Pendanaan Masih Jadi Tantangan Pembangunan Rendah Karbon
Kebutuhan dana pembangunan rendah karbon cukup besar. Untuk mengisi selisih antara kebutuhan dan ketersediaan dana yang besar, pemerintah butuh upaya konkret dan masif serta keterlibatan swasta dan filantropi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam memenuhi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca, pembiayaan untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia masih menjadi tantangan. Padahal, pembangunan lestari tersebut penting untuk mentransformasi perekonomian Indonesia menghadapi multikrisis akibat pandemi Covid-19 dan risiko perubahan iklim.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, pendanaan dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia masih menjadi tantangan. ”Kebutuhan dana cukup besar. Untuk mengisi gap (selisih antara kebutuhan dengan ketersediaan dana) yang besar, perlu upaya konkret dan masif serta keterlibatan swasta dan filantropi,” katanya dalam webinar ”Pathway to Low Carbon Development for Indonesia” yang diselenggarakan Katadata Indonesia, Senin (23/8/2021).
Proyeksi Bappenas yang dipublikasikan pada 2020 menunjukkan, total kebutuhan dana pembangunan rendah karbon di Indonesia mencapai Rp 306 triliun. Sebanyak Rp 232,56 triliun di antaranya diharapkan berasal dari nonpemerintah.
Padahal, imbuh Suharso, kebijakan ekonomi hijau menjadi game changer untuk transformasi perekonomian nasional. Langkah ini dibutuhkan karena Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19 sekaligus risiko perubahan iklim. Dengan transformasi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terangkat dan kualitas lingkungan turut terjaga.
Kebutuhan dana pembangunan rendah karbon di Indonesia mencapai Rp 306 triliun. Sebanyak Rp 232,56 triliun di antaranya diharapkan berasal dari nonpemerintah.
Selain itu, Suharso menambahkan, pemerintah perlu membangun kebijakan komprehensif yang mendukung transformasi tersebut. Bentuknya dapat berupa insentif dan stimulus bagi pelaku usaha yang menciptakan produk-produk hijau dengan proses manajemen yang berkelanjutan (sustainable).
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, swasta berperan penting dalam pembiayaan yang berkaitan dengan iklim. ”Kesempatan yang bisa dikembangkan berupa investasi hijau, pendanaan swasta dengan pembiayaan campuran (blended finance), serta investasi ESG (ekonomi, sosial, dan tata kelola). Kami sedang memobilisasi perusahaan untuk berinvestasi ke ESG. Dana FDI (penanaman modal asing langsung) juga diarahkan ke green fund yang dapat mendorong pembangunan rendah karbon,” tuturnya.
Mengenai pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim, dokumen Bank Dunia yang berjudul The Climate Change Action Plan 2021-2025 memperkirakan, negara-negara berkembang akan membutuhkan investasi sekitar 4 triliun dollar AS per tahun hingga 2030 untuk membangun infrastruktur yang berkelanjutan dan tangguh. Investasi ini dapat menciptakan lapangan kerja baru sekaligus solusi rendah karbon.
Namun, arus keuangan dunia saat ini jauh dari proyeksi tersebut. Oleh sebab itu, Bank Dunia berkomitmen mengalokasikan rata-rata 35 persen untuk pendanaan iklim serta sekitar 50 persen dari pembiayaan iklim International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), the International Development Association (IDA), untuk adaptasi. Bank Dunia juga akan mengoptimalkan peran dan kekuatan untuk memobilisasi pendanaan internasional, domestik, konsesional, serta swasta untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Negara-negara berkembang akan membutuhkan investasi sekitar 4 triliun dollar AS per tahun hingga 2030 untuk membangun infrastruktur yang berkelanjutan dan tangguh.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Golkar, Dyah Roro Esti Widya Putri, menambahkan, multikrisis yang tengah dihadapi Indonesia menjadi momentum untuk reformasi, misalnya dengan meninjau kembali keselarasan indikator pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan sosial dan faktor-faktor lingkungan hidup.
Berdasarkan data yang dihimpun, pembangunan rendah karbon menawarkan sejumlah peluang bagi Indonesia, seperti penciptaan lapangan kerja hijau untuk 15 juta tenaga kerja, memberantas kemiskinan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 43 persen.
Harga emisi
Menurut CEO Landscape Indonesia Agus P Sari, perusahaan mesti memulai menginternalisasi harga yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dan dampak ekonominya. Internalisasi harga ini juga dapat menelusuri emisi gas rumah kaca dari sektor usaha. ”Kalau tidak dibayar oleh produsen, dampak lingkungan dan ekonomi tersebut akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Sebagai langkah awal, Agus mengatakan, perusahaan perlu transparan dalam menyusun laporan emisi karbon serta memasukkan perkiraan harga karbon dalam akuntansi internal. Dengan demikian, perusahaan dapat meninjau dampaknya pada rencana bisnis ke depan. Penyusunan laporan emisi dan akuntansi itu juga dapat mendorong perusahaan menjalankan bisnis rendah karbon.
Agus menambahkan, konsumen yang semakin kritis pada faktor-faktor lingkungan hidup juga dapat memengaruhi bisnis. ”Konsumen punya hak untuk memilih produk yang berwawasan lingkungan. Dampaknya, pemerintah akan membawa interest (kepentingan konsumen) tersebut ke ranah regulasi,” ujarnya.