewa.
Padahal, ia perlu membantu menafkahi keluarganya dengan dua anak remaja dan sang suami. Warga Tanah Abang itu kini belum memiliki modal untuk kembali berjualan pakaian dalam wanita.
”Sebelum PPKM, cuma habis lima potong, harganya Rp 15.000 kali 5, dapat berapa, sudah habis. Kalau untuk usaha sih enggak gede, ada Rp 500.000, ayo, ada Rp 1 juta, ayo. Tapi, ya, pusing cari modal,” ujar perempuan yang mengaku sudah berdagang di Tanah Abang sejak 1998.
Sejauh ini, keluarganya beruntung karena mendapat bantuan langsung tunai Rp 600.000 dan kebutuhan pokok untuk menyambung hidup. Di sisi lain, ia juga mengharapkan bantuan modal usaha agar bisa kembali beraktivitas.
”Kami juga perlu banyak pengunjung lagi datang ke sini. Tapi, orang kalau ke sini harus punya HP supaya bisa masuk nunjukin bukti vaksin. Aturan kayak gitu bisa bikin orang malas ke sini juga,” ujarnya.
Suasana Pasar Tanah Abang, Minggu (22/8.2021) siang, seperti di Jatibaru dan Blok F, memang terbilang lengang. Jalan di antara lapak-lapak pedagang dan pertokoan tidak terlihat pengunjung yang saling berdesakan. Hal ini juga diakui sejumlah pedagang selain karena faktor pembatasan operasional Pasar Tanah Abang sampai pukul 15.00.
Kita juga perlu banyak pengunjung lagi datang ke sini. Tapi, orang kalau ke sini harus punya HP supaya bisa masuk nunjukin bukti vaksin. Aturan kayak gitu bisa bikin orang malas ke sini juga.
Adel dan Tomi, pasangan suami istri yang memiliki lapak di Blok F 2, baru berhasil menjual satu potong celana sampai jelang pukul 16.00. Selama mereka kembali membuka lapak penjualan celana dua minggu terakhir, penjualan harian rata-rata hanya hitungan jari satu tangan.
”Sepi. Kalau normal banyak orang daerah beli di sini. Sebelum ada PPKM juga masih ramai. Sekarang, orang luar Jakarta takut datang dan belanja ke sini,” ujar Adel yang bersama suami meneruskan usaha ayahnya lima tahun terakhir.
Adel pun khawatir jika PPKM level 4 yang berlangsung sampai 23 Agustus akan diperpanjang kembali oleh pemerintah provinsi. Pasalnya, meski pusat perbelanjaan sudah bisa kembali dikunjungi publik, persyaratan menunjukkan kartu vaksinasi Covid-19 dan surat dinas atau surat tanda registrasi pekerja (STRP) bagi pengguna transportasi umum membuat kunjungan pasar jauh lebih sepi.
Sementara itu, ia harus tetap membayar utuh biaya sewa lapak yang berada di luar gedung Blok F tersebut. Biaya sewa lapak sekitar 2,5 meter kali 1,5 meter itu sebesar Rp 30 juta setahun. Ia dan suami juga tidak mendapat bantuan kebutuhan pokok atau tunai dari pemerintah.
”Kami masih bisa mengandalkan tabungan usaha. Tapi, ini juga sudah semakin menipis untuk modal,” ucapnya.
Usaha sampingan atau jalur penjualan lain melalui toko daring pun kesulitan mereka jalani. Seminggu lalu, satu pihak bank menawari mereka bantuan usaha, tetapi ada kendala yang membuat kesempatan itu tidak bisa mereka dapatkan.