Pemerintah dinilai tidak berkomitmen merealisasikan kebijakan 'zero cost' atau bebas biaya penempatan untuk PMI. Pemerintah justru melimpahkan beban biaya yang seharusnya ditanggung pemberi kerja atau majikan kepada PMI
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Jakarta, Kompas -- Skema pinjaman Kredit Usaha Rakyat atau Kredit Tanpa Agunan bagi pekerja migran untuk membayar beban biaya penempatan dapat menjebak pekerja dalam jerat utang. Pemerintah seharusnya fokus menjalankan amanat Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang melarang pekerja dikenai beban biaya penempatan sebelum berangkat.
Kebijakan mengenai skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Tanpa Agunan (KTA) bagi pekerja migran Indonesia (PMI) itu diatur dalam Keputusan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 214 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI, yang baru diluncurkan pekan lalu.
Peraturan itu mengatur, pembayaran komponen biaya penempatan PMI sebelum keberangkatan difasilitasi melalui pinjaman KTA atau KUR dari bank BUMN atau Bank Pembangunan Daerah. Skema pinjaman kredit itu dibuat karena di tengah dampak pandemi, pelaksanaan pembebasan biaya penempatan tidak dapat dibayarkan oleh pemerintah dan pemberi kerja.
Hal itu bertentangan dengan amanat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI yang menegaskan bahwa calon PMI dibebaskan dari beban biaya penempatan sebelum keberangkatan (zero cost).
Biaya tiket keberangkatan, tiket pulang, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, jasa perusahaan, pergantian paspor, SKCK, jaminan sosial pemeriksaan kesehatan, transportasi lokal, dan akomodasi, seharusnya dibebankan kepada pemberi kerja atau majikan. Adapun biaya penempatan lain seperti pelatihan kerja dan sertifikat kompetensi kerja, seharusnya dibebankan kepada pemerintah.
Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Sringatin, Jumat (20/8/2021) menilai skema pinjaman kredit itu sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam merealisasikan kebijakan bebas biaya penempatan (zero cost) bagi pekerja migran. Keputusan Kepala BP2MI itu justru melimpahkan beban biaya penempatan, yang seharusnya ditanggung pemberi kerja, kepada PMI.
Sekilas, lewat skema kredit itu, pemerintah seolah sudah merealisasikan kebijakan zero cost di masa pandemi. “Padahal, biaya penempatan saat pandemi ini lebih mahal dari sebelumnya. PMI juga terancam kehilangan gaji berbulan-bulan demi melunasi tanggungan utang KTA dan KPR-nya. Skema ini justru menjebak PMI dan keluarganya dalam jerat utang,” kata Sringatin.
Sebagai gambaran, dalam kondisi normal, jumlah total biaya penempatan sebelum keberangkatan yang harus disiapkan adalah sekitar Rp 24,2 juta-Rp 25,7 juta untuk PMI di Hong Kong dan Rp 25,8 juta - Rp 27,3 juta untuk PMI di Taiwan.
Pembiayaan itu meliputi biaya paspor, jaminan sosial, surat keterangan sehat, pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologi di dalam negeri (untuk PMI Taiwan ditambah pemeriksaan anti-salmonella dan shigella, antibodi dan vaksin measles rubella), tiket keberangkatan, legalisasi perjanjian kerja, transportasi lokal, visa kerja, jasa perusahaan P3MI dan akomodasi.
Di tengah pandemi Covid-19, beban biaya penempatan menjadi lebih mahal karena ada pula tambahan biaya berupa tes usap PCR, biaya karantina, tes kesehatan dan komisi untuk jasa agensi di negara penempatan. Segala biaya itu seharusnya ditanggung oleh pemberi kerja atau majikan.
Kebijakan ini berlaku untuk beberapa jenis pekerjaan informal, antara lain pengurus rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh lansia, juru masak, supir keluarga, perawat taman, petugas kebersihan, dan awak kapal perikanan migran yang dipekerjakan di perairan internasional.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan, setiap tahun ada kurang lebih 270.000 calon PMI yang harus diberangkatkan. Estimasinya, negara harus siapkan anggaran sekitar Rp 8,7 triliun setiap tahun untuk memberi modal kerja bagi keberangkatan PMI.
Ia membenarkan adanya kebijakan zero cost bagi PMI. Namun, negara belum sanggup menegakkan hal itu. "Apakah sanggup negara menyediakan anggaran Rp 8,7 triliun setiap tahun? Kita harus jujur mengakui, negara belum berdaya," ujar Benny.
Ia mengatakan, selama ini, untuk mendapat modal sebelum berangkat, calon PMI justru terpaksa menjual aset keluarga atau mengakses pinjaman dari rentenir ilegal dengan bunga tinggi. Oleh karena itu, skema KTA dan KUR dibuat untuk menyediakan akses pinjaman yang legal, aman, dan berbunga ringan untuk PMI.
Menurut Benny, Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) akan menjamin risiko pinjaman calon PMI. "Dulu, PMI dan keluarganya harus berhadapan dengan debt collector. PMI juga harus berhadapan dengan risiko persyaratan yang sulit dipenuhi. Ini adalah bentuk kehadiran negara untuk melindungi PMI," ucapnya.
Tak bisa memilih
Ketua International Migrant Alliance Eni Lestari menambahkan, kebijakan itu menjadi lebih berat karena PMI tidak diberi kebebasan untuk memilih melakukan pinjaman atau tidak. Hal itu diputuskan oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Saat ini, sudah ada beberapa PMI yang didaftarkan PJTKI untuk mengikuti program KUR dan KTA.
“PJTKI yang mengatur, jadi (calon PMI) tidak memutuskan pribadi. Mereka tidak bis amenolak karena jika menolak, maka tidak akan diproses dan diberangkatkan oleh PJTKI,” kata Eni.
Keputusan Kepala BP2MI 214/2021 sebenarnya mengatur adanya skema penggantian/pengembalian (reimbursement) atas biaya yang sudah dikeluarkan PMI dengan skema KUR. Namun, aturan itu tidak diatur detail dan tidak ada jaminan atau kesepakatan resmi pemerintah dengan negara penempatan bahwa majikan harus mengganti biaya tersebut.
“Beberapa komponen biaya terancam dibayar sendiri oleh PMI karena tidak ada aturan hukum dan kesepakatan yang mengikat majikan untuk membayarkan semua uang ganti yang telah dikeluarkan PMI sebelum berangkat ke luar negeri. Ini berpotensi menciptakan ketegangan antara majikan dan pekerja,” ujar Sringatin.
Direktur Pusat Penyelesaian Permasalahan WNI (P3WNI) Muhammad Zainul Arifin meminta agar pemerintah dan BP2MI membatalkan Keputusan Kepala BP2MI Nomor 214 Tahun 2021 tersebut. Ia juga berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebagai sengketa TUN. Saat ini, P3WNI masih menampung laporan dari PMI.
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus menegakkan aturan pembebasan biaya penempatan bagi PMI, alih-alih menambah beban utang PMI di tengah situasi yang berat saat ini. “Mengacu pada UU Perlindungan PMI dan Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020, sangat jelas bahwa PMI tidak boleh dibebani biaya satu sen pun alias gratis. Sehingga, Keputusan Kepala BP2MI itu bertentangan dengan peraturan di atasnya dan harus dibatalkan,” ujarnya.